Catatan Kenangan Beny Uleander

Archive for the ‘BAB II’ Category

Kerja keras secara swadaya membuka jalan, itulah perjuangan warga Dusun Tempek Lobong. Mereka bergotong-royong membuka akses jalan dari Mertasari menuju Tempek Lobong. Batu-batuan dikumpulkan dari daerah sekitar. Perjuangan keras mereka untuk membuka jalan akhirnya mendapat bantuan kucuran dana PPK pada tahun 2000 sebesar Rp 48 juta. “Kami bisa membeli pasir dan semen agar jalan itu bisa dilalui sepeda motor,” ungkap Yasa. Selain dari PPK, mereka juga mendapat bantuan dana Rp 10 juta dari Pak Gede Sandi, pemilik Bukit Hexon (dulu Bukit Sandeh) yang kala itu ingin mengembang-biakkan 48 ekor sapi Bali.

Meski akses jalan sudah terbuka, tapi warga setempat masih terjerat biaya yang sangat tinggi. Untuk membeli beras (Rp 4.000/kg) di pasar Pancasari, mereka harus membayar ojek Rp 20 ribu. Mereka juga berjuang mengembangkan kehidupan berkesenian di desa dan pelestarian budaya dengan membentuk kelompok seni musik Sekehe Gong Suling. Kini mereka banyak berharap dengan berseminya industri biotor dan agrowisata yang dikembangkan Pak Oles di Bukit Hexon, setidaknya membawa perubahan dalam hal kesejahteraan. Mata air harapan itu mulai mengalir dari visi pembangunan Bukit Hexon!!!

Tiap 3 Bulan Panen Markisa Rp 50 Juta

Sesuai catatan dari sertifikat tanah, secara administratif, Bukit Hexon masuk dalam wilayah Desa Lemukih, Kecamatan Sawan. Namun bagi masyarakat di dusun Tempek Lobong, Pegadungan, Bukit Hexon masih dalam wilayah Kecamatan Sukasada berdasarkan tapal batas. Di kaki Bukit Hexon terdapat Desa Pegadungan, Lemukih, Pancasari, Pegayaman, Longsega, Katyasa dan Mertasari.

Nama Dusun Tempek Lobong tidak dapat dilepas-pisahkan dari eksistensi Bukit Hexon. Ibarat pintu gerbang, Tempek Lobong adalah pintu masuk menuju Bukit Hexon. Selain itu, kehidupan warga 17 KK setempat sudah menyatu dengan Bukit Hexon yang dulu bernama Bukit Sandeh.

Bagi warga sekitar, Bukit Sandeh, Alas Gege dan Bukit Jambul adalah tulang punggung perekonomian mereka. Setiap tiga bulan sekali, tutur Made Yasa, Kadus Tempek Lobong, warga sekitar masuk hutan lindung Alas Gege untuk mengumpulkan buah markisa yang tumbuh lebat dan liar. Untuk sekali musim panen, mereka bisa mendulang rejeki nomplok Rp 50 juta sampai Rp 60 juta. Setiap hari, sekitar 50 sampai 60 orang dari Desa Pegadungan, Lemukih, Pancasari, Pegayaman, Longsega, Katyasa dan Mertasari masuk hutan Alas Gege, dan keluar dengan dua karung buah markisa per orang.

Buah markisa menjadi sumber pendapatan mereka selama bertahun-tahun. Menyaksikan keseharian hidup warga sekitar Bukit Hexon menyisakan potret miring kehidupan masyarakat pedesaan yang kurang mendapat sentuhan program pembangunan, akses informasi dan metode pertanian tepat guna. “Kami jarang mendapat kunjungan dari pemerintah atau dinas pertanian. Padahal masyarakat di sini sangat membutuhkan penyuluhan pertanian yang tepat,” ungkap Gede Eddy Sukawiratha (27).

Memang, penghuni kaki Bukit Hexon umumnya warga pendatang. “Tidak ada penduduk asli Tempek Lobong. Kami semua pendatang di sini,” ujar Made Yasa. Mereka bercocok tanam dengan menanam ubi, jagung dan tanaman kopi arabika. Kini mereka mulai belajar menanam tanaman bernilai ekonomis tinggi seperti strawberry, seledri, bawang prei dan wortel karena cocok dengan kondisi tanah.

Kondisi perekonomian yang sulit, kerap menggoda warga sekitar melakukan pembalakkan liar kayu hutan. “Sekarang sudah kurang, karena mereka sudah ada penghasilan dari proyek Bukit Hexon. Kalau dulu banyak sekali yang masuk hutan mencuri kayu. Mereka sulit cari uang,” papar Yasa.

Media massa dalam kiprahnya di jagad pemberitaan mengusung liputan berita bernilai pencerdasan kehidupan bangsa dan berisi sajian informasi. Ya, termasuk pernak-pernik hiburan.
Itulah tipikal dasar institusi pers yang selalu bergulat sebagai media kontrol sosial dan media informasi. Peran pers sebagai media pencerdas diungkap wartawan senior Indonesia Rosihan Anwar sebagai suatu tugas terberi yang tidak bisa dihapus, mengalir dalam urat nadi pers dan menjadi napas pers hingga kekekalan. Jauh sebelum Republik ini terbentuk, sebelum adanya UUD 1945 maupun institusi TNI, tugas pers (Indonesia) dari dulu hingga kini tetap sama, –mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tugas pencerdasan kehidupan berbangsa secara inheren berkait lekat dengan eksistensi pers sebagai lembaga kemasyarakatan. Pers berada di tengah masyarakat tetapi bukan milik masyarakat. Pers berjalan bersama pemerintah tetapi bukan alat pemerintah. Sebaliknya pers bisa mempengaruhi pemerintah dan masyarakat. Sementara masyarakat yang dinamis membawa banyak tuntutan perubahan dalam pengelolaan pers.
Langkah strategis terkait pencerdasan kehidupan bangsa dipahami Koran Pak Oles sebagai kesadaran untuk ikut ‘’memprovokasi’’ pola-pola fanatik pembangunan ekonomi kerakyatan. Barangkali di sinilah ‘neraka’ bagi eksistensi pers. Banyak media yang lahir lalu mati, dan kadang harus mati muda karena kegagalan menyuluh untuk perubahan-perubahan mendasar yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Mereka (media) gagal dalam berinvestasi visi karena ada kecenderungan media sekarang untuk sekedar ada sebagai bacaan alternatif. Padahal, masyarakat Indonesia yang masih tergolek di jurang kemiskinan membutuhkan pers yang mengawal segala upaya dalam merintis pilar-pilar pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Pers harus memiliki keberanian untuk terus menatap ‘menara mercusuar’ kesejahteraan. Apalagi di abad 21 ini semua aliran ideologis maupun mazhab yang tidak mampu membawa kesejahteraan akan ditinggalkan pengikutnya. Yang tertinggal adalah ‘ideologi kesejahteraan’. Dalam bilik ini, Koran Pak Oles menyatukan langkah dengan visi pengelolaan pertanian Indonesia berbasis organik, —teknologi Effective Microorganisms (EM) sebagai maskot. Menara mercusuar yang dibangun lalu dirangkum dalam kesetiaan memberitakan kesuksesan dan kepincangan pengembangan pertanian organik yang ramah lingkungan, plus peternakan, pengolahan limbah dan berdirinya sendi-sendi agrobisnis di pelosok-pelosok desa.
Koran Pak Oles berani tampil sebagai pionir media yang memberitakan pengembangan pertanian organik dengan sebuah teknologi ramah lingkungan yang dibutuhkan dunia terkini. Lingkungan alam tempat manusia menyandarkan hidup dan kehidupan anak cucunya telah rusak oleh praktek-praktek pertanian modern yang menggunakan pupuk agrokimiawi dan bahan-bahan pestisida. Siapa dan institusi manakah yang berani menggugat praktek pertanian di Indonesia yang ‘menipu’ petani dan akhirnya produksi pangan nasional menurun drastis setiap tahun? Akademisi manakah yang kini berani berteriak lantang sembari memberi contoh peningkatan kualitas dan kuantitas pangan kepada para petani di desa?
Koran Pak Oles telah memberi warna pembangunan pertanian dengan mengangkat sebuah ‘desa laboratorium’ yaitu Desa Bengkel, Banyuatis, Buleleng, Bali. Di sana berdiri Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA). Banyak petani, kalangan instansi pemerintah, pelajar, ilmuwan, praktisi pertanian dan peternakan datang dari Sabang sampai Merauke belajar pertanian organik dan aplikasi teknologi EM untuk peningkatan produksi tanaman, ternak, dan pengolahan limbah. Di Desa Bengkel juga mereka melihat langsung tanaman pertanian dan peternakan yang dikelola dengan teknologi EM, juga menyaksikan kegiatan industri pertanian dengan menyambangi pabrik yang memproduksi Ramuan Pak Oles, berbahan baku tanaman pertanian dan perkebunan. Di sana, mereka menyadari, masyarakat pedesaan tidak perlu berduyun-duyun pindah mencari kerja ke dan di kota. Karena bukankah urbanisasi tidak lain sebagai upaya memindahkan kemiskinan dari desa ke kota?
“Scripta manent verba volant,—Yang tertulis akan tetap mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.” Koran Pak Oles dalam rubrik-rubriknya akan terus merekam semua langkah, contoh dan upaya pembangunan desa yang identik dengan pembangunan negara. Desa maju, kota sukses dan negara pun sejahtera. Sebelum berlari seribu langkah, seseorang setidaknya mulai dengan satu langkah. Sebelum berwacana membangun negara, adalah tepat secara diam-diam memberi contoh pembangunan dan pemberdayaan masyarakat pedesaan. Kalau Drs Moh Hatta masih hidup ia akan tersenyum bangga melihat ekonomi masyarakat pedesaan terus mengepul di sela-sela pucuk tanaman.
Keterangan Foto: Koran Pak Oles identik dengan idealisme yang dirajut GN Wididana yang populer disebut Pak Oles dalam merintis pola-pola pertanian organik berbasis teknologi EM di Indonesia.

OLEH: BENY ULEANDER
Lebah termasuk kelompok serangga bangsa atau ordo Hymenoptera (sayap bening) yang membesarkan sayapnya dengan serbuk sari dan madu. Bangsa lebah beranggotakan 12.000 spesies. Selain suku Apidae yang hidup berkoloni, ragam jenis serangga umumnya hidup soliter. Lebah madu termasuk serangga sosial yang hidup berkoloni dan memiliki beragam sebutan. Di Jawa disebut tawon gung dan gambreng, di Sumatera Barat disebut labah gadang, gantuang, kabau, jawi dan sebagainya. Di Tapanuli disebut harinuan, di Kalimantan dan suku Belu (tetum terik) di Timor disebut wani dan di Tataran Sunda lebih dikenal dengan sebutan tawon odeng.
Dalam dunia hewan, lebah madu memiliki sistematika tersendiri dalam hal kerajaan (Animalia), Filum (arthropoda), kelas (Insecta) atau serangga), ordo (Hymenoptera), subordo (Clistogastra), super famili (Apoidea) dengan famili Bombidae (lebah biasa), Meliponidae (lebah madu tanpa sengat) dan Apidae (lebah madu). Sistematika lain berupa genus (Apis) dengan spesies Apis Andreniformis, Apis Cerana, Apis Dorsata, Apis Florae, Apis Koschevnikovi, Apis Laboriosa, Apis Mellifera. Famili Bombidae sangat sedikit menghasilkan madu, namun berperan penting sebagai penyerbuk tumbuh-tumbuhan.
Famili Melinopedae termasuk jenis lebah yang tidak bersengat dan rendah produksi madu. Famili Apidae merupakan jenis lebah penghasil madu sejati. Lebah madu dari genus Apis sebagai penghasil madu dan lilin. Jenis unggul yang sering dibudidayakan adalah jenis Apis Mellifera dari Eropa, Apis Dorsata dan Apis Indica atau Apis Cerana dari Asia (Lebah Madu, Cara Beternak & Pemanfaatan, 2003).

Lebah madu terdiri dari beberapa jenis atau spesies dengan ciri fisik yang saling berbeda: Apis dorsata (lebah hutan). Di Sunda disebut odeng dan orang Jawa (tawon gung), Apis Mellifera (lebah Australia), Apis Florea (memiliki ukuran tubuh paling kecil).
Apis Indica atau Apis Cerana (lebah lokal). Tersebar di negara-negara Asia seperti Jepang, India dan Korea. Di Sunda disebut nyiruan dan orang Jawa menamakan tawon. Apis Laboriosa, ukuran tubuhnya sangat besar yang bisa dijumpai di daerah pegunungan Himalaya.
Sesuai daerah penyebaran, lebah madu terbagi atas empat jenis. Pertama; Apis Cerana (Apis Indica). Jenis ini diduga berasal dari daratan Asia, dan menyebar hingga Afganistan, Cina, India, Korea dan Jepang. Kedua; Apis Mellifera (lebah Australia), banyak dijumpai di daratan Eropa seperti Perancis, Yunani, Italia dan sekitar Mediterania.
Ketiga; Apis Dorsata, memiliki ukuran tubuh paling besar dengan daerah penyebaran sekitar wilayah sub tropis dan tropis di Asia seperti Indonesia (dari Sumatera sampai Papua), Filipina dan sekitarnya.
Keempat; Apis Florea merupakan spesies terkecil tersebar mulai dari Timur Tengah, India sampai Indonesia. Di Indonesia orang menyebutnya dengan tawon klanceng. Kelima; Apis Adonsonii atau Apis Unicolor tersebar luas di benua Afrika, bagian utara Gurun Sahara sampai Semenanjung Afrika di selatan, dan pantai barat hingga pantai Timur Afrika.

Ada lebah madu yang memiliki sengat mematikan dan ada yang tidak bisa menyengat. Lebah madu yang memiliki sengat seperti spesies Apis Dorsata, Apis Cerana, Apis Mellifera, Apis Unicolor.
Lebah madu tidak bersengat (tergolong Famili Melinopedae) disebut stingless honeybee dan dengan genus Trigona sp dan Melipona. Trigona sp dijumpai di negara tropis seperti Malaysia, Filipina dan Indonesia, termasuk Australia. Trigona menghasilkan madu yang rasanya asam. Orang Jawa disebut madu lancing dan orang Sunda menyebutnya teuweul.

Apis Koschevn ikovi

Lebah koschevn ikovi merupakan spesies yang baru dikenal beberapa ilmuwan. Jenis ini banyak terdapat di Pulau Kalimantan dan Sumatera bagian barat. Ciri-ciri yang paling menonjol dibanding Apis Cerana adalah warnanya merah di sebagian besar Apis koschevn ikovi dan ukuran tubuhnya sedikit lebih besar. Menurut beberapa peternak lebah di Kalimantan Selatan, lebah Apis koschevn ikovi lebih produktif dibandingkan Apis cerana.

Apis Mellifera
Lebah madu Apis mellifera merupakan jenis lebah hutan yang dibudidayakan hampir di semua negara termasuk Indonesia. Lebah ini banyak terdapat di Eropa seperti Perancis, Yunani, Spanyol dan Yugoslavia. Di Negara-negara tersebut, lebah yang utama dibudidayakan yaitu Apis Mellifera (lebah hitam atau lebah coklat Eropa), Apis mellifera ligustica (lebah kuning Italia), apis mellifera carnica (lebah kelabu carniola).
Dari jenis lebah ini segera padat dibuat jalur baru untuk daerah berlingkungan dan beriklim berbeda dari tempat aslinya (Eropa). Di daerah yang beriklim dingin atau berelevasi tinggi, lebah ini tidak terlalu agresif dan kurang suka bermigrasi tetapi peka terhadap penyakit terutama parasit tungau Varrao.
Di Indonesia, Apis Mellifera merupakan lebah impor yang didatangkan pada tahun 1972. Sebanyak 25 koloni Apis Mellifera disumbangkan oleh Australian Freedom Fro Hunger Campaign Committee (AFFHC) kepada pusat perlebahan Apiari Pramuka sekaligus sebagai cikal bakal pengembangan lebah modern di Indonesia. Lebah yang dikembangkan di Australia (NSW) ada tiga sub spesies, yaitu lebah Italia (Apis Mellifera Ligustica), Kaukasia (Apis Mellifera Caucasia) dan Carniola (Apis Mellifera Carnica).
Lebah ini dikenal sebagai lebah yang cukup rakus dengan nectar (makanan). Karena itu tidak mengherankan lebah ini cara pembudidayaannya dilakukan secara diangon (Dipindah dari satu tempat ke tempat lain –Red). Misalnya, saat musim randu di Jawa Tengah, sarang lebah jenis ini dipindahkan ke Jawa Tengah dan saat musim bunga merah di Jawa Barat, sarang lebah dipindahkan ke Jawa Barat agar lebah tetap berproduksi.
Biasanya Apis Mellifera dikembangkan petani-petani golongan menengah ke atas karena perlu disiapkan truk pengangkutan dan fasilitas pendukung lain. Produksi madu jenis Apis Mellifera dikenal cukup tinggi antara 25-35 kg per koloni dalam setahun. Sifat lebah ini agak jinak dan tidak mudah kabur.
Karena sifatnya diangon, madu yang dihasilkan lebah ini berasal dari satu bunga (monoflora). Misalnya madu randu, madu klengkeng, madu calliandra (kaliandra) yang banyak dibudidayakan di pulau Jawa, dan bisa dikembangkan di daerah tropis seperti Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Apis Mellifera kecil kemungkinan dikembangkan karena tidak banyak kebun budidaya yang luas dan belum ada perusahaan yang siap menampung produksi madunya.
Secara alami, Apis Mellifera dibedakan atas lima sub species. Pertama, Apis Mellifera Lehzeni (lebah madu Skandinavia ini ada di Jerman Utara) dengan badan berwarna hijau, variasi kuning atau jingga di bagian perut. Kedua, Apis Mellifera Corniola (Lebah ini terkenal sebagai penghasil madu yang produktif di Amerika Serikat, tetapi kerap berpindah-pindah tempat. Indonesia pernah mengembangkan di KUD Batu Malang, Jawa Timur dengan badan berwarna hitam, cincin berwarna di perut dan warna rambut perut agak muda.
Ketiga, Apis Mellifera Caucasia dengan warna badan gelap dan sifat halus. Juga ada yang berwarna oranye di bagian perut. Keempat, Apis mellifera ligusta atau biasa disebut lebah madu Italia. Warna tubuh cukup variatif dari coklat gelap sampai kuning hitam yang ditutupi rambut badan berwarna merah. Warna lebah ratu merah kuning lebih kecoklatan. Lebah jantan, lebih muda dan sifatnya sangat aktif. Lebah ini tidak mudah hijrah bila ruangan sarang cukup luas, dan sangat produktif menghasilkan madu, royal jelly, propolis, racun lebah, lilin dan pollen. Lebah ini diternak orang dengan sarang berbingkai yang mudah diangkat dan dipindahkan.
Kelima, Apis Mellifera dikenal sebagai lebah madu Belanda yang hidup di Belanda dan Perancis dengan warna tubuh gelap. Di Belanda, lebah ini suka berpindah-pindah sehingga produksi madu terkategori sedang. Di Perancis, banyak menghasilkan madu namun sukar dikontrol.

Apis Cerana atau Apis Indica merupakan lebah madu asli Asia yang menyebar dari Afganistan, Cina sampai Jepang dan sudah berabad-abad diternak di wilayah Asia termasuk Indonesia sebagai lebah yang jinak. Dalam bahasa daerah, Apis Cerana disebut tawon laler, tawon madu atau tawon unduhan (Jawa), nyiruan (Sunda), madu lobang (Palembang), lebah lalat, lebah madu. Lebah ini memiliki daya adaptasi terhadap kondisi iklim, produktif dan tidak ganas sehingga akrab dengan masyarakat pedesaan.
Selain bersarang di rumah-rumah, juga dipelihara secara tradisional dengan gelodok dari batang kelapa atau randu sebagai wadah empuk membuat koloni dan gampang dipanen 5-10 kg per koloni per tahun. Pemeliharaan secara modern dalam stup (kotak lebah) bisa berpindah-pindah. Ciri-cirinya, lebih kecil dari Apis Mellifera dan dalam satu koloni bisa berkembang 10 ribu ekor. Setiap koloni terdiri dari beberapa ratus ekor lebah jantan, 20.000 sampai 40.000 ekor lebah pekerja, dan seekor lebah ratu. Pada sebuah pengamatan di India, untuk mengumpulkan pakan, hanya terbang sejauh 600-700 meter dari sarang dengan kegiatan terhenti total setelah pukul 15.00.
Sesuai dengan kondisi geografis dan iklim di Indonesia, lebah berpotensi untuk dikembangkan terutama oleh kalangan petani. Namun para petani sulit memiliki bibit dan minimnya sumber pakan dan belum ada ukuran standar stup. Hanya lebah jenis Apis Cerana lebih tahan dibanding Apis Mellifera. Pakan Apis Mellifera harus tetap tersedia, agar koloninya tidak mudah mati. Berbeda dengan pakan Apis Cerana yang masih bisa dicari. Jika stop bibit dengan kwalitas koloni yang baik, rencananya para petani bisa memanen madu dalam jumlah yang banyak.
Di India, lebah madu ini dibedakan atas dua sub species; Apis Indica Gandhiana yang hidup di daerah pegunungan tinggi dan Apis Indica yang hidup di dataran rendah. Khusus yang di dataran rendah masih terdapat varietas; Apis Indica Pironi dengan warna agak kehitaman, dan Apis Indica Pisea yang berwarna hitam. Di Cina dan Jepang ada sub species Apis Indica Sinensis.

Jenis yang satu ini tersebar luas di benua Afrika, mulai dari Gurun Sahara di Utara sampai Semenanjung Afrika di Selatan, dan Pantai Barat Afrika sampai Pantai Timur Afrika. Jenis ini sudah lama dibudidayakan di Afrika karena produksi madu yang lebih banyak dibanding yang dihasilkan lebah madu Eropa. Sayangnya, dari segi sifat sangat agresif, sukar dikelola dan suka mempertahankan sarang.
Lebah madu Afrika dibawa ke Brasil pada tahun 1956 untuk dikembangkan dengan madu Eropa. Secara tak sengaja, lebah ratu yang telah dibuahi terlepas bersama lebah pekerja lalu berkembang biak menjadi ribuan koloni liar dan buas.
Lebah madu Afrika terbagi dalam 4 sub spesies. Pertama, Apis Unicolor Fasciata yang ada di Mesir. Badan berpita kuning kemerahan. Bagian gembung dan bulu mengkilap seperti perak. Kedua, Apis Unicolor Fresei yang banyak berkembang di daerah pegunungan tinggi Afrika dengan warna hitam. Ketiga, Apis Unicolor Intermissa di Tunisia, Malta dan Afrika Utara. Sudah mulai dikembangkan di Afrika Selatan dengan warna hitam berpita dan bulu abu-abu di gembung. Keempat, Apis Unicolor di Madagaskar dengan warna hitam tanpa garis-garis dan berbulu kelabu.

Lebah klenceng (Apis Trigona) merupakan jenis lebah madu yang paling banyak dipelihara secara tradisional oleh masyarakat pedesaan sekitar kawasan hutan se-Indonesia. Lebah ini tidak memiliki sengat dan tidak ganas. Ukurannya sangat kecil dengan fungsi sebagai penyerbuk bunga-bunga kecil. Dalam bahasa Jawa, Apis Trigona disebut malam klanceng atau lonceng, teuweul (Sunda), gala-gala (lilin lebah).
Umumnya lebah madu Apis indica dan klenceng trigona sp dipelihara secara tradisional dengan gelodok yang pembuatannya meniru rumah-rumah lebah yang ada di ronga-ronga batang pohon besar atau gua yang terlindung dari terik matahari dan hujan. Rumah tiruan dibuat dari batang kelapa (pucuk), kayu randu (kapuk), kayu pucung atau batang pohon lain yang berkayu lunak.
Secara alami, serangga trigona sp membuat sarang di lubang-lubang pohon, celah-celah dinding dan lubang bambu di dalam rumah yang agak gelap. Untuk keamanan, tempat keluar masuk berbentuk lubang kecil sepanjang 1 cm yang diselimuti zat perekat. Sarang tersusun atas beberapa bagian buat menyimpan madu, tepung sari, tempat bertelur dan tempat larva. Di bagian tengah ada karangan bola berisi telur, tempayak dan kepompong. Di bagian sudut ada bola-bola kehitaman sebagai penyimpan madu dan tepung sari.
Lebah ini menghasilkan madu dan lilin yang diproduksi sangat kecil, rasanya asam dan sering dipakai untuk obat sariawan. Sedangkan lilinnya dipakai untuk membatik. Lebah pekerjanya berwarna hitam, berkepala besar dan berahang tajam untuk menggigit musuh bila diganggu. Perut lebah ratu sangat besar dengan sayap pendek. Ukurannya sebesar 3-4 kali lebah pekerja. Karena sangat gemuk dan tidak pandai terbang, lebah ini tidak suka berpindah-pindah tempat kecuali bila sarangnya terlampau tua dan buruk atau lilinnya keras.


Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Tulisan Teratas

Blog Stats

  • 90.568 hits

WITA

obj=new Object;obj.clockfile="8009-red.swf";obj.TimeZone="Indonesia_Denpasar";obj.width=150;obj.height=150;obj.wmode="transparent";showClock(obj);