Catatan Kenangan Beny Uleander

Archive for the ‘Politik’ Category

Sharing “Gubernur Jagung” Fadel Muhammad (4-habis)
Pusaran arus pergulatan pembangunan pro rakyat di kawasan Amerika Latin mulai meluas di negara-negara berkembang. Hugo Chaves sukses meraih dukungan rakyat Venezuela untuk kedua kali. Meski sejarah masih menyisakan kisah yang belum terjawab: apakah Chaves akan tergoda oleh kenikmatan kekuasaan. Demikian pula, mayoritas petani miskin Bolivia mendaulat Evo Morales yang sukses menasionalisasi perusahaan asing untuk mengembalikan kedaulatan kekayaan negara.
Trend mengejutkan datang pula dari jantung Amerika Latin, yaitu Paraguay. Uskup Emeritus Fernando Lugo yang dikenal gigih menerjemahkan teologi pembebasan option for the poor terpilih menjadi pemimpin negeri itu. Kembali arsip sejarah yang akan bercerita sukseskah Lugo sebagai pemimpin agama berkiprah di panggung politik yang kotor dan serakah? Yang pasti percikan ideologi kesejahteraan mulai tercecer di berbagai belahan dunia.
Ideologi kesejahteraan entah berbaju sosialisme atau neososialisme tetap sebuah gerakan kesadaran baru era digital ini. Pergulatan pasar bebas yang kapitalistik membentang kenyataan pahit: penjajahan ekonomi yang amat keji. Negara-negara kaya dengan perusahaan raksasa berkolaborasi menancapkan mega proyek pengerukan kekayaan alam di sebuah negara. Jurus lain kolonialisme di abad 21 yang penuh eksploitasi sumber daya alam maupun manusia. Indonesia pun terjepit genggaman arus modal asing dalam berbagai perusahaan asing maupun “blasteran” dari Sabang sampai Merauke.
Seiring debur kencang “tsunami” ideologi kesejahteraan, regenerasi kepemimpinan yang diproduksi kalangan elite politik mulai memudar. Kini pemimpin pinggiran yang tidak terkenal, tapi dengan dukungan rakyat bisa menggapai poros kekuasaan. Uniknya lagi, di tengah “ideologi baru”, rakyat merindukan pemimpin muda yang dianggap segar, penuh vitalitas, dinamis dan jiwa yang terbuka menggapai kemungkinan terjauh menuju perubahan baru.
Lalu apa hubungan ideologi kesejahteraan dan jejak pembangunan yang dirintis Gubernur Fadel Muhammad di Propinsi Gorontalo? Di saat para pengamat politik dan aktivis mencalonkan diri sebagai calon presiden, diam-diam Fadel yang berada di lingkaran elite partai Golkar memilih kembali mengabdi di daerah. Ketika perguliran rezim dikritik gagal memberantas kemiskinan, diam-diam pula Fadel membuat grand desain pembangunan ekonomi lokal yang memadukan kinerja birokrasi dan potensi kerakyatan sebagai tonggak pembangunan daerah.
Sepak terjang Fadel Muhammad memang tidak serta merta mendaulat sosok pemimpin muda itu layak “melirik” kursi RI 1. Namun setidaknya, langkah-langkah pembangunan agraris bisa diretas di negeri ini dan oleh seorang pemimpin muda. Entah tua ataupun muda…pemimpin negeri ini harus berani dan tegas merintis penguatan ekonomi kerakyatan. Tentunya berani menggusur jejaring kapitalis-neokolonialisme modern yang memiskinkan rakyat.(KPO EDISI 158/AGUSTUS 2008)
Dua goresan hitam menyilang tebal pada wajah peradaban negeri ini. Dua guratan duka mengawali kematian sebuah negeri. Pertama, mega skandal korupsi massal legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, rentetan eksekusi mati para terpidana mati yang melakukan aksi kriminal karena motif ekonomi.
Dari kedua pahatan peristiwa historis itu, bergulir topik debat publik nan hangat. Bagaimana kalau para koruptor digiring ke tiang pancung -hukuman mati. Alasannya, uang negara yang dicuri selama ini menjadi biang keladi kemiskinan yang menggurita dan membelit rakyat negeri yang kaya sumber daya alam ini. Sedangkan para pelaku kriminal yang ditembak mati hanya menghilangkan nyawa segelintir orang. Sementara kerakusan para koruptor membuat jutaan rakyat hidup terlunta-lunta di medan kemiskinan.
Montesquieu dengan cemerlang menggagas trias politika sebagai pilar-pilar penyangga eksistensi rakyat dan negara. Sebuah cetusan ide yang progresif dalam tataran sistem. Tapi apakah pernah terlintas dalam benak Montesquieu pada tahun 1748 bahwa tiga pilar demokrasi itu pada moment tertentu akan “berselingkuh ria” menghancurkan negara. Ya fakta telanjang “perselingkuhan” terpampang setiap hari di layar kaca dan kertas koran di negeri ini. DPR telah menjadi mafia korupsi uang negara. Kejaksaan diobok-obok karena sudah dari dulu tidak dipercaya kredibilitasnya. Setali tiga uang, aparat birokrat, termasuk mantan pejabat banyak yang dicokok KPK karena ada dugaan mark up tender dan proyek pembangunan.
“Permainan kotor” tiga tiang penyimbang kekuasaan itu menyebabkan angka golput terus meningkat secara signifikan dalam beberapa event pilkada gubernur maupun bupati yang dilakukan secara langsung di berbagai daerah. Meski begitu, negeri ini belum mati. Itu karena masih ada laskar-laskar mandiri yang tidak mau mencicipi sensasi kenikmatan hidup dengan uang haram. Mereka bukan pengikut setia Epikuros (342-271 SM) yang menganjurkan agar orang menjauhkan diri dari kesibukan ber-polis karena kegiatan itu berisiko tinggi terhadap ketenangan jiwa. Mereka juga bukan pengusung idealisme Kantian dan Fichte yang tidak mau menaklukkan diri kepada benda-benda berharga yang ada di alam ini. Siapa mereka?
Para laskar mandiri tidak lain adalah pribadi-pribadi yang tidak mau menjadi budak harta. Tujuan hidup tertinggi bukan pada kepuasan hidup bertabur emas dan dollar. Kalkulasi kenikmatan tertinggi ada pada kebebasan dan kreasi untuk menghasilkan karya berharga lewat sketsa pekerjaan. Kehidupan adalah ruang berbagi cinta, perlindungan, penghargaan, ketulusan dan gairah untuk menciptakan surga damai di dunia. Kru legislatif boleh serakah! Tim Yudikatif silahkan menebar jurus-jurus pemerasan! Grup eksekutif bebas menilep uang proyek! Tapi selama kebeningan nurani belum punah dari bumi pertiwi, detak jantung Republik ini akan terus berdenyut.
Kebahagiaan sejati ditakdirkan menjadi milik pribadi-pribadi yang bukan “tukang-tukang” kekuasaan. Juga kedamaian bersemayam dalam batin yang puas menikmati kehidupan dengan hasil karya. Mereka tidak membunuh karena kemiskinan dan mereka tidak merampok uang negara karena tahu letak sesungguhnya sumber-sumber kenikmatan batin. Karya agung hanya lahir dari jiwa yang setia menatap keluhuran kemanusiaan. Kemalangan selalu menghampiri pribadi yang bersandar pada kekuatan sihir kuasa dan uang. (KPO EDISI 157/AGUSTUS 2008)

Kesejahteraan tidak selalu dipungut dari perut bumi. Kesejahteraan juga bukan hujan yang meluncur turun dari langit. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan berkelana ke setiap jengkal benua baru. Segala hasil alam yang ada di perut bumi dilihat sebagai sumber-sumber kesejahteraan baru.
Namun catatan sejarah membagi pengalaman berharga. Bukan perkara gampang memungut bulir-bulir kesejahteraan. Perebutan kekayaan alam antar bangsa melahirkan penjajahan dan perang. Itulah awal kesadaran setiap komunitas membangun pertahanan diri. Sebuah visi baru bahwa kehidupan adalah hak setiap manusia. Demikian pula kekayaan alam adalah anugerah bukan kutukan. Dalam perspektif yang lugas, pengkhiatan terhadap ruang-ruang kehidupan dan kemanusiaan adalah awal kemiskinan.
Gairah mengumpulkan hasil-hasil alam akan berbeda di tangan kapitalis maupun humanis. Penyembah kapitalis terpesona penuh takjub melihat sumber-sumber kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Di mata batin kaum humanis, alam dan segala isinya adalah anugerah kehidupan. Alam adalah bentangan ladang kesejahteraan.
Mosaik kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan sudah bergulir sejak era kekaisaran klasik hingga kepresidenan konstitusional modern. Siapakah yang menyalakan lentera kemiskinan di muka bumi ini? Mengapa kemiskinan yang diperangi setiap zaman selalu tampil lagi dengan potret yang lebih memilukan hati? Kemiskinan selalu terlahir di tengah komunitas yang sebagian warganya melihat kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Rona kemelaratan adalah buah sejati dari upaya sistematis dan strategis mengusir yang kecil tak berdaya menikmati kekayaan alam.
Di medan perang, prajurit-prajurit kapitalis adalah serdadu barbar yang menyebar virus-virus kematian. Mereka menertawakan Republik Ide yang dibangun Plato sebagai khayalan akan hadirnya surga dunia. Bagi mereka, De Civitate Dei yang dirindukan filsuf Agustinus pada abad ke-5 adalah tiran baru anti kedai anggur dan rumah bordir. Itu berarti, tak ada kesempatan buat merayu, tak ada tempat pertemuan rahasia yang selama ini dinikmati penyembah kapitalis.
Mereka juga mengejek kisah perjalanan Raphael Hythlodaeus, satu dari 24 orang yang dibawa sang penjelajah termashur, Amerigo Verpucci, dalam perjalanan dan ditinggal di Cabo Frio, Brazil. Bagi dedengkot kapitalis, penemuan pulau utopia oleh Raphael Hythlodaeus -tokoh rekaan- Sir Thomas More pada tahun 1515 itu tak lebih dari ungkapan frustrasi “orang-orang saleh”.
Kehidupan adalah sebuah petualangan sekaligus pertarungan. Memang benar adanya. Petualangan untuk mencari dan mengusahakan merekahnya keadilan, kebaikan dan keluhuran dari rahim bumi. Bukanlah hal yang mustahil untuk terwujud selama kita percaya pada pengembangan dan penemuan terdalam kemanusiaan itu sendiri. Hanya pribadi-pribadi yang sudah mencapai “pencerahan humanis” yang berani tampil sebagai pemimpin yang menghancurkan benteng-benteng kapitalis. Hak-hak rakyat harus dilindungi di tengah pasar bebas yang sangat menguntungkan para tengkulak. Negara dan pemerintah belum berani melakukan intervensi terbatas kebijakan harga sembako dan produk pertanian yang selama ini tidak bersahabat dengan rakyat kebanyakan. Tapi apa yang mau dikata, negeri ini masih dipadati pemimpin-pemimpin karbitan yang dibesarkan kampanye media massa dan iklan.
Bisakah kesejahteraan bersemi di negeri kita? Bila ditanya dari mana datangnya kesejahteraan, maka jawaban historis amat panjang mengurai debat ideologi. Setiap ideologi pembangunan berlomba-lomba menawarkan kesejahteraan kepada para penganutnya. Yang pasti, jalan menuju kesejahteraan akan dipandu oleh pemimpin yang melihat kekayaan alam sebagai rahmat bukan kutukan. Hatinya sakit dan menderita melihat rakyat agraris hidup miskin di tanah pertanian.
Tak ada salahnya di tengah pertarungan iklan calon pemimpin bangsa jelang pilpres 2009, kita terus berdoa lahir tokoh pemimpin yang mendesain sketsa besar tapi membumi bagaimana dengan cara-cara singkat membuat rakyat di pedesaan sejahtera.
Karena itu, seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang terus-menerus menerapkan ideologi kesejahteraan yang diyakini membawa kemaslahatan bagi bangsa.
Ideologi bukan sekedar kumpulan ide atau gagasan yang dipahami Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 sebagai “sains tentang ide”. Ideologi adalah perbuatan yang membangkitkan rasa percaya rakyat. Sehingga rakyat pun terdorong untuk bekerja lebih keras. Karena rakyat tahu buah hasil kerja keras mereka akan mendatangkan peningkatan pendapatan.
Saat ini, rakyat terus diteror dengan kanaikan-kenaikan harga. Pelaku pasar bebas dengan santai berujar pada akhirnya rakyat akan menyesuaikan daya belinya. Wahhh…kasihan, rakyat miskin-papa-hina-dina-lemah- dibantai serdadu-serdadu kapitalis yang berpikir Jakarta adalah Indonesia. Mereka tak peduli menajamkan ideologi dan visi bagaimana 70 persen uang yang beredar di ibukota negara itu terdistribusi juga ke daerah-daerah. Bangsa kaya raya, tapi pemimpinnya idiot ataukah bandit-bandit kapitalis baru? Sejarah yang akan bercerita lagi kepada anak cucu kita, siapa itu pemimpin sejati di negeri ini. (KPO EDISI 155)

Kenyataan menyedihkan menimpa negeri kita. Apalagi kalau bukan kerugian negara akibat skandal korupsi terbesar penyaluran dana Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI). Para penikmat dana BLBI terbesar tidak pernah tersentuh roh keadilan hukum pidana negeri ini.
Dengan konspirasi sangat sempurna, konglomerat “plat merah” era pemerintahan Soeharto sukses merampok uang negara (sejak 1999) lebih dari Rp 650 triliun plus bunga obligasi rekap yang harus ditanggung negara pertahunnya Rp 60 triliun sampai tahun 2030. Itu berarti kerugian yang harus ditanggung negara mencapai 250.000 triliun, ungkap Ismed Hasan Putro, Ketua Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).
Keprihatinan berubah menjadi “rasa sakit” bagi generasi muda yang masih peduli dengan nasib negara kepulauan ini. Betapa tidak, meski negara telah dirugikan triliunan rupiah tapi tidak ada tindakan hukum atas kejahatan ekonomi dan megakorupsi yang mereka lakukan. Beban keuangan negara amat berat “menutupi” kerugian yang mencapai triliunan rupiah selama bertahun-tahun. Padahal kita tahu sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur negeri ini perlu segera dibenahi dan memang membutuhkan modal yang amat besar.
Kasus BLBI secara singkat dapat dibagi menjadi dua. Pertama, para debitur yang telah mengantongi surat keterangan lunas dan debitur yang belum melunasi BLBI, seperti Sudwikatmono (Bank Surya), Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim International), Thee Nan King (Bank Danahutama), Hendra Liem (Bank Budi Internasional) Siti Hardijanti Rukmana (Bank Yakin Makmur), Anthony Salim (BCA). Untuk kelompok kedua aparat penegak hukum harus mengecek aset yang dijaminkan para debitur BLBI apakah sesuai dengan nilai aset yang dilaporkan ke BPPN. Selain itu, langkah pidana penggelapan yang dilakukan debitur, karena sebagian aset diagunkan kepada pihak lain, padahal kepemilikan aset sudah di tangan BPPN. Kita berharap Surat Keterangan Lunas (SKL) yang telah dikeluarkan untuk dibitur bermasalah kembali dikaji ulang.
Kelompok kedua adalah para pemegang saham yang mengemplang dana BLBI. Ada tagihan dari 8 debitur mencapai Rp 9,4 triliun. Mereka adalah Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Bira), James Januardy dan Adi Saputra Januardy (Bank Namura Internusa), Lidia Muchtar (bank Tamara), Omar Putirai (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putera Multikarsa) dan Agus Anwar (Bank Pelita). Untuk kasus ini, polisi dan jaksa diharapkan memproses secara hukum.
Sebelumnya kita bangga utang luar negeri kita berlahan-lahan bisa dilunasi. Sayang kini muncul utang baru akibat mismanajemen perbankan, campur tangan kekuasaan dan politik. Lagi-lagi rakyat yang menanggung bebannya. Bukankah kerugian negara itu ditutupi dari uang negara yang dipungut dari rakyat?
Terkuaknya kasus dugaan penyuapan Artalyta Suryani alias Ayin kepada jaksa Urip Tri Gunawan dilihat sebagian kalangan yang masih murni hatinya sebagai mukjizat di tengah megakonspirasi konglomerat, pejabat negara dan politisi. Sentuhan “Tangan Tuhan” inilah menjadi momen bagi aparat penegak hukum untuk berkomitmen membongkar berbagai kebusukan seputar penyaluran dana BLBI. Ini berarti kinerja kepolisian dan kejaksaan dipantau pers secara konsisten agar roh hukum yaitu rasa keadilan tegak di negeri ini. Bukan hanya penyalur dana yang mendapat sanksi pidana, sementara pihak penerima tidak tersentuh tangan hukum.
Kita mendukung langkah pemerintah yang menempuh beberapa langkah alternatif di antaranya mempercepat proses pengembalian uang negara melalui instrumen yang tersedia, melakukan tindakan hukum terhadap obligor yang tidak kooperatif dan menempuh langkah-langkah solutif yang harus menjamin keadilan, bebas intervensi dan bebas korupsi tentunya.
Kasus BLBI sesungguhnya merupakan pertaruhan harga diri dan kehormatan eksistensi negeri ini. Penyelesaian lewat jalur hukum yang seadil-adilnya menjadi indikator negeri ini masih dipimpin pemerintahan demokratis atau pemerintahan boneka buatan kaum kapitalis alias pemilik modal.
Ketidakseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum menangani kasus ini kian melukai perasaan warga negara yang masih melihat eksistensi negara sebagai penyerahan kedaulatan rakyat.
Nilai yang kita petik dari megakorupsi BLBI adalah membangun usaha dengan semangat entrepreneur sejati tidaklah berarti menghalalkan segal cara. Kehormatan terletak dalam kerja keras yang jujur, tulis Grover Cleveland. Rasanya tepat kita memahat warisan mental Abraham Lincoln. “Ayahku mengajariku untuk bekerja; ia tidak mengajariku untuk mencintainya”. Kerja keras disertai kejujuran adalah ruang pertumbuhan bagi jiwa-jiwa muda progresif di negeri tercinta ini. (Beny Uleander/KPO EDISI 149/APRIL 2008)

Kelaparan adalah tragedi kutukan mengerikan bagi negeri yang subur dan kaya sumber daya alam. Kelaparan itu adalah murni kebijakan politik strategis! Mengapa demikian? Demokrasi tidak bisa bertumbuh ideal saat perut rakyat kosong. Urusan perut harus ditahtakan kembali pada kursi peradaban. Seperti kata pepatah Yunani kuno, engkau tidak dapat berpikir dengan perut yang lapar, karena perut tidak punya telinga. Padahal salah satu sendi demokrasi adalah terbangunnya ruang dialog dan pemahaman sinergis kepentingan pribadi dan umum, keberimbangan simbiosis urusan privat dan ruang kekuasaan negara.
Derita balita busung lapar, bocah-bocah polos kurang gizi, ibu hamil dan anaknya yang mati kelaparan di sebuah kamar kos menjadi ironi di tengah gegap gempita uang miliaran untuk dana kampanye dan pilkada. Seuntai kesadaran mengalir dari kejernihan nurani bahwa wajah kelaparan tengah tergolek bonyok di tangan-tangan kekar kekuasaan. Mulai dari kepala desa hingga presiden, dari pengurus anak ranting partai hingga elite politik di lingkup DPP, dari kemewahan kursi DPRD hingga kemegahan Senayan. Ya, kelaparan adalah buah sistematis dari tumbuh kokoh-kuat-jaya pilar-pilar kekuasaan. Aneh untuk dinalar sekedar dengan minum secangkir kopi di pagi hari.
Di balik awan yang pekat, matahari terus bersinar menerangi bumi. Sebuah contoh alam yang indah untuk dikalungkan pada loh hati. Bahwa serunyam apapun kehidupan, kemerdekaan berpikir dan perpendapat harus terus diperjuangkan dan dipertahankan. Layak bila dikedepankan lagi kebeningan nurani tanpa kebohongan. Sudah banyak litani dusta yang ditebar partai-partai politik dan pemimpin pilihan rakyat. Seorang pemimpin setelah berkuasa –banyak diberitakan media massa—didemo konstituennya karena mereka lupa merealisasikan janji-janji manis saat kampanye. Pendidikan gratis, kesehatan gratis adalah hiburan bagi rakyat dengan perut lapar yang masih ingin anak-anak mereka cerdas, yang masih berharap buah hati mereka tidak kekurangan gizi. Kog tega ya, rakyat miskin terus-menerus dikibuli demi menapaki tangga-tangga kekuasaan!
Bencana kelaparan dan nafsu kekuasaan seperti dua sisi mata uang. Siapa yang mencintai rakyat negeri ini, yang tulus dan suci hatinya, pasti mengamini bahwa kelaparan bukan kutukan alam! Kelaparan dan kemiskinan bukan semata-mata karena kebodohan. Sebab kemegahan masa lalu telah mewariskan kebanggaan bahwa kita adalah keturunan dari para leluhur yang berbudaya dan berkepribadian adiluhung. Kearifan etis mereka bisa kita temukan dalam lontar dan naskah kuno. Rasa estetis mereka bisa kita nikmati dalam warisan megah Borobudur yang menjadi keajaiban dunia. Kerja akur dan kompak secara organisatoris dalam komunitas dan paguyuban dibangun nenek moyang kita dengan mata rantai gotong-royong, dedikasi, pengabdian dan pengorbanan. Betapa kaya norma-norma sosial yang hidup di berbagai suku dan etnik di negeri ini. Sebuah bukti unggul bahwa kelaparan dan kemiskinan terjadi akibat negeri ini salah diurus.
Kerumitan hidup rakyat negeri ini tidak dilihat sebagai tanda kekalahan. Seting kisah kelaparan massal adalah kisah miris zaman digital. Kebrutalan kapitalistik adalah “jenderal besar” yang otoriter dan anti demokrasi. Pemberdayaan potensi rakyat dan menggali keunggulan lokalitas agar memiliki daya saing di dunia usaha adalah musuh terbesar “jenderal besar kapitalistik”. Upaya melibatkan peran rakyat dalam berbagai kebijakan publik adalah rintangan sebesar pegunungan Jaya Wijaya yang bakal menghambat laju eksploitasi kekayaan alam. Itulah sebabnya tidak ada wakil rakyat di Senayan yang gigih berani memperjuangkan nasib rakyat korban lumpur Lapindo. Sebagian wakil rakyat telah menjadi boneka-boneka kekuasaan rezim kapitalistik yang angkuh, picik, licik dan kejam.
Kebiadaban rezim kapitalistik tidak bisa ditudingkan kepada negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara Eropa lainnya. Dalam ranah otonomi dan keberdikarian, kita masih berharap terbitnya wakil rakyat dan pemimpin negeri yang berani memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Satria yang berani melawan tekanan rezim kapitalistik. Kita meyakini, bila tampil pemimpin demikian, ia akan populer karena dicintai rakyatnya. Lebih dari itu, pemimpin sejati adalah insan yang merayakan kemanusiaan manusia di segala bidang. Itu bukan hal yang mustahil. Gandhi telah membuktikannya. “Luhurlah manusia itu. Baik hati dan suka menolong! Inilah yang membedakannya dari segala makhluk yang kita kenal,” kata Goethe. Dalam humanitas yang terwujud secara nyata inilah, kealamiahan dan kerohanian bersatu. Hugo Chaves telah merintis jalan ke sana. Evo Morales pun demikian, dan masih banyak lagi pemimpin di belahan negara lain yang telah sadar akan penjajahan modern.
Itulah sebabnya Wilhem von Humboldt (1767-1835) menekankan bahwa manusia etis-estetis bukan matematis rasional. Perbaikan mutu batiniah perlu didorong menjadi proyek bersama semua penghuni negara demokratis. Begitu juga di Indonesia. Agar para pemimpin kita berhenti saling mengolok dan menebar jurus mabuk. Agar rakyat tidak terus turun berdemo di jalanan kota hanya karena menagih janji-janji palsu! Semoga!!! (Beny Uleaner/KPOEDISI 147/MARET 2008)
Dalam kehampaan dan kebisingan makna hidup, manusia selalu tampil kuat perkasa melempar orientasi dan visi di langit mimpi, impian dan harapan. Di angkasa mimpi bertebar khayalan komik yang membuat kita terkagum-kagum akan pesona Superman, Hulk, Batman dan kini Harry Potter. Dalam bilik-bilik legenda, kita disajikan kisah-kisah heroik Werdukoro alias Bima, Tarzan, Zoro, Winnetou kepala suku Indian Mescalero-Apache dengan tokoh Old Shatterhand, manusia free-man Robin Hood atau sosok preman Ignatius Kusni Kasdut.
Di atmosfer impian, kita melihat sepak terjang sensional dan penuh guratan visi para negarawan yang humanis maupun otoriter. Pernahkah kita membayangkan Che Guevara berpelukan dengan Goerge Bush? Martin Luther King bersalaman dengan Adolf Hitler? Atau Ibu Teresa dari Kalkuta duduk semeja dengan Saddam Husein? Kita pasti membayangkan tidak mungkin dalam ranah diskusi pandangan-pandangan mereka akan bersinergi bagi kemajuan masyarakat. Ada tokoh yang memperjuangkan kedaulatan dan identitas kelompok dengan menindas dan meniadakan (genosida) ras dan kelompok lain. Ada pemimpin yang awalnya humanis lalu tergoda kekuasaan sehingga makin membuat rakyatnya menderita. Ada anak manusia yang terobsesi oleh keindahan hidup dalam kebersaman sebagai harta abadi kehidupan. Raga manusia memang fana, tapi jiwa manusia adalah pesona kesucian yang tersamar oleh dengki, terbungkus oleh doktrin-doktrin sesat dan pendidikan yang keliru.
Itulah sebabnya di belahan dunia ini selalu lahir tokoh-tokoh besar. Kiprah mereka sangat orisinal dengan berorientasi pada pemanusiaan manusia itu sendiri. Ada Gandhi di India, Paus Yohanes Paulus II di Eropa, Muh Yunus di Bangladesh, Cak Munir di Indonesia, dan masih banyak lagi guru-guru kehidupan yang menyinari lingkungan tempat mereka tinggal.
Manusia-manusia besar dalam sejarah adalah sekelompok kecil orang yang mampu menggerakkan orang lewat visi yang hidup. Mereka merebut hati saudara dengan kasih yang tulus. Mereka memberdayakan sesamanya dengan terobosan ekonomi kerakyatan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat bukan profit-oriented. Mereka dihormati bukan karena harta tapi jejak-jejak luhur jasa-jasanya. Dalam lubuk hati mereka tidak ada terbersit secarik niat bulus untuk mengeksploitasi atau memanfaatkan kelebihan maupun kelemahan sesamanya.
Jenderal Suharto telah terdaftar sebagai salah satu manusia besar dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Ia efektif memerintah 30 tahun dari tahun 1968 hingga Mei 1998. Ia terkenal dengan konsep wawasan nusantara yang mengarah pada stabilitas dan nasionalisme yang direkat kuat nilai-nilai Pancasila. Usai diturunpaksakan oleh aksi demo mahasiswa setanah air, Suharto hingga saat-saat kritisnya –pergulatan dan tawar menawar dengan maut- dihujat dan didemo agar semua tuduhan pelanggaran HAM dan korupsinya dimejahijaukan.
“Generasi MTV” yang lahir tahun 1980-an pasti bertanya siapa sih opa Suharto itu? Dalam seri biografi Intisari “Reaching the Best”, Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menulis dengan kehalusan rasa detik-detik kejatuhan Rezim Orde Baru. “Saya sedih menyaksikan di televisi akhir tragedi pada pukul 09.00, tanggal 21 Mei 1998, saat Suharto menyatakan pengunduran diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada BJ Habibie. Ia kehilangan segala pembelaan. Setidaknya sampai 48 jam sebelum mundur jadi presiden, tak ada satupun kekuatan yang menginginkan ia berhenti di tengah jalan. Sungguh sebuah kenyataan pahit. Tokoh yang mengangkat Indonesia menjadi macan ekonomi yang baru bangun, yang mendidik bangsa dan membangun prasarana bagi masa depan, terjungkal oleh ketidakmampuannya mengendalikan diri. Ia membiarkan ketidakadilan berkembang, dan pasa saat kritis salah memilih orang dalam posisi penting. Padahal selama 30 tahun ia menunjukkan kualitas tinggi dalam menilai situasi dan memilih orang-orangnya.”
Ya Suharto seperti Robin Hood dari hutan Sheerwood, Nottingham yang tetap dikenang sebagai pahlawan dan penjahat. Ada perbedaan di antara mereka. Robin Hood sering melakukan aksi perampokan terhadap orang kaya. Lalu ia membagikan hasil jarahannya kepada rakyat miskin. Kondisi orang kaya pada saat itu adalah penindas rakyat kecil. Di mata pemerintah ia adalah penjahat, sedangkan di memori rakyat kecil ia adalah seorang pahlawan.
Di Indonesia ada juga bandit Kusni Kasdut yang merampok dengan membunuh korbannya. Ia membagi-bagikan hasil rampokkannya kepada orang-orang miskin. Ia akhirnya diadili dan dimasukkan ke penjara Cipinang Jakarta dengan hukuman seumur hidup. Ia sempat melarikan diri, akhirnya ditangkap kembali dan dijatuhi hukuman mati.
Sementara Suharto dituduh mengkorupsi uang negara dan melakukan pelanggaran HAM. Ada tudingan bahwa sekian juta uang haram itu disumbangkan ke berbagai yayasan sosial selain untuk mengenyangkan perut seluruh isi keluarga. Juga sebagian harta haram itu dibagikan kepada kroni-kroninya. Semuanya harus dibuktikan secara hukum dengan melihat segi keadilannya. Dan kalau korupsinya terbukti di pengadilan, maka tak ada salahnya harta korupsi itu dibagi-bagikan kembali ke rakyat. Dan kalau ada pelanggaran HAM yang telah dilakukan Rezim Suharto, maka sebagai bangsa yang besar kita menata jembatan rekonsiliasi nasional. Roh hukum adalah keadilan bukan pembalasan dendam.
Roh keadilan membantu bangsa ini meretas harapan hidup! Generasi baru lebih fokus mengejar keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya. Akankah mereka kembali menulis kisah fiksi bahwa Suharto duduk semeja dengan Wiji Thukul membahas masalah seni, budaya dan perubahan kosa kata bahasa Indonesia seperti kata “semangkin”, “daripada” dan frase “klopencapir”?(Beny Uleander/KPO EDISI 144/JANUARI 2008)

Hasrat tak bertepi menggugah nurani kesadaran Soe Hok Gie. Kerapkali dalam kesendirian dibalut keheningan daerah pegunungan, pemuda kelahiran 17 Desember 1942 ini bertanya dalam diam. “Apa itu sebuah cita-cita penuh gelora muda?” Kegundahan pemuda Gie bermuara pada gaya hidup generasi muda pada zamannya. Semangat mereka berapi-api membicarakan kecurangan penguasa, tapi miskin aksi. Visinya mengkilat di langit idealisme, tapi kelimpungan menerapkan misi. Mimik pidato mereka amat meyakinkan, setelah turun mimbar mereka cengar-cengir mabuk, dugem, bolos kuliah dengan alasan bahwa seorang aktivis berada di luar kampus.
Kaum muda memang berjiwa progresif namun hanya segelintir orang yang memiliki inovasi nilai. Itulah sebabnya, Hok Gie rajin memprodusir teropong kesadaran konseptual soal peran dinamis dan potensial kaum muda di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerak dinamis pemuda bukan gerakan sloganistis dengan pakem-pakem hiperbola. Saat ini kita membutuhkan kiprah kaum muda yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Itulah guratan inovasi nilai yang membuka ruang kesadaran gerak kaum muda Indonesia bukan saja pada zaman Gie, tetapi juga saat ini. Dan, Gie telah lantang mengumandangkannya dalam barisan tulisannya.
Padanan konseptual pemuda dan patriotisme memang harus terus ditafsirkan secara baru di setiap jaman. Hanya esensi patriotisme tidaklah berubah, tetap satu dan sama, yaitu keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Karena itu, paradigma kaderisasi kepemimpinan nasional harus dikawal dalam sebuah “rel ideologi”. Sebab karakter bangsa ini amat mudah melupakan sejarah masa lalu, termasuk sejarah keluarga dan diri sendiri. Akibatnya bisa kita rasakan saat ini. Kaderisasi pemuda dipatok sebatas regenerasi jabatan politis di tingkat partai dan ormas. Selanjutnya, pewaris jabatan ikut serta mewarisi bakat korupsi, bermental instan, menggampangkan pekerjaan dan mencari selaksa pemasukan demi gaya hidup elitis. Itulah realitas saat ini yang pasti akan dikecam Hok Gie, kakak kandung sosiolog Arief Budiman, bila ia masih hidup.
Memasuki tahun 2008, wacana kepemimpinan nasional kembali mencuat seiring kian dekatnya suksesi kursi kepresiden. Di tengah hingar-bingar tebar pesona politisi gaek ataupun negarawan tua, ada satu ruang kesadaran yang amat kosong melompong yaitu kaderisasi pemimpin visioner. Kaderisasi pemimpin nasional ditiupkan ke tengah publik tanpa busana ideologis.
Selama ini diskusi kaderisasi dipetakan secara dangkal sebatas “kader-kader partai”. Fenomena banyaknya politisi pusat yang turun ke daerah memperebutkan kursi di kabupaten dan propinsi menjadi tanda bahwa partai gagal atau tidak punya konsep melahirkan pemimpin yang berkualitas di daerah. Itu salah satu contoh bahwa kini partai politik yang ada tidak memiliki visi yang matang soal kaderisasi pemimpin visioner. Memang di alam demokrasi, kita tidak bisa menampik peran partai sebagai esensi kedaulatan rakyat dan yang melahirkan pemimpin.
Pemimpin visioner adalah pemimpin, entah tua atau muda, yang menjadikan penderitaan rakyat sebagai kepedihan jiwa, aset-aset bangsa sebagai warisan pusaka di jari manisnya dan tegas menolak ekspansi kapitalis yang kerap menghancurkan kedaulatan negara.
Bagaimanakah mencetak pemimpin visioner yang militan? Inilah panggilan bagi kaum muda saat ini untuk berbenah diri baik dalam konsep, ruang gerak, cita-cita dan ambisi politik, tentunya. Negeri ini mendambakan kaum muda yang berpolitik dengan konsep matang mewujudkan Indonesia yang mandiri di bidang budaya (kepribadian), sumber daya alam (ekonomi) dan kemerdekaan hak asasi (tumpas pemiskinan hak-hak rakyat kecil).
Pemimpin visioner adalah pemimpin revolusioner yang mengagungkan kekuatan rakyat di pedesaan, menebar konsep membangun desa membangun bangsa. Inilah saatnya media massa sebagai pilar keempat demokrasi meretas kesadaran publik bahwa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan visioner.
Pemimpin visioner adalah cara baru kepemimpinan yang berpikir ke depan sekaligus merintis pola-pola dasar kemanusiaan. Artinya, rakyat tidak diasingkan dari hasil-hasil pembangunan, buruh tidak dialienasikan dari produk yang dihasilkan (anti kejahatan kapitalis) dan itu berarti pemimpin yang mampu mendorong rakyat di setiap daerah agar menghasilkan produk sendiri yang khas dan unggul.
Selama ini di tingkat partai politik bergulir kaderisasi koruptor, penjilat, penjahat berdasi, penindas rakyat, anti kemandirian, menyandarkan diri pada tipu muslihat kapitalis barat, dsb.
Segala ideologi yang menyengsarakan rakyat (manusia) harus dilawan. Pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat pun harus dihentikan dan dikoreksi. Saatnya kita menimba spirit dari puisi agung karya Soe Hok Gie dipublikasikan harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973:

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan

Selalu dalam hidup ini?

(Beny Uleander/KPO EDISI 141)

Sumber dari segala sumber kehancuran bangsa Indonesia saat ini adalah penyakit korupsi yang akut dari aparat birokrat sampai ke tubuh institusi negara dan swasta. Kenapa korupsi begitu marak di negeri yang penduduknya beragama ini? Ada yang mencoba menjawab dengan jurus klise. Yakni faktor kemiskinan yang memicu orang korupsi. Lalu kenapa kemiskinan menimpa lebih dari setengah penduduk negeri ini? Jawabannya pun lugas. Ya, karena korupsi.
Menyimak premis dan konklusi paradoksal itu, kita sebenarnya disajikan sebuah ilusi alias kebohongan. Memang benar gara-gara korupsi, rakyat bisa jadi miskin. Dana pembangunan untuk kesejahteraan rakyat disunat sana-sini sehingga tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Juga tepat bahwa perilaku korupsi didorong oleh situasi kemiskinan. Namun, kemiskinan tidak bisa lagi dituding karena birokrat, profesional atau aparat yang korup. Akar-akar penyebab kemiskinan di negeri ini tidak bisa dan tidak pantas disebut sebatas akibat korupsi.
Kemiskinan adalah luka peradaban negeri ini. Pergumulan menghapus kemiskinan di negeri ini harus dimulai dengan paradigma baru. Yaitu kemiskinan adalah wajah lain dari kebodohan. Negeri ini kaya dengan para penghibur lewat berbagai audisi atau kontes nyanyi dan lawak. Tetapi negeri ini kekurangan anak muda yang memiliki ilmu untuk berinovasi di bidang tertentu. Wajar bila negeri kita kaya artis, tapi miskin seniman.
Di tikungan kesadaran ini, kita bisa menerima kemiskinan sebagai akibat implementasi politik material yang kental sejak Orde Baru hingga kini. Betapa tidak. Pendidikan masih dilihat sebagai anak tiri. Alokasi anggaran ideal 20% untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan SDM baru sampai 2-5% dari APBN. Sangat kecil dan menyakitkan bagi kaum humanis yang mendewakan pendidikan sebagai energi pencerahan, dewa matahari di negeri kegelapan ini. Hanya dengan modal ilmu pengetahuan, anak-anak bangsa ini dapat mengoptimalkan sumber daya alam yang ada di desa, kampung, hutan, gunung, laut, sungai, gua, terowongan, perut bumi dan udara.
Sebaliknya negeri tetangga seperti Malaysia, Vietnam, India dan apalagi Cina dan Jepang sudah lama mengalokasikan dana pendidikan yang sangat besar di bidang pendidikan. Mahatir Mohamad saat menjadi perdana menteri Malaysia langsung mencanangkan gerakan penghapusan buta huruf di negeri jiran tersebut. Pendidikan dilihat sebagai anak kandung yang perlu disusui (dibiayai negara). Buktinya, perekonomian Malayasia melejit jauh meninggalkan Indonesia. Padahal dahulu, tenaga guru dan pendidik berasal dari Indonesia.
Sedangkan kita yang mengabaikan pendidikan kini menjadi kuli perkebunan dan babu di apartemen. Dan, orang yang bodoh memang tidak layak dihormati. Itulah prilaku Malaysia yang selalu merendahkan harkat dan martabat bangsa ini. Kita sebagai bangsa boleh tersinggung, marah atau anti Malaysia. Tetapi sudahkah kita mengintrospeksi diri bahwa di balik semuanya ini adalah ketertinggalan kita di bidang pendidikan.
Ditambah lagi kini, biaya sekolah dan kuliah sudah semakin mahal. Sekolah menjadi milik anak-anak orang mampu. Banyak anak orang miskin yang banting stir mencari pekerjaan atau ikut kursus tertentu. Ada yang terpaksa merantau ke kota tanpa keahlian, lalu menggelandang, menjadi pelacur jalanan, atau bertindak kriminal dari kelas teri lalu menjadi kelas kakap. Lengkap sudah parade kimiskinan akibat kurang pendidikan. Jangan heran bila pengangguran terus bertambah tiap tahun. Penyakit sosial kian meresahkan. Dan, peredaran narkoba kian ganas karena pengedarnya adalah orang-orang miskin yang diperalat. Mereka sudah lama hidup menderita, lalu tergiur dengan keuntungan besar tanpa tahu akibat dari kolaborasi mereka dengan mafia narkoba.
Sementara pemerintah dan segala komponennya tidak lain dari lingkaran rezim demi rezim yang gagal mengorbitkan manajemen pelayanan publik yang bersih dan bebas virus ‘jam karet’ alias tidak disiplin. Rezim yang berkuasa terjebak dalam fundamentalisme modal. Uang adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah uang. Idealnya pemerintah menjadi pelayan administrasi publik yang baik. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pemerintah seakan dilihat sebagai roda kemajuan bangsa. Sehingga lulusan perguruan tinggi beramai-ramai mengikuti tes CPNS dari propinsi sampai kota/kabupaten. Padahal kemajuan sebuah negara ada di tangan sektor swasta.
Pertanyaannya, mengapa para sarjana enggan terjun di sektor swasta atau setidaknya memiliki cita-cita menjadi entrepreneur dan seniman sejati. Jawabnya sederhana, pendidikan kita tidak mencerahkan alias penanaman doktrin kurikulum dengan metode menghafal sebanyak mungkin teori tanpa praktek dan aplikasi. Kembali menjadi keprihatinan kita bahwa pendidikan di negeri ini sungguh remuk redam. Partai mana yang peduli, komponen agama mana yang resah??? (Beny Uleander/KPO EDISI 139)
Apa pintu pembaharuan sebuah negara? Ujung bedil atau sebait puisi! Pilihlah salah satu di antaranya. Tapi mana yang lebih efektif? Kekuasaan memang seharusnya lahir dari laras senapan, itulah doktrin Mao Tse Tung. Lantas jadi landasan ide Dipa Nusantara Aidit, pimpinan PKI, agar dibentuk angkatan kelima. Buruh dan petani dipersenjatai. Kaum marxis ingin mencetak masyarakat sosial tanpa kelas. Tapi mereka tak punya kekuasaan untuk bertindak. Alat mereka adalah senjata sebagai pembuka gerbang masyarakat proletariat.
Setali tiga uang dengan kaum republikan. Monarki harus ditumbangkan dengan revolusi. Dan, revolusi selalu meminta korban anak kandungnya sendiri. Kekuatan senjata senantiasa diyakini sebagai baja sejarah yang terbukti tangguh untuk menegakkan menara kekuasaan. Pamor senjata inilah yang dipamerkan junta militer di Myanmar. Aksi demonstrasi biksu dan masyarakat sipil diredam dengan dar dor pelor.
Berdirinya Republik ini ternyata tidak lepas dari andil tentara rakyat yang bersenjatakan bambu runcing dan lembing. Setelah duel yang sengit, Belanda pun angkat kaki dari bumi Indonesia. Di atas serpihan fakta sejarah ini, masyarakat modern masih melihat senjata sebagai alat untuk pembaharuan sebuah negara. Perlu diingat serdadu Belanda dengan senjata modern! Sedangkan alat perang para pejuang kemerdekaan hanyalah senjata tradisional. Tidak seimbang, memang. Tapi mengapa para pejuang bisa mengalahkan penjajah yang punya mesiu dan mortir? Aspek inilah yang kerap dilupakan penulis sejarah termasuk kaum muda.
Harga diri sebagai sebuah bangsa! Itulah pemantik gairah founding fathers untuk berjuang hingga titik darah terakhir. Patah tumbuh hilang berganti, memang menjadi jargon yang digunakan di kemudian hari untuk melukiskan spirit (élan vital) para pejuang kala itu. Memang banyak rakyat yang mati di medan tempur. Tapi darah mereka justru menyuburkan bara nasionalisme yang bersemayam hangat di dada anak-anak bangsa.
Ternyata jauh sebelum Bandung Lautan Api dan moment historis 10 November di Surabaya, cikal bakal negeri ini lahir dari puisi. Ya kekuatan kata-kata awalnya. Dan, itu terjadi pada 28 Oktober 1928. Sutan Syahrir bersama kaum muda lintas suku, agama dan etnik mendengungkan puisi agung: satu tanah air, satu bahasa dan satu bangsa. Ikrar inilah yang lalu dikenang sebagai bukti otentik jiwa pluralis kaum muda saat itu. Tak heran bila Sumpah Pemuda dipancang sebagai validitas “Bhineka Tunggal Ika”.
Sangat menggetarkan jiwa saat kita menyadari adanya serat-serat puisi yang membangkitkan rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa. Seorang Soekarno pun menjalin simpul-simpul puitif itu dengan sihir agitasi maha dasyhat. Serta merta api nasionalisme itu membakar perbedaan agama, menghanguskan rasa primordial dan melumat kebanggaan etnik. Semuanya lebur dalam jati diri baru: Indonesia. Sebuah kisah peradaban baru yang luar biasa hadir di sebuah kawasan Asia tenggara.
Kini, Indonesia menjadi negara yang luar biasa tercecer di berbagai bidang pembangunan. Jawabannya satu: generasi muda mengabaikan kekuatan puisi. Ya, dunia sastra yang terbengkelai. “Sastra adalah pintu budaya pembaharuan yang sangat bertanggung jawab kepada kemanusiaan dan nasib bangsa,” tegas Isbaedy Setiawan dalam Seminar Sastra Internasional Relevansi Karya Sastra Dalam Kehidupan di Aula Balai Bahasa Denpasar, Jl Trengguli I/20 Denpasar, Kamis (27/9).
Pesan terdalam yang mungkin ringkas diungkap adalah rendahnya minat baca di kalangan kaum muda. Apalagi arus konsumtif menyedot hasrat penduduk negeri ini untuk berlomba mengoleksi materi dan memanjakan selera lidah. Perut diisi tapi sayang otak di kepala tidak diisi dengan bacaan-bacaan bermutu. Akibatnya, negeri ini dengan mudah ditindas serbuan peradaban Barat yang selalu merasa superior.
Bayangkan saja, biaya untuk membeli rokok dalam setahun mencapai 47 triliun, namun biaya untuk membeli buku dalam setahun cuma 1 triliun. Penerimaan cukai dalam tiga tahun terakhir rata-rata naik 14,9 persen per tahun, yaitu Rp 29,2 triliun atau 1,3 persen terhadap PDB tahun 2004 menjadi Rp 33,3 triliun atau 1,2 persen dari PDB tahun 2005, dan Rp 38,5 triliun atau 1,2 persen terhadap PDB. Tahun ini, penerimaan cukai rokok dipatok Rp 42,03 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 3,53 triliun dibanding target penerimaan APBN 2006 sebesar Rp 38,52 triliun. Sebuah angka yang pincang untuk sebuah negara berkembang. Bisa disebut sebagai cacat mental. Kapan kita bisa bersaing dengan negara-negara lain di medan global?
Sejarah bukan terminal kenangan. Sejarah adalah kekuatan dan kompas masa depan. Pemikir budaya dan para bapak bangsa adalah penggila sastra seperti tokoh proklamator Bung Karno dan Bung Hatta, Muh. Yamin serta tokoh-tokoh lainnya. Kita juga mengenang intelektual besar Soedjatmoko, yang pada Agustus 1985, terpilih kembali sebagai Rektor Universitas PBB. Di masa mudanya, kakak Prof Miriam Budiarjo ini mengasingkan diri ke Solo. Ia tenggelam dalam keasyikan membaca buku-buku loakan dari Pasar Klewer, Solo. Di masa pengucilan itu Soedjatmoko menekuni buku-buku karya Bergson, Max Scheler, Karl Jasper, dan Martin Heideger, juga mempelajari mistik Islam, Katolik, India, dan alam kebatinan Jawa.
Kita agaknya cemas dengan sepak terjang berbagai organisasi masyarakat di era eforia ini. Ada yang dalam aksinya menciderai ikrar puisi agung warisan generasi 1928. Apakah ini tanda bahwa kita miskin tokoh-tokoh budaya di kalangan generasi muda. Sehingga banyak kaum muda yang tidak tercerahkan, berpikir sempit, primordial dan sektarian! Jangan-jangan kita terpuruk lagi pada asumsi bedil sebagai penegak Republik ini. Mungkin ini tumbal dari buta tulinya pemerintah yang menjadikan sektor pendidikan sebagai anak tiri dari dulu hingga kini??? (Beny Uleander/KPO EDISI 138)
Negeri ini banjir darah, Tuan! Pertaruhan nyawa menjadi ajang kebanggaan yang sangat ekspresif, komunal sekaligus individual di jaman revolusi kemerdekaan. Ketakutan lenyap, sikap kecut sirna, jiwa pengecut menguap dan batin gemetar haru di hadapan kematian. Gemercik darah untuk bumi pertiwi seakan setua padang gurun dan semuda embun bagi. Darah yang tercecer menjadi sumber inspirasi dan itikad kuat menata identitas baru di sebuah planet bumi dan peta dunia. Sungguh heroik bila mengenang dalam-dalam pertaruhan nyawa putera/i bangsa ini demi sebuah hasrat untuk bebas mandiri di kampung halaman; tanah kelahiran.
Negeri ini bau anyir darah, Bang! Berlusin-lusin anak bangsa ‘dipaksa’ naik kereta kematian karena perbedaan ideologi, di periode ‘pengganyangan PKI’. Tanah dari Sabang sampai Merauke menjadi ladang pembantaian. Di atas lumuran darah, Rezim Orde Baru menegakkan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Bahasa Indonesia yang kaya pemaknaan akan realitas dibuat versi baru: Ejaan Yang Disempurna. Rezim Orba memang sukses menyempurnakan semua sistem ketatanegaraan, ekonomi, dan sosial budaya. Semua serba baru di atas banjir darah.
Negeri ini banjir darah, Pak! Anak-anak muda dengan jaket ‘kampus-idealisme’ mati berserak dirobek timah panas. Kaum muda militan yang gemar berorasi di ranah aktivis tiba-tiba hilang ditelan bumi hingga kini. Darah mereka sudah tertumpah atau tidak, kita tidak tahu. Mungkinkah suatu saat Wiji Thukul akan kembali membaca sajak-sajaknya dengan satu kata: LAWAN!!!
Negeri ini banjir darah, Bu! Perang dan amuk massal mewarnai kematian sia-sia penghuni Nusantara karena terlahir berbeda dalam etnis, agama dan golongan. Orang Maluku yang selalu tampil elegan dalam khasanah musikal mendendangkan lagu-lagu pembantaian. Syukur, semuanya tinggal kenangan pahit. Dayak dan Madura berseteru penuh dendam. Mudah-mudahan kisah traumatis tersebut tidak terulang lagi. Memang masih banyak menyebut ‘litani’ konflik demi konflik yang tak berujung di negeri ini.
Negeri ini banjir darah, Sobat! Bali menangis duka. Tidak ada aksi bunuh-membunuh, tapi ada parade pembantaian dan teror yang amat menakutkan. Cukup sudah darah-darah tak berdosa menggenangi Pulau Dewata –tempat sisa-sisa peradaban Sindhu; koleksi identitas masa lalu kita yang masih terpelihara apik.
Negeri ini banjir darah, Kang! Kembali ribuan jiwa direnggut oleh alam yang ‘mendadak’ tidak ramah terhadap penduduk negeri ini. Pantai ‘telanjang’ tanpa hutan bakau diterjang tsunami. Rumah-rumah yang dibangun dengan investasi keringat runtuh berantakan digoncang gempa. Kampung-kampung di lereng bukit digilas tanah longsor dan banjir. Alam yang tidak bersahabat ataukah kita yang telah melukai alam? Atau cara alam menegur kita dengan lembut?
Negeri ini banjir darah, Dinda! Disertai air mata duka. Di layar televisi yang ‘ngotot’, kita melihat evakuasi jasad suami, isteri, anak, paman, ayah dan kakek kita yang tenggelam di laut lepas, mati tertindis gerbong kereta api dan hangus terpanggang di kabin pesawat.
Apakah darah-darah yang mengalir dari jasad-jasad anak-anak bangsa serta merta menyuburkan bumi pertiwi? Kepada siapa kita akan mendapat jawaban pasti akan kegelisahan yang merayap di kalbu kita. Sungguh kehidupan yang penuh haru biru di Republik ini. Kemerdekaan dimulai dengan tetesan darah dan negeri yang merdeka ini menandai babak-babak pembangunan dengan genangan darah putra/i-nya di mana-mana. Lantas kita pun tergoda untuk bertanya dengan rasa hati remuk redam, masih berharga nyawa manusia di negeri ini? Kalau manusia berkorban nyawa untuk kejayaan negerinya adalah kisah ksatria yang ditulis dengan tinta emas. Namun, nyawa-nyawa yang digadaikan untuk kejayaan pembangunan dan perjalanan negeri ini menjadi tanda (alarm merah) negeri ini sepenuhnya belum merdeka di usia ke-62 tahun.
Pembangunan adalah sebuah proses yang panjang. Demikian pula menjadi sebuah bangsa bukanlah sebuah kata akhir. Di peta dunia setiap tahun dan dasawarsa selalu tersedia ruang untuk mencatat kelahiran negara baru dan akhir suatu negara. Karena itulah, kebangsaan adalah sebuah dinamika peradaban dan proyek bersama sepanjang rakyat dan pemerintah satu kata, satu hati dan satu visi. Tatkala kita melihat mutu pendidikan nasional yang amburadul, pengangguran yang kian getir dan kemiskinan yang mencemaskan di panggung negeri ini, masih beranikah kita berucap lantang: rakyat dan pemerintah satu hati? Yang terjadi, pundi-pundi penguasa dan elit (bangsawan politik) tambah tebal. Di gubuk-gubuk reyot, periuk nasi penuh ‘air tajen’. Negeri ini belum merdeka. Kita dijajah oleh “Belanda-Kapitalis dan Jepang-Hedonis”. Itulah penjajah baru kita. Siapakah yang masih sudi mengalirkan darahnya untuk sebuah kemerdekaan mental dan budaya??? Pahlawan baru itu adalah ANDA! Selamat berjuang! MERDEKA! (Beny Uleander/KPO EDISI 134)

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Blog Stats

  • 90.569 hits

WITA

obj=new Object;obj.clockfile="8009-red.swf";obj.TimeZone="Indonesia_Denpasar";obj.width=150;obj.height=150;obj.wmode="transparent";showClock(obj);