Catatan Kenangan Beny Uleander

Archive for the ‘Peluang Bisnis’ Category

I Gusti Rai Putrayasa, SH Perintis Pasar Pengosari
Tidak banyak orang yang mau ribet mengurus sebuah pasar tradisional. Termasuk para pejabat pemerintahan. Belum masalah pedagang, sampah, semrawut dan lain-lain. Memang sangat sulit. Namun lain halnya dengan I Gusti Rai Putrayasa, ayah dua anak yang mendirikan sebuah Pasar Pengosari di kawasan Kerobokan, Badung. Pendirian pasar tersebut semata-mata karena rasa kepeduliannya terhadap masyarakat sekitar.
Ia mendirikan Pasar Pengosari pada tahun 1991. Luasnya mencapai 50 are dengan jumlah pedagang sebanyak 300 pedagang. “Dulunya tempat tersebut adalah sebuah jurang yang kemudian saya timbun untuk mendirikan pasar,” ungkapnya kepada Koran Pak Oles.
Ternyata pasar yang dirintisnya menjadi “ladang usaha” pedagang sekitar Kerobokan dan dari luar Bali. Begitu pula dengan pembeli. Mereka datang dari berbagai penjuru tapi memang kebanyakan berasal dari lokasi sekitar pasar. “Hampir semua kebutuhan ada di sana, terutama kebutuhan untuk masyarakat Bali yang memiliki budaya cukup kental,” ujar pria kelahiran Badung, 31 Maret 1962 silam.
Untuk pengamanan dan kebersihan lingkungan pasar, anggota DPRD Badung ini melibatkan 6 orang warga sekitar pasar Pengosari tepatnya di Banjar Gede Kerobokan. “Sementara untuk kebersihan saya percayakan ke perusahaan swasta untuk mengangkut sampah untuk dibawa ke tempat pembuangan sampah,” tambah suami dari Herawati yang pernah menimba pengalaman kerja di beberapa hotel berbintang di daerah wisata Kuta.
Melihat kiprah pasar tradisional sebagai jantung perekonomian masyarakat kecil, Rai Putrayasa berharap pemerintah daerah merespon dan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat, pribadi atau desa adat untuk mendirikan sebuah pasar jika ada yang ingin mendirikannya. Apalagi melihat jumlah tenaga kerja yang diserap oleh pasar sangat tinggi.

Sudah saatnya, pembangunan industri terutama industri pertanian berada di desa. Bukankah segala sumber daya yang berhubungan dengan industri pertanian berada di desa? Desa, dengan segala aktifitas dan potensi pertaniannya tetap menjadi aset utama pembangunan industri di seluruh wilayah perkotaan. Bila masyarakat desa sejahtera, maka Indonesia juga akan sejahtera.
Untuk mengembangkan industri pertanian di desa, misalnya PT Karya Pak Oles Tokcer menggulirkan lima gagasan pokok. Pertama, Konsep Pengembangan. Konsep pengembangan industri pertanian harus lebih banyak menggunakan bahan baku lokal, yang diproduksi petani setempat. Petani dibina agar mampu memproduksi hasil pertanian sehingga hasilnya bisa ditampung oleh industri dengan harga yang telah disepakati, masing-masing mendapatkan keuntungan nyata untuk saling menghidupi antara petani dan pengusaha industri. Industri pertanian hendaknya terletak tidak jauh dari sentra pengembangan bahan baku demi menekan biaya transportasi, mampu menyerap tenaga kerja di pedesaan.
Industri memberikan pendapatan kepada desa berupa pajak desa dan bantuan insentif yang bertepi pada pembangunan desa. Industri mampu meningkatkan investasi Pemerintah Daerah untuk pembangunan infrastruktur di desa-desa, sekitar lokasi industri. Dengan begitu industri mampu meningkatkan daya beli masyarakat desa karena adanya aktivitas ekonomi dalam bidang jasa dan perdagangan di desa.
Kedua, Teknologi Pengembangan. Industri pertanian dikembangkan berdasarkan teknologi lokal atau nasional (bukan impor), mesin-mesin dirakit dan dimodifikasi secara nasional. Teknologi yang digunakan hendaknya dikembangkan berdasarkan budaya lokal yang dimodifikasi untuk kebutuhan industri modern. Modifikasi teknologi merupakan tugas lembaga penelitian yang dibiayai pemerintah daerah untuk mengembangkan industri pertanian, sehingga efisiensi, kualitas dan kontinyuitas produksi dapat ditingkatkan. Penggunaan teknologi lokal dapat menghasilkan harga jual produk yang dijangkau masyarakat luas, sehingga rakyat terpenuhi kebutuhannya dengan harga yang riil dan industri dapat menghidupi dirinya, karena pangsa pasar mampu membeli dan memberikan keuntungan riil.
Ketiga, Konsep Pemasaran. Pangsa pasar produk industri adalah masyarakat lokal (Indonesia). Potensi penduduk sebanyak 220 juta jiwa merupakan pangsa pasar yang sangat besar dan belum tergarap. Selama ini, justru negara lain yang datang untuk berdagang produk industri pertanian ke Indonesia, karena kita selalu menganggap enteng potensi pasar yang dimiliki. Industri dari hasil pertanian sebagian besar berupa produk makanan dan minuman, yang hasilnya bisa dikonsumsi masyarakat Indonesia, jika produknya didukung kualitas, jaringan pasar dan informasi yang kuat.
Keempat, Konsep Permodalan. Industri pertanian hendaknya didukung permodalan dari bank dalam negeri, yang uangnya bersumber dari dana masyarakat. Uang yang dipinjamkan secara perlahan akan membesar sesuai kemajuan perusahaan. Untuk mengembangkan industri pertanian tidak diperlukan modal yang besar karena faktor produksi seperti bahan baku, sumber daya manusia. Industri juga harus didirikan dari kecil dan perlahan menuju yang besar. Modal yang dimaksud bukan semata-mata uang yang dibutuhkan dari bank, tapi jauh lebih penting adalah modal kreatifitas, ilmu pengetahuan dan modal keberanian untuk menjalankan usaha. Bila semua modal itu cukup kuat dan saling menopang, jelas memberikan nilai tambah secara terus-menerus kepada produk, dan itulah yang menghasilkan penjualan dan keuntungan bagi sebuah perusahaan.
Kelima, Konsep Pemanfaatan Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang digunakan hendaknya direkrut dari SDM lokal (asal Indonesia). Kita bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang masing-masing mempunyai keahlian (bakat alami) sesuai adat istiadat setempat. Perlu menempatkan SDM pada tempat yang tepat sesuai keahliannya, dan meningkatkan SDM melalui program pendidikan dan pelatihan secara kontinyu. Gunakan sesedikit mungkin atau tidak sama sekali tenaga-tenaga dari luar negeri karena biayanya sangat besar. Kalaupun ada SDM luar negeri, segera diserap ilmu dan pengalaman mereka untuk diajarkan kepada SDM lokal. Dengan cara ini, SDM lokal miliki nilai keahlian yang lebih untuk bekerja di bidang menejerial menengah ke atas.
Pola pikir industri pertanian bukan berarti harus membangun dalam skala besar, memakai teknologi tinggi dan mahal, alat canggih dan perizinan ketat. Industri pertanian berarti produksi yang kontinyu, harga produk stabil, kualitas terstandar, pemasaran terjamin dan keuntungan jelas. Konsep pembangunan pertanian harus dibalik dari hilir ke hulu, dari industri pasca panen ke produksi budidaya pertanian.
Konsep tersebut akan merubah pola pikir petani dari pemasaran ke produksi. Pasar yang jelas akan memperkuat produksi budidaya. Sebaliknya produksi budidaya tidak menjamin pasar yang baik, dan sebaliknya justru bisa merusak pasar. Membangun industri di desa adalah usaha mendidik dan mengajarkan kepada para petani untuk memberikan nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Salah satu nilai tambah, yakni dengan memperluas cakrawala berpikir petani ke arah industri, baik perorangan (industri rumah tangga), kelompok (koperasi) maupun perusahaan. Secara ilmiah, aktivitas untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian itulah yang lebih dikenal sebagai pengolahan pasca panen, dan dalam bahasa menejemen, menjalankan industri pertanian. (KPO Edisi 154)

One district one commodity. Slogan mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra menjadi inspirasi aktual mengedepankan idealisme agribisnis kerakyatan di Indonesia. Sebab birahi kapitalisme telah menggagahi kekayaan bumi dan alam Indonesia.
Pemerintah pun terlena oleh rangsangan devisa maha besar. Bahkan di era Soeharto, perusahaan-perusahaan manufaktur besar diberi suntikan modal gede dari pinjaman utang luar negeri. Asumsi pemerintah saat itu bahwa perusahaan besar bisa menjadi dewa penyelamat perekonomian nasional. Mereka mampu membuka lapangan pekerjaan dan menyerap angkatan kerja dalam jumlah besar.
Bangunan pola pikir tersebut hancur berantakan disapu “tsunami krisis moneter” yang menerpa Asia tengah dan tenggara. Perusahaan-perusahaan raksasa kelimpungan, banyak yang bangkrut dan akhirnya pilih tutup. Beban utang mereka dijadwal ulang dan lucunya kembali menjadi beban pemerintah. Itulah salah satu kesalahan mendesain struktur pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Lantas rezim penguasa dari era Habibie hingga pemerintahan SBY berputar haluan dengan mengembangkan dan mendukung usaha di sektor agribisnis (pertanian, perkebunan, tambak, peternakan, kehutanan, kelautan). Namun lagi-lagi kembali terjadi kepincangan struktural. Virus-virus warisan Orba belum punah total bahkan berevolusi dan beradaptasi secara serba baru. Pemerintah masih terbuai dengan kehadiran investor bermodal besar. Cengkraman jaringan usaha perusahaan raksasa bertebaran di pelosok Indonesia yang menggarap berbagai sektor agribisnis. Meski usaha mereka menukik langsung pada pemberdayaan potensi alam sebuah daerah, namun sekali lagi kita bertanya, sudahkah rakyat Indonesia merasa diberdayakan secara ekonomi?
Perusahaan besar dalam aktivitas ekspansi usaha tetap mengusung bendera profit-oriented. Karena itu mereka hanya merespon usaha di tempat yang strategis dan tentunya dilengkapi fasilitas infrastruktur yang memadai dari pemerintah. Terbentang kegelisahan bernada minor. Kenapa pertumbuhan ekonomi sangat lambat di daerah luar Jawa terutama Indonesia timur? Padahal setiap daerah memiliki keunggulan sumber daya alam tertentu. Mengapa belum digarap optimal? Tapi lagi-lagi oleh siapa; pemerintah atau investor? Lahir pula kekecewaan kenapa geliat sektor swasta sangat Jakarta-sentris, Jawa-sentris? Buktinya, pabrik-pabrik besar terpusat di daerah Jawa. Wajar bila terjadi migrasi penduduk besar-besaran ke kota besar terutama Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan dan Denpasar. Sudahkah sektor agribisnis dikembalikan ke panggung kerakyatan?
Era abad 21 atau secara lokal di era reformasi ini, kreatifitas dan inovasi anak-anak muda bangsa ini patut diacungi jempol. Meski jumlah mereka sedikit, tapi karya-karya mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Memang masih skala mini di ranah usaha mikro, kecil dan menengah. Mereka merintis usaha dengan modal dengkul, tentu tanpa pinjaman lunak dari perbankan. Apa yang dapat kita petik dari kesuksesan mereka?
Pertama, mereka mengusung sebuah idealisme yang rasional dan membumi: bisa mandiri dan membantu sesama. Kedua, mereka menentukan bidang usaha yang akan digarap dengan mengandalkan atau mengolah bahan baku yang tersedia di daerah. Ketiga, mereka fokus menggarap pasar lokal, memasarkan dari rumah ke rumah lalu membuka stan dan outlet. Tak lama kemudian usaha mereka merambah luar negeri. Keempat, mereka terus belajar berinovasi tiada henti dalam soal produksi, packing, motif dan membaca selera pasar. Itulah jurus-jurus sukses kaum muda yang terjun di bidang agribisnis dan agroindustri. Mereka berada di daerah-daerah dan jauh dari perhatian pemerintah.
Dari kiprah perjuangan mereka kita dapat belajar bahwa pola-pola pembangunan mercusuar di negeri harus dikoreksi kembali. Seindah apapun upaya pemerintah tetaplah bahwa roda pertumbuhan ekonomi ada di tangan sektor swasta, yakni kumpulan rakyat yang memiliki jiwa wirausaha. Hal terpenting yang mendesak untuk menata agribisnis kerakyatan adalah perbaikan paradigma: membangun desa, membangun bangsa.
Bagaimana caranya? Ya, saatnya anak-anak muda di negeri ini dicegah keluar desa, diberi pendidikan (muatan lokal sekolah) dengan fokus menguasai komoditi andalan yang ada di daerah. Pabrik dibangun di desa dan industri eksis di desa. Bukan pabrik masuk desa yang cuma menebalkan kantong investor. Sementara penduduk desa menjadi buruh dengan upah minimum. Desa jadi ladang produksi, tapi penduduknya merasa terasing dengan produk yang dihasilkan. Inilah proses alienasi ekonomi yang meninabobokan intelektualitas dan kecerdasan finansial penduduk kecil; kaum buruh; kelas pekerja. Kemandirian ekonomi hanya dicapai dengan kebebasan berusaha memanfaatkan potensi alam dan segala usaha warisan leluhur yang bernilai ekonomis. Tugas pemerintah tinggal menjadi pelayan administrasi publik yang baik dan bebas pungli. Kenapa Cina sukses? Kenapa Jepang sukses? Karena pemerintah benar-benar mendukung usaha rakyatnya. Tapi di Indonesia ada kesan pemerintah sebatas jadi debt collector yang hanya menagih pajak, iuran dan berbagai beban tagihan tanpa mau peduli usaha tersebut berkembang atau tidak. (Beny Uleander/KPO EDISI 140)
Tabrakan ide dan konsep di setiap jengkal kepentingan sesaat adalah latar kelam proses pembangunan di negeri ini. Filosofi tujuan pembangunan sejatinya untuk “menggampangkan” hidup tahap demi tahap. Seperti kayu api diganti kompor minyak tanah. Lalu meningkat, ibu-ibu rumah tangga mulai memakai kompor gas elpiji. Perjalanan dengan kereta kuda diganti dengan pesawat Garuda. Lebih cepat, efektif dan efisien dalam waktu dan biaya.
Sayang seribu sayang, arah dan rel pembangunan kita kerap terjebak dalam arus dehumanisasi. Manusia pun dikorbankan demi pembangunan. Lalu secara amat biasa kita mengabaikan jerit tangis penduduk miskin dari Sabang sampai Merauke. Kita merasa pantas kaum pengemis dan gelandang digiring Satpol PP untuk ‘dibina’ di aula dinas sosial. Sehari kemudian, mereka kembali menggantungkan hidup berdasarkan belaskasihan orang lain. Memangkah nasib mereka lagi tidak beruntung? Bahkan kadang dianggap sebagai takdir terberi!?
Kasus lumpur Lapindo seharusnya menjadi momen strategis merumuskan aplikasi riil prinsip corporate social responsibility (CSR) perusahaan. Apa yang terjadi? Warga korban lumpur Lapindo seperti digiring menuju barak-barak frustrasi. Mereka dibiarkan menikmati marah dan kesal. Lalu depresi adalah hasil akhir yang akut, bila ketahanan psikis lemah lunglai. Pada akhirnya, mereka menjadi korban yang apatis dan menerima tragedi sebagai garis nasib. Roda jaman menggilas hidup mereka. Tak ada yang menolong selain Dia di sana. Dialah Tuhan. Itu jawaban getir dalam larik lagu Ebiet G Ade.
Siapa yang peduli? Bencana lumpur menjadi komoditas politik. Wakil rakyat atau lebih tepat bangsawan politik justru berlomba-lomba menunjukan peduli. Ingin pamer bahwa merekalah sesungguhnya wakil yang paling peka dengan duka derita rakyat. Tapi, tidak ada tindakan strategis dan preventif apalagi langkah cepat mengatasi permasalahan yang ada. Nasib korban lumpur Lapindo kian tak jelas.
Kita menjadi bangsa yang gamang di tengah kemajuan jaman. Memang kita tidak bisa berlari sembunyi dari sergapan globalisasi. Sendi-sendi tua feodalisme sukses terkikis diganti dengan gempuran kompetisi penuh gairah di segala bidang kehidupan. Persaingan menjadi roh terdepan dan berbalut nafsu mengumpulkan materi sebagai puncak keberhasilan. Siapa yang tekun penuh percaya diri merajut mimpi dalam bidang apa saja, dia akan mencicipi hasil di alam nyata.
Itulah gaya hidup kapitalis dan konsumtif. Wajar bila penduduk negara-negara maju mengisi waktu luang menikmati teater modern. Atau menghamburkan uang untuk mengoleksi barang-barang elektronik-digital. Sebab mereka telah melalui sebuah proses panjang dari negara berkembang menjadi negara maju. Mereka sudah lama menginvestasikan kerja keras mereka. Tak ada salahnya seseorang menikmati hasil jerih payah setelah memeras keringat dan membanting tulang siang dan malam. Benarkah pendapat di atas?
Tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab gaya hidup global penuh kontradiksi dan paradoks. Kita yang hidup di negara berkembang dapat pula menikmati versi baru “gaya hidup kapitalis dan konsumtif”. Dan, rona kemiskinan sebenarnya bisa didepak perlahan-lahan dari peradaban negeri ini. Asalkan, kita bisa memadamkan konsep-konsep keliru yang tertanam sistematis akibat gaya hidup warna-warni yang menyesatkan.
Pertama, ukuran keberhasilan seseorang adalah sejauh mana dia dapat hidup mandiri dengan tingkat penghasilannya. Penjaga toko dengan upah Rp 400 ribu, tapi bisa mandiri, terkategori orang sukses. Hanya beda skala pendapatan. Kalau sudah mulai boros, ngutang dan mencuri bukan ciri-ciri keberhasilan.
Kedua, ukuran kesuksesan seseorang bila ia mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Pedagang nasi goreng di emperan toko yang punya seorang karyawan, maka dia termasuk orang sukses. Sekali lagi, hanya beda jumlah karyawan. Sering banyak perusahaan besar dengan karyawan besar tapi menunggak pembayaran gaji karyawan dengan seribu satu alasan. Ketiga, orang bahagia adalah orang yang hidup sehat jiwa dan raganya. Orang sakit tentu tidak bahagia dan tidak bisa bekerja mewujudkan impiannya. Sebuah cara pandang hidup yang amat sederhana.
Itulah paradigma baru dalam mengisi pembangunan. Kerja keras dengan menggunakan seoptimal mungkin otot dan otak adalah spirit membangun bangsa ini. Untuk mendapatkan uang, kita tidak tergoda menempuh jalan pintas dengan menculik anak orang kaya. Hidup mandiri sesuai penghasilan membuat kita tidak mudah terbujuk gaya hidup konsumtif. Orang akan tegas menolak pendapatan haram. Akhirnya, nafsu korupsi yang menggurita penyebab kebangkrutan Republik ini bisa dikikis.
Dan, ketekunan dalam kerja akan membuka pintu-pintu keberhasilan sekaligus menjadi magnet yang menarik orang-orang lain ikut membantu dengan tulus. Orang kaya adalah orang yang bekerja dengan tangan orang lain. Artinya, kemajuan di sektor swasta adalah tolok ukur kemajuan negara. Generasi muda akhirnya terpacu mengembangkan usaha di berbagai bidang. Lapangan kerja terbuka. Pembenahan manajerial akan terus terjadi tahap demi tahap. Itulah visi baru merayakan kehidupan yang terberi di alam kemerdekaan.
Pemerintah pun menjadi pelayan birokrasi yang efektif dan efisien. Sayangnya kita tersesat dalam konsep-konsep pembangunan yang keliru dan kerdil. Pilihan menjadi PNS dianggap sebagai kunci sukses. Akibatnya, kita menjadi bangsa cengeng dan konsumen setia produk-produk luar negeri. Lebih parah lagi, karyawan-karyawan swasta di perusahaan asing didikte menjadi robot-robot hidup tanpa konsep. Jika kita sebagai bangsa yang terus dinaungi mental “inlander” (rendah diri) di percaturan global, sampai kapan kita bisa membawa negeri ini maju? Biarlah waktu menggilas wajah kelam dan legam masa lalu kita sebagai bangsa terjajah!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 135)
Keelokan Kiprah SPG
Cukup gampang mencari sebab-sebab kehancuran suatu perusahaan tetapi amatlah sulit menemukan sisi lemah perusahaan-perusahaan sukses sepanjang sejarah dan dikelola dengan baik tetapi kehilangan posisi puncaknya. Praktik manajemen yang amat penting untuk kebaikan perusahaan –seperti memenuhi kebutuhan pelanggan terbaik dan memfokuskan investasi pada bidang yang sangat menguntungkan –pun dapat menyebabkan kegagalan. Demikian komentar Michael E Raynor dalam Solusi Sang Inovator.
Di penggalan situasi berbeda, kerap kita mendengar seruan, ‘’Jangan pakai kacamata kuda alias berjalan sendiri dalam membesarkan perusahaan tanpa mau menoleh pada dinamika pasar’’. Sebuah saran yang bercita rasa elegan tetapi harus dikritisi dengan berpijak pada visi dan misi perusahaan. Selama manajemen dan karyawan bersinergi dalam alur visi seirama dan selaras, maka dapatlah dipastikan bahwa ada sekelompok ‘orang gila’ yang sedang meretas sebuah masa depan gemilang. Titik-titik kelemahan dikelola bijak jadi ‘silabus’ pelajaran menuju perusahaan sukses. Itulah inti inovasi dalam perspektif E Raynor: ‘meng-upgrade’ kualitas intelektual bermuara pada peningkatan kualitas produk dan jasa.
Sesungguhnya, kejar-mengejar segmen pasar, kategori selera konsumen dan intrik persaingan bisnis perusahaan menuju pertumbuhan yang sukses berpangkal pada keelokan teoretis, cendekiawan yang keras hati, analisis data yang kreatif dan berjalannya fungsi manajerial.
Salah satu pendampingan manajerial adalah upaya melahirkan salesman atau sales promotion group (SPG) yang siap jadi ‘manusia gila’ tapi punya penghasilan halal untuk minum kopi di Bakery Corner atau beli kudapan. Indonesia yang dibandrol sebagai negeri 1001 keanehan terus berdiri. Rakyat negerinya tetap butuh pekerjaan dan pendidikan. Pekerjaan halal bermuara pada pembaktian diri kepada kesejahteraan sesama manusia. Meski dalam skala kuantitas amat kecil tapi bernilai dari segi kualitas. Itulah satu dimensi mulia kiprah para SPG PT Karya Pak Oles Tokcer yang menegakkan kesehatan manusia berbasis herbal, alami dan nyaman tanpa efek samping. SPG menjadi obor dan pembawa suara kehidupan bahwa alam menyiapkan berbagai fasilitas dan sarana untuk kesehatan manusia. Sebut saja madu organik/budidaya, tanaman berkhasiat obat atau segala jenis tanaman mengandung antioksidan yang mendukung revitalisasi hidup.
SPG atau salesman yang mampu menjual pasir ke Arab, daerah padang pasir, patut diacungi jempol. Benarkah ia akan sukses menjual apa saja? Termasuk menjual gigi palsu untuk orang yang giginya masih lengkap? Setiap orang punya potensi membeli tapi yang paling penting apakah ada kesesuaian antara produk dengan kebutuhannya? Kalau orangnya tidak membutuhkan, tapi kita bisa mengakali supaya dia membeli, bukankah itu aksi manipulatif? SPG Pak Oles memasarkan produk kesehatan dan jamu yang sudah merakyat. Tidak ada strategi manipulatif. Karena SPG berlogo GNW itu memasarkan sebuah produk yang berkualitas, bermerek dan dikawal dengan informasi, Koran Pak Oles dan Tabloid Montorku.
Berbekal pemahaman produk (product knowledges), mereka menggelar promosi, menyasar ruang publik dan kreatif melakukan kunjungan privat dari rumah ke rumah. Menyapa konsumen dan pelanggan. Mereka memahami marketing sebagai segala upaya untuk membuat orang membeli. Kalau menjelaskan manfaat produk dengan baik membuat orang membeli, ya itulah pemasaran. Penguasaan manfaat materi produk bukan sebatas hafalan tetapi merasuk menjadi kebanggaan diri, kegembiraan citra dan fanatisme merek.
Dalam film “Life is Beautiful”, ada kata-kata indah dari Uncle Alicio. “Menunduklah seperti bunga matahari mencari sinar matahari. Bunga matahari yang terlalu menunduk itu bunga mati. Melayanilah tapi kamu bukan pelayan. Seperti Tuhan melayani manusia, tapi Tuhan bukan pelayan’’. Dalam proses penjualan itu, SPG tidak harus “melacurkan diri” karena asal laku, tapi bangun sikap keperwiraan dalam menjual. Hormat bukan untuk merendahkan diri, meskipun tetap rendah hati. KPO/EDISI 108 JUNI 2006

Lalu lintas pemahaman ilmu marketing terus berkembang dan diperkaya terus dengan temuan gagasan teoretis dan trend pasar yang dinamis. Contohnya, pemahaman konsep pasar tidak lagi dipatok pada sebuah tempat, terjadi transaksi jual beli produk atau jasa dan adanya permintaan pembeli dan penawaran penjual.
Pasar telah menjelma menjadi hutan rimba yang ganas. Di rimba maha lebat, ada pertarungan bisnis, gemerisik kompetisi antar perusahaan memasarkan produknya, dentingan produksi produk yang meluber melebihi jumlah konsumen dan strategi membentuk citra untuk menjinakan konsumen yang telah dititahkan sebagai raja hutan.
Ketika konsumen membeli sebuah produk untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya maka di sana tercipta ‘pasar konsumen’. Saat produk yang dibeli siap diolah lagi untuk dijual kembali maka disebut karakteristik ‘pasar produsen’. Kala produk dibeli untuk dipasarkan lagi dengan selisih harga maka itu adalah ciri ‘pasar pedagang’.
Di celah ini kita bisa memotret potensi budidaya anggrek di Indonesia yang kini mulai menggeliat merekayasa ‘pasar konsumen’, menembus ‘pasar produsen’ dan para distributor anggrek telah membangun ‘pasar pedagang’.
Indonesia menyimpan sejumlah potensi kekayaan, baik kekayaan alam maupun kekayaan sumber daya manusia. Dari sumber daya alam, Indonesia termasuk dalam wilayah tropis yang bisa memungkinkan tumbuhnya berbagai tanaman atau pohon-pohon. Penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa dari 40000 spesies yang ada di bumi, ada 30000 spesies yang ada atau bertumbuh di Indonesia. Semua spesies tumbuhan ini bisa memberikan nilai guna bagi manusia, asalkan manusia Indonesia bisa mengelolanya. Berbagai jenis tumbuhan ini dapat menjadi sumber makanan, obat-obatan, kosmetik, tanaman hias atau diolah menjadi berbagai produk turunan.
Pertanyaan yang muncul adalah sudah berapa persenkah ribuan spesies yang ada telah diolah sehingga bisa bermanfaat dan memiliki nilai ekonomis yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup orang Indonesia? Bila secara prosentase tidak seimbang, apa faktor penyebabnya, apa kendalanya? Bisa dibayangkan bahwa cukup dengan 50% dari semua kekayaan yang ada bisa dikelolah secara optimal maka Indonesia akan tampil setara dengan negara-negara industri yang kaya dalam segala bidang kehidupan. Ironisnya, Indonesia ibarat tikus mati kelaparan dalam karung beras. Indonesia masih terus menjadi negara miskin dalam kegelimangan kekayaan alam yang berlimpah ruah.
Salah satu kekayaan spesies yang belum menjadi perhatian serius dari berbagai pihak adalah anggrek. Letak Indonesia pada daerah tropis, memungkinkan untuk spesies yang satu ini bertumbuh dengan subur. Tidak heran jika Indonesia dikenal dengan negeri kaya anggrek karena spesies anggrek terbanyak ada dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ada 5000 spesies anggrek yang bertumbuh di Indonesia. Hanya sebagian kecil spesies ini yang berhasil dibudidayakan, dikawin-silangkan, sehingga menghasilkan bibit unggul dengan kualitas tinggi.
Sebagai bunga, anggrek memiliki keunggulan tersendiri. Warnanya beragam, keindahannya mempesonakan mata setiap orang yang melihatnya, baunya harum semerbak. Bahkan, kembangnya paling bertahan dalam tempo yang cukup lama, bisa berhari-hari, berminggu-minggu dan ada beberapa jenis yang bisa bertahan berbulan-bulan. Keragaman warna, keindahan, keharuman serta ketahanannya menyebabkan anggrek menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap orang yang mencintai keindahan. Keunggulan anggrek seperti ini bisa dikembangkan menjadi produk bisnis yang mendatangkan keuntungan.
Sayangnya, potensi terpendam ini sangat terlambat dikembangkan di Indonesia. Sejak abad lalu, anggrek-anggrek unggul Indonesia telah diambil dan dibawa keluar negeri baik secara legal maupun ilegal, terutama oleh para penjajah. Di sana, anggrek tersebut dikawin-silangkan sehingga menghasilkan bibit unggul dan dijual dengan harga yang mahal serta menguasai pasar anggrek internasional. Baru pada tahun 1970-an, kesadaran akan budidaya anggrek mulai muncul, yang dipelopori oleh almarhumah Ibu Tien Soeharto, dan berhasil membangun jaringan kerja sama dengan Singapura dalam usaha kawin silang anggrek dari Indonesia. Sejak saat itu, mulai bermunculan para petani, pengusaha, pemasok anggrek yang tersebar hampir di seluruh wilayah nusantara, tetapi masih dalam skala kecil-kecilan.
Geliat bisnis anggrek mulai tampak sejak 10 tahun terakhir, dengan keyakinan bahwa anggrek dapat menjadi lahan alternatif pendapatan, mata pencaharian, membuka lapangan kerja bagi para pengangguran. Kebutuhan akan anggrek kini seakan menjadi kebutuhan pokok. Setangkai anggrek bisa dijual dengan harga ratusan ribu. Bisnis anggrek kini bukan monopoli kelompok tertentu, tetapi milik semua orang mulai dari petani kecil sampai konglomerat. Daya pikat anggrek serta peluang bisnis yang ada telah membius banyak orang untuk terjun langsung dalam usaha anggrek. Diharapkan, perkembangan usaha anggrek Indonesia mampu membawa keunggulan anggrek Indonesia dalam bursa anggrek internasional, serta mampu menduniakan anggrek Indonesia.
Sejumput harapan terkembang mekar di rahim hati. Kesadaran akan potensi ekonomis dalam budidaya anggrek telah merambah berbagai kota. Lihat kini ada pengusaha yang membuka show room anggrek, ada lahan anggrek yang dijadikan arena wisata yang mampu memikat para wisatawan nusantara maupun mancanegara dan event pameran anggrek di Bali telah masuk dalam kalender insan pariwisata. Kita menanti dan terus berharap, mereka yang kehilangan pekerjaan kini bisa menjadikan bisnis anggrek sebagai salah satu alternatif menderek ekonomi rumah tangga. Kita pun menanti kiprah investor untuk mengembangkan anggrek Indonesia. Tak lupa pula secercah himbauan agar pemerintah dan pihak keimigrasian kian tegas ‘melawan dan memberantas’ para penyelundup anggrek illegal ke luar negeri. Investasi dan proteksi menjadi pendulum menduniakan anggrek Indonesia. KPO/EDISI 108 JUNI 2006
Semua orang sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi pengusaha. Hal ini dapat diketahui dari bagaimana ia dapat memperoleh penghasilan untuk membiayai kehidupan hariannya. Menurut pengusaha perbankan, Alex Chandra, manusia dapat dikenal dari apa yang ia hasilkan dan apa yang ia kerjakan. “Kita dapat menyebut bahwa ia seorang pengusaha atau tidak dari apa ia kerjakan dan ia hasilkan,” urai Chandra dalam seminar sehari bertajuk “Semua Bisa Menjadi Pengusaha” di Hotel Orange Denpasar Bali, April 2006.
Di hadapan 500 peserta, Chandra menguraikan empat cara bagaimana manusia bisa memperoleh penghasilan. Pertama, dengan bekerja untuk orang lain (others employer), artinya orang lain yang menggaji. Ia hidup dari apa yang digaji tersebut dan ia bekerja hanya semata-mata memperoleh penghasilan. Contoh dari kelompok ini adalah para karyawan, pegawai negeri sipil, para buruh. Kedua, orang yang bekerja untuk dirinya sendiri (self employer). Artinya, ia bekerja dengan kekuatan sendiri, bakat dan pengetahuan yang dimilikinya, sekaligus ia hidup dari apa yang dikerjakannya tersebut. Contohnya para artis dan seniman. Ketiga, bisnis owner yaitu orang yang memiliki usaha sendiri. Ia hidup dari usaha tersebut tetapi ia sendiri tidak langsung bekerja. Ia memiliki tenaga-tenaga yang bekerja untuknya. Contoh dari kelompok ini adalah para pengusaha. Keempat, investor. Kelompok ini tidak memiliki usaha, bahkan tidak bekerja, tetapi mereka memperoleh penghasilan dari hasil investasi.
Klasifikasi cara memperoleh penghasilan seperti ini bisa membantu orang untuk menempatkan dirinya, bahwa ia sebenarnya berada di kelompok yang mana. Untuk menjadi seorang pengusaha, minimal orang harus masuk dalam kelompok bisnis owner sekalipun dalam skala yang sangat kecil. Syaratnya, harus memiliki pengetahuan dan wawasan, kerja keras, tekun, pandai membaca peluang, memiliki visi dan misi yang jelas, mengambil keputusan secara cepat dan tepat dan didukung oleh tenaga dan sarana yang memadai. Masalah modal bukan sesuatu yang sulit. Bila semua syarat dipenuhi dan dieksekusi secara tepat maka ia bisa dikatakan sebagai pengusaha sukses.
Kesuksesan seorang pengusaha ditandai oleh terpenuhinya empat kebutuhan dasariah dan dua kebutuhan spiritual. Kebutuhan dasariah adalah financial freedom (kepastian keuangan), time freedom (bebas menentukan waktu, tidak tergesa-gesa, tidak merasa dikejar-kejar waktu), control (manusia selalu ingin mengontrol, tetapi tidak mau dikontrol), growth (usaha selalu bertumbuh dan berkembang, dan sudah menjadi hukum alam, bila tidak bertumbuh maka ia sama dengan mati). Sedangkan kebutuhan spiritual adalah contribute (beramal, ada kepuasan untuk beramal dan tidak merasa rugi dan menyesal), kebutuhan akan penghargaan. Bila telah memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini maka ia bisa disebut sebagai pengusaha sukses.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006
Besarnya modal dan tingginya tingkat pendidikan tidak menjadi ukuran dalam berwirausaha. Keberhasilan dan kesuksesan dalam wirausaha sangat ditentukan oleh kerja keras dan kemampuan untuk melihat peluang dan tantangan yang ada. Untuk menjalankan usaha, modal utama adalah kualitas pribadi yang tinggi. Benarlah apa yang dikatakan Shibusawa Eiichi, seorang wirausahawan legendaris dan aktor perubahan sosial Jepang. “Jika engkau seorang yang berkemampuan tinggi, jadilah seorang pedagang, tetapi jika engkau seorang yang setengah-setengah jadilah pegawai biasa.’’ Kata-kata Shibusawa ini perlu dicermati oleh setiap orang yang ingin memulai wirausaha, karena kualitas individulah yang akan menentukan usaha tersebut akan tetap bertahan atau tidak.
Di mata pengusaha jamu asal Bali, Dr Ir G.N. Wididana, M.Agr, kesuksesan suatu usaha bukanlah hal yang mudah, melainkan harus diperjuangkan dengan mata dan hati yang bersih, pikiran yang jernih dan semangat yang tak pernah padam. “Inilah modal dasar, agar usaha yang dijalankan tetap bertahan, sekalipun diterpa berbagai tantangan dan godaan, baik secara internal maupun secara eksternal,” urai Wididana di hadapan 40-an peserta pengusaha komputer yang tergabung dalam Assosiasi Perusahan Komputer Indonesia, di Hotel Nikki, Denpasar, Sabtu, (8/4/2006).
Menurutnya ada lima kunci utama agar wirausaha tetap bertahan di masa krisis yaitu fokus, produk yang dihasilkan, citra atau merk, pemasaran, dan SDM. Fokus akan kelihatan dalam keketapan hati, ketekunan, kesabaran dalam menjalankan wirausaha. Tindakan ini harus dimbangi dengan kekuatan doa, perumusan visi misi yang tepat sasar dan diwujudkan dalam aksi nyata. Aksi nyata ini akan menghasilkan produk tertentu entah berupa barang atau jasa. Produk yang dihasilkan harus memperhatikan kualitas, kuantitas, kontinuitas, diversifikasi, inovasi dan pengembangan. Citra atau merk produk yang dihasilkan juga perlu mendapat perhatian yang serius. Kekuatan citra atau merk akan mempengaruhi pasar. Kekuatan citra hanya bisa dibangun dengan komitmen yang teguh, manajemen merk, informasi dan jaringan. Semakin citra itu dibangun, maka kredibilitas dan image konsumen dan masyarakat pada umumnya terhadap produk tersebut akan semakin besar dan kuat, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi pasar.
Dalam suatu usaha, pemasaran menduduki posisi yang penting. Bila pemasaran tidak berjalan, maka semua produk yang dihasilkan akan mubazir dan masuk sampah. Pemasaran sangat menentukan eksistensi dan keuntungan suatu usaha. Pemasaran harus didukung sistem yang benar, jaringan dan informasi yang luas, dan ditangani oleh team pemasaran yang solid dengan SDM yang berkualitas. Kualitas SDM akan menentukan apakah usaha tersebut akan tetap bertahan atau tidak. Ada berbagai cara untuk meningkatkan kualitas SDM antara lain, motivasi, pendidikan dan latihan, kontrol, perbaikan, regenerasi. Peningkatan kualitas SDM ditandai dengan promosi, demosi, mutasi dan didukung oleh sistem penggajian, insentif dan bonus. Bila lima kunci utama ini diperhatikan secara serius maka usaha tersebut akan tetap bertahan sekalipun dilanda oleh berbagai krisis yang terjadi. Mudah-mudahan.
KPO/EDISI 102 APRIL 2006

(Catatan liputan Jogya Bike Rendesvous (JBR) 2006 yang berlangsung di Hall Jogya Expo Centre (JEC), selama tiga hari, 17-19 Maret 2006 lalu)

Siapapun yang ingin menjadi pengusaha dan pedagang sukses harus cerdik membaca ‘arah ingin’ atau celah usaha dan kebutuhan konsumen. Di mana ada semut di situ ada gula. Di mana ada peluang, di situ ada usaha. Itulah kiat bisnis di masa krisis yang menginspirasi para pedagang aksesoris dan merchandise klub otomotif seperti Harley Davidson (HD) dan motor tua memanfaatkan fanatisme konsumennya.
Celah usaha ini amat jeli dimanfaatkan Ir Ahmad Saiful Adhi yang mengibarkan bendera usaha Zip yang memproduksi T-Shirt dan aksesoris clubmania otomotif. Sebelumnya, adik kandungnya Radif Fitrata Salim sudah berkecimpung merintis usaha sablon pakaian kaos atau T-Shirt di rumah mereka Perum Sidoarum II, Jl A32, Godean, Yogyakarta. “Waktu itu, adik saya masih bermain dengan kaos underground, style, sports dan custom,’’ tutur pria kelahiran Nganjuk, 2 Juli 1968 yang pernah menjadi konsultan survey dan pemetaan lokasi minyak di Pertamina.
Setelah berhenti sebagai konsultan teknik, tahun 2004, Saiful tertarik mendukung usaha adiknya dengan menerobos pasar merchandise clubmania. Pertama kali, mereka memasarkan baju kaos bergambar sepeda motor antik dan lambang-lambangnya dalam ulang tahun ke-5 Ikatan Klub Otomotif Surakarta (IKOSA), 26 September 2005. Ternyata baju kaos benar-benar laris. Bahkan ada yang order 300 kaos. Dari situ, Saiful membagi tugas kerja. Adiknya fokus pada bidang design dan setting di komputer sementara dirinya sebagai manajer pemasaran sekaligus mengembang tugas humas atau membangun jaringan dengan pelaku otomotif.
‘’Kami mulai merekrut tiga karyawan. Bahan kami beli, jahit sendiri dan mulai mencari pasar dengan melihat agenda event-event seperti pameran otomotif. Kami masih kerjakan semuanya di rumah karena tempat kontrakan masih cukup mahal,’’ tutur alumni Teknik Geodesi UGM Jogja 1996.
Saat ini Zip sudah memiliki 7 karyawan tetap dan tahun 2006, Saiful mulai menggarap pasar para penggemar fanatik harleymania. Diakuinya, untuk ikut sebuah event saja, pihaknya nekat meminjam uang dari pihak ketiga untuk mencetak aksesoris maupun merchandise yang dikerjakan dengan skala home industry. Namun, suami Nuriah Zahra ini bersyukur dagangannya selalu laris dan modal dari pihak ketika maupun dari karyawannya sendiri bisa dikembalikan.
KPO/EDISI 103 APRIL 2006

(Catatan liputan Jogya Bike Rendesvous (JBR) 2006 yang berlangsung di Hall Jogya Expo Centre (JEC), selama tiga hari, 17-19 Maret 2006 lalu)
Keberanian digandeng aksi nekat. Itulah spirit yang diusung tiga anak muda asal Bandung, Dennie H, Atep dan Along kala menekuni usaha pembuatan merchandise dan aksesoris kendaraan bermotor. Apalagi produk yang diciptakan diklaim pertama di Asia dan dipasarkan hanya di Indonesia, yaitu di Kota Bandung. Ketiganya bahu-membahu merintis pembuatan dan penjualan produk riding arts tiga dimensi dengan nama Four Speed. Produksi atau finishing dibuat di Jepang. Sebuah kisah usaha mandiri yang dimulai dengan sebuah ceritera panjang.
Ditanya soal modal awal, Atep pun mulai berkisah. Semuanya berawal dari hobi chatting. Kebetulan Atep dan Dennie memiliki bakat seni ukir. Dan, isi chatting pun berkisar soal bisnis seni ukir. Atep pun akhirnya bisa bertemu dengan teman sharing asal Jepang yang juga punya minat mengembangkan kreatifitas di dunia ukir. Pertukaran informasi dan komunikasi yang intens mendorong mereka untuk mengembangkan usaha bersama membuat seni ukir tiga dimensi. Pilihan jatuh pada produksi riding arts.
Atep dan Dennie dibantu Along yang pernah bekerja di Jepang untuk mulai merintis usaha mereka secara kecil-kecilan di Kompleks Margahayu Raya, Blok 1-2 No 106 Bandung. ‘’Kami desain gambar maupun display lewat setting komputer. Proses hard made dibuat sendiri di Bandung seperti desain pahatan pada kayu dan matres (cetakan). Jadi kami seperti menjual imajinasi saja,’’ tutur Atep. Lalu. ‘bahan kasar’ ini dikirim kepada rekannya di Jepang untuk diproduksi menggunakan bahan metal aloe yaitu campuran murni bahan logam, perak, tembaga dan aluminium dengan menggunakan teknologi mesin injeksi.
Diakuinya, produk riding arts ini menyasar kelas khusus yaitu penghobi koleksi berbagai jenis kendaraan klasik maupun favorit. Maklum saja harganya terbilang mahal berkisar Rp 7 juta sampai Rp 10 juta. ‘’Sebuah sepeda motor bisa terdiri dari 75 cetakan (matres) yang bisa dilepaskan. Keunggulan lainnya, dikerjakan secara detil per bagian termasuk menulis huruf yang terkecil sekalipun sehingga bisa menyerupai bentuk asli,’’ tutur Dennie.
Produk aloe ini, lanjut Atep, memiliki keunggulan. Bila makin digosok akan makin mengkilap. Khusus untuk aksesoris seperti kalung, gelang atau cincin jika dipakai tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Untuk menerobos pasar, Denie dkk mulai membuka stand di berbagai pameran otomotif maupun pameran pembangunan. ‘’Untuk pameran otomotif, kami baru pertama kali ikut Jogja Bike Rendezvous 2006,’’ tutur Atep.
Kreatifitas menjual mimpi mendatangkan duit. Itulah sepak terjang nekat dan berani tiga punggawa Bandung dalam merintis usaha di tengah kesulitan mencari lapangan pekerjaan. KPO/EDISI 103 APRIL 2006


Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Blog Stats

  • 90.568 hits

WITA

obj=new Object;obj.clockfile="8009-red.swf";obj.TimeZone="Indonesia_Denpasar";obj.width=150;obj.height=150;obj.wmode="transparent";showClock(obj);