Catatan Kenangan Beny Uleander

Archive for Juni 2004

Kunjungan Ke Redaksi HU Surya Surabaya
Berbagai kota besar di Indonesia seakan menjadi penampung aneka masalah mulai dari kepadatan penduduk, kawasan kumuh hingga pengelolaan sampah. Titik soal sampah adalah kristalisasi dampak limbah industri dan rumah tangga. Selama ini, pemerintah cukup serius memperhatikan masalah sampah dengan menyiapkan TPA (tempat pembuangan akhir) di luar kawasan pemukiman penduduk.
Hanya saja ada kelemahan dalam pengelolaan sampah yang menjadi keprihatinan Dr Ir GN Wididana, M.Agr alias Pak Oles saat berdiskusi dengan jajaran redaksi HU Surya dan pemimpin perusahaan PT Antar Surya, Dwianto Setyawan dan GM Percetakan, Gito Handoyo di kantor redaksi HU Surya, di Surabaya, pekan lalu. Diskusi yang dikemas dalam suasana kekeluargaan itu lebih pada sepak terjang Pak Oles di bidang tanaman obat-obatan, pertanian dan pupuk organik.
Diakuinya, pemerintah menyiapkan anggaran khusus untuk pengelolaan sampah di kota-kota besar, tanpa diimbangi konsep ekologis dan ekonomis yang tepat. Sebab sampah di TPA tiap hari terus menumpuk dan menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan. Selain menimbulkan polusi udara, lahan tambak dan persawahan di sekitarnya rusak akibat rembesan air limbah yang mengandung bahan kimia. Memang ada upaya teknis seperti menimbun sampah untuk dijadikan kompos (compossities), membakar dengan mesin insinerator (burning), pembangunan sanitary landfild, dan terakhir yang akan dilaksanakan di Sidoarjo, Surabaya adalah thermal converter (pembakaran tuntas) dengan teknologi Waste Energy System dari Inggris untuk menghasilkan tenaga listrik.
Berbagai upaya teknis itu, kata Pak Oles, amat jauh dari konsep teknologi ramah lingkungan dan cost-nya tinggi. Yang terjadi selama ini, kritiknya, pemerintah menghamburkan uang negara dalam jumlah yang besar untuk mengelola sampah. Kondisi ini kian diperparah kehadiran investor yang menawarkan program pengelolaan sampah hanya sekedar menangkap alokasi dana APBD. ‘’Katanya investor, tetapi mereka datang dengan proposal dan usulan dana yang begitu besar,’’ tandasnya.
Keprihatinan ini mendorong dirinya, pada tahun 1997, merintis pengelolaan sampah di TPA Suwung, Denpasar Selatan pada areal seluas 3 hektar dengan menggunakan Teknologi Effektive Microorganism (EM) yang ekologis dan menghasilkan uang. Ia menilai, praktek adalah sebentuk kesaksian yang kuat ketimbang teori atau ide yang muluk-muluk.
Akhirnya, ia merakit pengalamannya dengan modal keyakinan dan keberanian meski awalnya ada tantangan dan sikap meremehkan dari kalangan eksekutif dan legislatif. Pak Oles bertekad mengubah pola pikir tentang sampah sebagai sumber masalah yang menghabiskan dana ratusan juta rupiah menjadi menjadi pupuk organik meski sempat dituding sebagai pupuk racun tanaman.
Mesin pemilah sampah organik dan anorganik adalah para pemulung. Sampah organik diolah menjadi pupuk organik yang ternyata laris di pasaran. Sebab saat ini ada gerakan untuk kembali ke alam (back to nature) sehingga kehadiran pupuk organik efektif menggusur pupuk pestisida yang mengandung bahan kimia. Penggunaan teknologi EM untuk pengelolaan sampah bermanfaat, menanggulangi kelangkaan pupuk organik, mengatasi problem sampah dan mempunyai nilai ekonomi.
Daya serap pasar Bali terhadap kebutuhan pupuk organik sebulan mencapai 100 ton. Sehari, TPA Suwung roduksi 5 ton pupuk organik. Sistem distribusinya, Pak Oles bekerja sama dengan pemerintah. Usahanya di bidang EM kini berkembang pesat baik dalam dunia pertanian maupun kesehatan, kecantikan dan otomotif dengan Spontan Power-nya. Ia meramu berbagai tanaman obat lewat teknologi EM dan kini sudah ada 26 produk Ramuan Pak Oles yang tersebar di Jakarta, Surabaya, Bandung, Bandar Lampung, Bali, Makasar, NTB serta pembelian tunai dari konsumen Jepang, AS, Jerman, Thailand, Korea dan Malaysia melalui internet. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Oscar Niemer, seorang arsitek terkenal mengatakan masalah sosial mustahil dipecahkan di atas meja gambar. Artinya, untuk memahami setiap masalah sosial, kita diwajibkan untuk terjun langsung ke lapangan mengamati akar penyebabnya dan meneliti faktor-faktor pendukungnya. Upaya mengatasi masalah sosial seputar urbanisasi tidak sebatas obrolan di warung kopi.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk kota dan diperluasnya skala kota, muncullah banyak masalah dalam proses perkembangan urbanisasi, misalnya, polusi lingkungan, kurangnya energi dan padatnya lalu-lintas. Karena itu pemerintah perlu mengenal proses urbanisasi dari sudut lingkungan ekologi, struktur ekonomi dan sosial dengan selain mementingkan hasil ekonomi juga mementingkan hasil guna lingkungan dan sosial.
Banyak penelitian, studi maupun kajian yang menyatakan bahwa berkembangnya lingkungan permukiman kumuh di kota besar dan sulitnya penanggulangan masalah tersebut sangat terkait dengan laju pertambahan penduduk yang sangat cepat. Hampir 2 juta penduduk bermigrasi menuju ke kawasan perkotaan (khususnya kota-kota besar di Indonesia) dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Fenomena ini dapat mewakili permasalahan yang paling signifikan di sebagian besar kawasan perkotaan di Indonesia.
Pesatnya pertumbuhan penduduk (1,49% per tahun) antara lain didorong oleh tingginya intensitas perpindahan penduduk dari pedesaan ke perkotaan telah memberikan pengaruh besar terhadap terjadinya perkembangan lingkungan permukiman baru dan peningkatan kepadatan penduduk dan hunian di perkotaan (baik permukiman lama maupun baru).
Pertambahan populasi yang cenderung melebihi ambang batas kapasitas daya dukung lingkungannya ini selanjutnya akan menimbulkan beban terhadap sumber daya alam, sosial, individu, maupun lingkungan terbangun yang telah ada. Kondisi ini lebih diperburuk dengan kurangnya kemampuan sumber daya manusia (penduduk lingkungan itu sendiri) dalam mengelola sumber daya tersebut.
Kenyataan di atas menjadi potret hitam arus urbanisasi di kota-kota besar Indonesia. Padalah, proses urbanisasi yang ditata dan dipantau Pemerintah lewat kebijakan nasional (lintas propinsi) merupakan langkah tepat mengendalikan urbanisasi liar. Selama ini, masing-masing popinsi terkesan menerapkan kebijakan lokal yang bervariasi padahal proses migrasi itu terjadi antar propinsi dan pulau. Dengan kata lain, proses urbanisasi sedemikian kompleks dan tidak hanya terbatas pada lingkup lingkungan kota itu sendiri, melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari permasalahan antar kota dan hubungan antara kota dan desa (urban-rural linkages).
Kalau dirunut ke belakang, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan agenda “Cities Without Slums” pada tahun 2010 dan mendorong pemerintah kota dan kabupaten untuk saling bekerja sama (city to city cooperation) dalam rangka menggali potensi kota/ kabupaten melalui pertukaran pengalaman dan peningkatan kapasitas manajemen kota/kabupaten untuk menangani urbanisasi yang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan.
Penanganan arus urbanisasi yang komprehensif dan lintas kota yang sudah dicanangkan di atas merupakan salah satu bagian dari upaya untuk mewujudkan lingkungan kota yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan guna mendukung pengembangan jati diri, kemandirian dan produktivitas masyarakat. Kualitas permukiman yang layak huni dan terjangkau akan sangat berpengaruh pada proses penanggulangan masalah urbanisasi, mendorong pertumbuhan wilayah yang lebih terintegrasi, mendukung terwujudnya urban-rural linkage yang diharapkan, dan sekaligus mendukung perwujudan permukiman pedesaan dan kawasan perdesaan keseluruhan yang berkelanjutan.
Kita harus mengakui bahwa urbanisasi sedang menjadi tenaga pendorong penting perkembangan ekonomi di suatu kota besar, seperti diungkapkan ekonom terkenal dari negeri tirai bambu, Doktor Hu Angang. Arus urbanisasi harus dipercepat guna mendukung percepatan dan akselerasi pembangunan berkelanjutan.
Satu tenaga pendorong penting dalam perkembangan ekonomi dewasa ini adalah memperbesar kebutuhan dalam negeri, sedang urbanisasi adalah mata rantai penting untuk memperbesar kebutuhan dalam negeri.
Baik dilihat dari jangka waktu pendek maupun jangka waktu panjang, sebenarnya pertumbuhan ekonomi di beberapa kota besar di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar, yang paling penting adalah meningkatkan pendapatan penduduk pedesaan yang merupakan 2/3 dari jumlah total penduduk Indonesia. Sedangkan meningkatnya pendapatan penduduk pedesaan tergantung pada peningkatan produktivitas. Namun bagaimana meningkatkan produktivitas? Dilihat dari keadaan sekarang, perlu dipercepat proses urbanisasi.
Proses urbanisasi itu sendiri harus dipahami beralihnya penduduk pedesaan menjadi penduduk kota yang mendatangkan banyak keuntungan bagi perkembangan ekonomi. Ada beberapa pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, urbanisasi memungkinkan tenaga kerja pertanian beralih ke bidang produktivitas kerja yang tinggi dari bidang produktivitas kerja yang rendah. Kedua, tenaga kerja pedesaan yang mendapatkan pendidikan tertentu akan memainkan peran yang lebih baik di kota daripada di desa. Ketiga, pembangunan prasarana yang sama akan mendatangkan efek yang lebih besar di kota daripada di desa. Keempat, pengeluaran konsumsi penduduk pedesaan akan meningkat tajam setelah masuk kota. Urbanisasi dapat membantu penduduk pedesaan meningkatkan produktivitas kerja, dan selanjutnya meningkatkan taraf pendapatan dan konsumsi.
Meningkatnya taraf konsumsi penduduk pedesaan tak pelak akan mendorong pertumbuhan pesat ekonomi. Sebenarnya, urbanisasi meningkatkan pula efek investasi dalam perkembangan ekonomi di suatu kota. Masuknya penduduk pedesaan dalam jumlah besar ke kota akan meningkatkan tajam kebutuhan air, listrik, transportasi, komunikasi dan prasarana lain di kota. Ini akan memberikan peluang yang baik untuk memperluas investasi. Arus urbanisasi tidak selamanya menjadi momok sebuah kota besar.
Hanya saja arus urbanisasi harus ditangai Pemerintah guna mempertahankan perkembangan selaras kota besar, menengah dan kecil membimbing tenaga kerja pedesaan mengalir dengan rasional dan teratur melalui mekanisme kontrol yang efektif dan efisien. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Peribahasa ada gula ada semut amat tepat melukiskan fenomena melonjaknya angka kaum urban di Kabupaten Badung, yang terkenal sebagai salah satu kawasan wisata dunia. Pasir putih Pantai Kuta yang indah dipenuhi hotel-hotel dan aneka industri kerajinan tangan merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan asing dan lokal. Tentu saja, lahan empuk mengais rejeki bagi kaum urban.
Pemda setempat memang telah menyiapkan seperangkat peraturan di bidang kependudukan agar tidak ada perlakuan diskriminatif antara urban lokal dan luar Bali. Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kabupaten Badung Drs Tjok Ngurah, B A, di kantornya pekan kemarin. Salah satunya adalah Perda Kependudukan No 5/2001, yang mengatur kelengkapan identitas bagi kaum pendatang. Sedangkan kepemilikan KTP dikuatkan dengan kesepakatan bersama gubernur, walikota, dalam Perda No 153/2003 tentang besaran rupiah untuk kepemilikan kartu identitas.
Sampai April 2004, total penduduk Badung sebanyak 352.953 orang; 177.336 (L) dan 175.517 (P). Kaum pendatang 73.544 orang tersebar di 6 kecamatan; Abiansemal, Kuta Utara, Mengwi, Kuta, Petang dan Kuta Selatan. Artinya, selain sebagai tempat pariwisata, Badung juga menjadi salah satu sasaran serbuan kaum urban. ‘’Kabupaten Badung ibarat gula yang akan selalu didatangi dan dikerubungi semut. Untuk mengatur kaum urban kami melakukan pembinaan dan penertiban melalui perda berdasarkan kesepakatan bersama gubernur dan walikota,’’ jelas Tjok.
Penduduk pendatang tanpa identitas, diakui Tjok, menyulitkan aparat kabupaten dalam melakukan pendataan jumlah penduduk. Apalagi keberadaan mereka tidak dilaporkan tuam rumah. Pemda senantiasa melakukan penyuluhan dan pembinaan pada kaum urban, tanpa membedakan asal, agama dan jenis kelamin. ‘’Pemda Badung tidak pernah membedakan atau berlaku diskriminatif terhadap pendatang atau penduduk asli. Semua sama, sebab orang Indonesia yang berhak hidup di mana saja tetapi dengan catatan melengkapi administrasi kependudukan,’’ tegas Tjok.
Namun, yang perlu diantisipasi adalah masalah identitas karena bisa berakibat fatal bagi yang bersangkutan dan pariwisata Bali. Misalnya, kaum urban yang tidak membawa KTP terlibat kasus pencurian, yang terkena imbasnya pasti seluruh urban termasuk yang memiliki pekerjaan dan identitas. Ujung-ujungnya kalau tidak ada pembinaan dan saling toleransi akan menuju SARA. Tjok menilai kelengkapan identitas merupakan sarana penertiban penduduk pendatang untuk mengurangi peluang terjadinya tindak kriminal. Ia menghimbau desa adat agar mendorong warganya untuk selalu melengkapi identitas kependudukan. “Jangan sampai urusan administrasi kependudukan menjadi ajang perpecahan atau diskriminatif terhadap kaum minoritas,” tegasnya. (Yuli Ekawati & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Kapolda Bali, Irjen Polisi, I Made Mangku Pastika
Di berbagai kota besar, eksistensi (ada dan hidupnya) kaum urban selalu terusik karena dianggap sebagal salah satu biang kerok timbulnya permasalahan di kota-kota besar. Bali sebagai tempat tujuan pariwisata dunia dengan magnet ‘bergelimang dolar’ tentu menjadi daya tarik bagi investor dan kaum urban.
Hanya saja, generalisir tudingan tersebut, tak seutuhnya diterima secara akal sehat, tetapi harus dipilah dan dipilah-pilah lagi. Sebab, tidak semua kaum urban melakukan tindakan kriminalitas. Kapolda Bali, Irjen Polisi, I Made Mangku Pastika menilai, lazimnya kaum urban di manapun berada tentu telah berperan menimbulkan masalah, baik soal kependudukan, pemukiman, kesehatan, hukum maupun tindakan kriminalitas.
“Oleh karenanya perlu diambil solusi terpadu, sistematik dan realistis untuk mengatasi masalah urbanisasi ini. Tidak semua kaum urban melakukan tindakan kriminalitas tetapi mereka yang tidak memiliki pekerjaan justru cenderung belih berperan,’’ tegas Mangku Pastika di sela-sela Lights ON Bali, di GOR Ngurah Rai, Denpasar.
Pastika mengakui, adanya sejumlah kawasan pemukiman kumuh yang tidak memenuhi syarat, baik di Denpasar atau ibu kota kabupaten lainnya di Bali. Kerja sama seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan suasana aman, wajib digalakkan. Artinya, masalah keamanan bukan hanya tanggung jawab polisi, tetapi juga pekerjaan semua lapisan masyarakat.
Di tempat terpisah, Kahumas Polda Bali, Komisaris Besar Polisi, Pengasihan Gaut mengatakan, benar adanya kaum urban kadang membuat masalah. Karena itu perlu ditertibkan terutama setelah bom Bali dan ditambah belum ketemunya 5 orang pelaku bom. Hal inilah yang menyebabkan kepolisian fokus melakukan pengecekan identitas dan pengawasan keluar masuk kaum urban ke Bali. Kelengkapan identitas, wajib bagi kaum urban yang ingin masuk Bali, karena identitas kartu tanda penduduk (KTP) bukan segalanya
Gaut menilai, 66 dari 81 orang yang ditahan karena kasus narkoba justru dilakukan oleh penduduk dari luar Bali. ‘’Ini salah satu indikasi dan bukti bahwa memang cukup signifikan kaum urban melakukan kriminalitas di Bali. Walaupun begitu, kepolisian tidak pernah membedakan etnisitas, kaum urban atau lokal. “Yang terpenting, pasal berapa yang dia langgar, ancaman hukuman apa, berapa tahun hukumannya. Pihak kepolisian berbicara pasal bukan etnisitas,” tegas Gaut. (Yuli Ekawati & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Memperingati Hari Anti Narkoba 26 Juni, Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Cabang Denpasar menggelar aksi penyebaran pamflet dan brosur anti narkoba kepada para pengemudi kendaraan di setiap perempatan jalan. Sementara anggota Departemen Investigasi Granat Denpasar, Deny Dian Varindra bersama sejumlah stafnya mendatangi lokasi donor darah yang digelar SBY Fans Club Tokcer di Warung Capres dan Cawapres SBY-JK, Jl Hayam Wuruk Denpasar, Sabtu lalu.
Di hadapan sejumlah tim sukses Capres Susilo Bambang Yudoyono dan Cawapres Jusuf Kalla (SBY- JK) Bali, Varindra juga diterima untuk membacakan pernyataan sikap Granat Bali yang juga diminta untuk dikirim ke Jakarta.
Kepada Capres dan Cawapres yang terpilih dalam pemilu mendatang, Granat Bali menyampaikan 5 butir pernyataan; Pertama, agar memiliki kebijakan dan program jelas terhadap pemberantasan peredaran gelap, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Kedua, memiliki rasa kepedulian lebih terhadap segala bentuk aktivitas masyarakat yang bergerak dalam upaya memerangi peredaran gelap dan penyalahgunaan barang-barang haram.
Ketiga, mempunyai kebijakan dalam mengalokasikan anggaran yang signifikan terhadap setiap program-program yang ada hubungannya dengan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Keempat, mendesak pemerintahan baru untuk berani menindak tegas aparat maupun oknum yang ikut terlibat atau memanfaatkan wewenangnya dalam peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. Kelima, Granat meminta Capres dan Cawapres terpilih bersikap tegas, menolak permohonan grasi bagi terpidana mati kasus peredaran gelap narkoba tersebut di bumi Indonesia.
Pernyataan sikap itu diterima salah seorang tim sukses SBY-JK Bali, Gede Ngurah Wididana disaksikan Putu Suasta dan 500-an anggota SBY Fans Club Tokcer yang sedang antri untuk donor darah. Beberapa staf Granat DPC Denpasar juga secara sukarela menyumbangkan darahnya seusai pembacaan pernyataan sikap.
SBY Fans Club Tokcer Donor Darah
Sedikitnya, 500 orang yang tergabung dalam SBY Fans Club Tokcer di Bali, Sabtu kemarin melakukan kegiatan donor darah secara suka rela. Donor darah tersebut dipusatkan di Warung SBY, Jl Hayam Wuruk, Denpasar. Ikut hadir dalam acara tersebut antara lain Putu Suastha dan Gede Ngurah Wididana selaku anggota tim sukses kampanye pasangan Capres Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Muhammad Yusuf Kalla dan sejumlah kader dan simpatisan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) Bali.
Menurut Koordinator SBY Fans Club Tokcer, dr Putu Aryana, kegiatan sosial ini merupakan sebuah sumbangsih para sukarelawan yang ngefans sama capres SBY kepada masyarakat yang membutuhkan darah. Sekitar 75%, yang mendonor darah merupakan karyawan PT Karya Pak Oles Tokcer. Kegiatan seperti ini sudah rutin dilakukan dua kali dalam setahun sejak perusahaan ini didirikan.
‘’Donor darah ini menjadi sebuah kegiatan yang ditunggu-tunggu ratusan karyawan. Begitu antusiasnya para karyawan yang ingin terlibat menyumbangkan darahnya. Karena itu, selaku koordinator SBY Fans Club Tokcer, kami wajib menyeleksi berapa karyawan yang bisa mendonorkan darahnya dalam club ini kepada Palang Merah Indonesia Cabang Bali. Yang mau mendonorkan darahnya itu banyak. Tetapi kami harus menyeleksi baik kesiapan fisik maupun mental si pendonor. Banyak juga pendonor non karyawan termasuk beberapa orang dari DPD Granat Bali,’’ tegas Putu Aryana.
Aksi sosial ini dilakukan, menurut dr Aryana, karena didorong oleh keprihatinan kepada pihak Palang Merah Indonesia (PMI) yang acapkali mengalami kekurangan stok darah. Terutama untuk golongan darah B dan AB. Hampir 10% dari pendonor yang terpilih adalah orang-orang yang memiliki golongan darah B dan AB. Sedangkan sisanya, golongan darah A dan O.
Politikus Bali, Putu Suastha saat diminta komentarnya menyatakan, ide donor darah ini adalah murni dari Dirut PT Karya Pak Oles Tokcer, IGN Wididana. Aksi sosial yang dilakukan SBY Fans Club Tokcer ini patut didukung dan bisa menggugah pihak lain untuk mendonorkan darahnya demi kehidupan sesama. ‘’Kebetulan yang hadir sekarang adalah mereka yang ngefans sama pasangan SBY dan Yusuf Kalla sehingga digelar di dekat Warung SBY. Aksi spontanitas seperti ini luar biasa, karena menggugah orang lain menyumbang darahnya,’’ jelas Putu Suastha.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Pak Oles lewat aksi donor darahnya merupakan tindakan politik representasi. Artinya, langsung menyasar kepada tindakan riil. ‘’Politik representasi jauh lebih baik. Masyarakat sekarang jauh lebih menginginkan tindakan yang dapat dilihat dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat,’’ katanya. Lewat kegiatan inilah sebenarnya menjadi tolak ukur masyarakat mana politik yang dianggap mampu menyasar pada kebutuhan masyarakat itu sendiri. (Beny Uleander & Mei Nababan/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Dengan kepala tertunduk, Sokrates mencoba mengingat kembali awal mula terbentuknya sebuah pemikiran logis yang lahir di tanah Yunani, yang disebut filsafat. Ia lahir dari perasaan takjub akan alam semesta dan berusaha mengungkap fakta di balik gejala-gejala alam itu. Manusia tidak lagi mencari jawabannya dalam alam pemikiran mitologis. Awal mula ada chaos dan kemudian muncul ketertiban; alam dan hukum-hukumnya. Namun ada satu misteri maha dalam yang tak terjawabkan hingga kini mengapa yang terjadi adalah ketertiban bukan chaos?
Seperti lumba-lumba yang lompat tinggi di atas permukaan air laut dan kembali menyelam, Thomas Hobbes, pengagum Sokrates, tergoda mengamati komponen-komponen yang membentuk keteraturan dan keberadaan sebuah negara dan kemudian menelaah dalam lautan hipotetis: mana komponen yang utama? Negara ditopang oleh eksistensi riil sebuah masyarakat yakni penduduk, ada lokasi huni yang lazim disebut wilayah meliputi darat dan laut, ada sebuah hukum yang mengikat dan mempersatukan semua warga dan ada sebuah pemerintahan.
Benarkah negara itu ciri khas kehidupan sosial manusia? Aristoteles mempopulerkan zoon-politikon mau menujukkan bahwa seorang manusia selalu dan secara inherent menunjuk kelekatan kodrati pada keberadaan orang lain. Saya sebuah pribadi yang otonom justru karena kamu ada sebagai diri yang lain (homo sociale). Demikian juga, keberadaan negaraku hanya karena ada warga bangsa lain. Barangkali ini alur menentukan harga sebuah kedaulatan dan martabat bangsa yang kemudian dirumuskan dalam semangat nasionalisme dan patriotisme.
Hobbes bingung mau menentukan mana yang ada duluan: wilayah, penduduk atau hukum. Serumit menjawab mana yang duluan ada, telur atau ayam. Rasanya harus ayam duluan ada untuk mengerami telurnya. Rasanya juga, dalam pikiran Hobbes, kelompok manusialah yang membentuk negara bukan negara yang membentuk kelompok manusia. Namun Hobbes kembali bingung ketika penghuni negara itu terdiri dari berbagai kelompok manusia yang berbeda suku, agama, ras dan kebudayaan.
Dengan lihai, Hobbes meretas jalan pemikirannya bahwa negara terbentuk oleh dua sebab awal. Pertama karena kesamaan geografis, suku dan kebudayaan. Kedua, karena persamaan dalam perasaan senasib. Aspek terakhir ini disebut Frans Magnis Suseno sebagai negara bangsa yang mendasari terbentuknya negara bhineka tunggal ika. Bumi Indonesia didiami penduduk yang teridiri dari ratusan suku seperti Melayu, Sunda, Bali, Toraja, Ambon, Bugis, Flores, Ambon dan Asmat di Irian Jaya. Hanya saja pada tahun 1928, anak-anak bangsa sepakat menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia.
Indonesia terbentuk karena persamaan nasib sebagai bangsa yang pernah dijajah ± 300 tahun oleh Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Unsur fundamental persatuan tidak terletak pada kesamaan suku, agama, budaya, ras ataupun kelompok etnis. Ini berarti Indonesia secara hakiki berbeda dengan China, Thailand, Israel ataupun Timor Leste. Pantas saja, founding father kita Ir Soekarno gemar memakai term anti imperialisme dan kolonialisme sebagai jargon membangkitkan semangat nasionalisme. Salah satu slogan yang terkenal, Amerika kita seterika dan Inggris kita linggis.
Ketika granat waktu yang disebut globalisasi meledak di awal abad 21, jauh hari sebelumnya Jhon Naisbit, seorang futurulog, sudah meramalkan akan berdentang keras pula suara dari gerakan untuk kembali membangun identitas diri. Gerakan melestarikan kebudayaan dan nilai-nilai tradisional justru tumbuh ketika kesadaran akan identitas diri ditemukan di tengah pergaulan internasional. Dalam perspektif ini, lahir juga semangat desentralisasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang dibingkai dalam terminologi mentereng otonomi daerah.
Sebuah keunikan terjadi di Propinsi Bali. Otonomi daerah sebagai kebijakan mainstream mengelola dan menggali potensi daerah dieksploitasi secara sepihak oleh kalangan legislatif menjadi lahan membangun dikotomi picik penduduk setempat dan penduduk penumpang dengan penetapan Kartu Identitas Penduduk Sementara alias Kippem. Praktek memalukan ini dikemas dalam bingkai keputusan legal. Ini sebuah pengkhianatan atas HAM, pembukaan UUD 1945 dan juga mengubur mimpi-mimpi historis para leluhur dan pendiri Republik ini.
Kita tak perlu bersilat lidah soal peraturan Kippem karena sudah telanjang mata sebagai kebijakan yang menggerogoti persatuan sebuah nation. Siapa saja yang lahir di bumi Indonesia adalah warga negara Indonesia. Mereka ini disebut penduduk Indonesia sebab konstitusi kita tak mengenal penduduk Denpasar tetapi penduduk Indonesia. Sesama warga negara tidak pantas disebut penduduk penumpang di bumi Nusantara ini.
Warga negara Indonesia yang datang membangun hidup di Kota Denpasar kini mengalami kesulitan memperoleh KTP sebagai penduduk setempat. Pasalnya, mereka diklaim secara picik sebagai penduduk penumpang.Kita bertanya relakah masyarakat di Kota Denpasar pindah ke Surabaya atau Medan disebut penduduk penumpang. Lebih parah lagi, masyarakat Bali sendiri yang bukan berasal dari Denpasar dicap penduduk penumpang kalau mereka tinggal di Denpasar. Padahal secara historis, kota ini bukan dibangun oleh para anggota dewan yang terhormat itu tetapi dirintis dan dibangun oleh kakek-nenek mereka yang anak-cucunya sekarang disebut penduduk penumpang itu.
Anehnya, kebijakan yang super aneh ini terus dibiarkan berlangsung oleh DPRD dan kalangan eksekutif. Pada masa Orde Baru, rakyat ketakutan kalau didatangi segerombolan serdadu, namun sekarang ‘penduduk penumpang’ itu merasa tertekan secara psikis dan fisik ketika rumah mereka tengah malam digebrek Polisi Pamong Praja dan aparat Trantib.
Rupanya kemerdekaan di Indonesia cuma istilah mentereng yang amat manis di mulut retorika tetapi begitu pahit lagi menyakitkan di dalam ranah praktek. Lucunya, kala ada upaya pengerahan massa dalam kampanye legislatif dan pilpres, ‘penduduk penumpang’ ini dirayu menjadi konstituen. Caleg masuk keluar lorong-lorong kumuh dan becek menggalang dukungan. Begitu berhasil duduk di rumah rakyat, mereka ini mengeluarkan statement suci: Kippem perlu dipertahankan untuk mengontrol penduduk pendatang di Kota Denpasar sekaligus sebagai salah satu sumber PAD.
Ketertiban dan keteraturan penduduk memang penting apalagi di sebuah kota besar. Hanya saja, kunci keteraturan itu harus bersumber pada hak-hak dasariah penduduk sebagai warga negara dan tidak mengangkangi UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Barangkali, kalangan legislatif ketika membuat keputusan tidak menundukkan kepala seperti Socrates (baca: maaf tidak pakai akal sehat) atau tidak menelaah langkah-langkah hipotetis Hobbes tentang komponen mana yang utama dalam sebuah negara: rakyat atau negara. Bolehkah demi negara dan demokrasi, penduduk dikejar-kejar dan dianggap sebagai penduduk penumpang di atas tanah leluhur mereka? Rakyat silahkan pilih mana yang bertampang militeristik: purnawirawan TNI ataukah kalangan legislatif dan eksekutif? Ah, memalukan menjadi penduduk penumpang di negeri sendiri!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 61 MINGGU I JULI 2004)
Amartya Sen, guru besar (sekarang emeritus) Universitas Harvard, AS, seorang pemenang Nobel di bidang ekonomi, ketika menghadiri suatu seminar internasional di Jepang, tahun 1999, ditanyakan wartawan peristiwa terpenting apakah yang mendominasi kehidupan manusia abad 20 silam. Dengan tegas Amartya menjawab satu kata. Demokrasi!
Mungkin jawaban Amartya ini terasa janggal karena pada abad itu ada berabgai peristiwa besar seperti berahkirnya imperialisme Eropa, lahirnya negara-neraga baru, perang dunia I dan II atau runtuhnya negara komunis Uni Sovyet. Selain itu, demokrasi sudah dirintis sejah jaman Yunani kuno. Paling tidak sudah berumur dua milenium dalam tarik masehi. Bagaimana kehidupan negara-negara kota (polis) yang memberikan perlindungan yang penuh kepada warga kota sempat dinikmati Plato dan Aristoteles.
Sejarah demokrasi itu sendiri kemudian pada tahun 1215 di Inggris dipertegas dalam Magna Charta Libertatum, disertai penegakan dengan pertumpahan darah dan taruhan nyawa dalam revolusi Amerika dan Perancis pada abad ke-18. Kekuasaan kerajaan tumbang dan diganti oleh pemerintahnan republik. Kemudian system demokrasi itu diimplemenatasikan di Eropa dan Amerika Utara pada abad ke-19 dalam bentuk pemungutan suara.
Baru pada abad 20, demokrasi diterima di mana-mana sebagai system politik yang normal. Meski terjadi tarik menarik wewenang antara hak pemerintah dan hak rakayat, namun demokrasi paling tidak menjadi model terbaik membangun sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengakuan Amartya bukan sekedar cuap-cuap teoretis tetapi ilmuwan kesohor ini telah membuka landskap pemahaman komprhensif bahwa ada korelasi kuat antara demokrasi dan kelaparan rakyat di suatu negara, antara kemacetan nilai-nilai demokrasi dan menurunnya kesejahteraan masyarakat, dan atau antara pengekangan kehidupan demokrasi dan kemelaratan nelayan di sebuah negara maritim.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan bangsa dan negara Indonesia menjadi miniatur pelajaran historis kebenaran pendapat Amartya. Cornelis de Houtman asal negeri Kincir Angin , Belanda berulang kali menelan air liur melihat lezatnya kekayaan alam bumi Nusantara. Apalagi Kerajaan Ternate dan Tidore di Maluku kala itu benar-benar bertumpu pada kejayaan maritim yang kemduian dijajah Belanda.
Pada tahun 1945, Indoensia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka secara de fakto dan de jure. Namun Belanda dan sekutunya kembali melakukan invansi militer untuk menguasai kembali negeri kolam susu dan madu ini. Mereka sudah meraakan senditi bahwa hasil perkebunan dan pertanian di Indonesia telah mendatangkan keuntungan berjuta-juta golden bagi APBD Belanda yang sempat defisit.
Faktas histories di atas seharusnya menjadi suatu kebanggan bagi ratusan juta manusia yang lahir di republik ini bahwa mereka menjadi penduduk di wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Apalagi sebagai negara kepulauan, luas lautan melebihi 70% dari luas daratan ini. Ini berarti masa depan rakyat ini ada di laut. Program Gemala atau gerakan masuk laut dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan pembangunan berbasis pemanfaatan potensi perikanan dan kelautan adalah suatua kebijakan rasional.
Namun sebuah perasaan sedih dan duka yang menyayat hati sekaligus rasa malu tak terkira bahwa penduduk negeri ini hidup melarat. Bahkan untuk membangun negaranya saja terpaksa menjadi bangsa pengemis dan peminta-minta di mata donatur Internasional. Lebih melukai perasaan kemanusiaan, ratusan ribu warga negara ini terpaksa menyambung hidup di negeri lain. Ada yang diperkosa, dianiaya dan mati terbunuh. Sebegitu rendahkah harga diri manusia Indoneia. Apa yang salah di negeri tercinta ini. Pemerintah, pendidikan, tentara, wakil rakyat atau kita mendapat kutukan penguasa semesta menjadi ‘ayam yang kelaparan di atas tumpukan jerami’? Kutukan itu membuat mata hati kita buta untuk melihat kemampuan dan potensi diri yang luar biasa hebat.
Seacara tegas harus dikatakan bahwa kemiskinan dan keterbelakangan penduduk negeri ini akibat pemasungan dan pengkhianatan penguasa terhadap pertumbuhan nilai-nilai demokrasi. Sejak awal pendiriannya, para founding fathers telah meletakan dasar negara republik sebagai bentuk negara ideal yang mendekati negara demokrasi.
Tak bisa disangkal dengan segudang teori kalau kemiskinan karena rendahnya SDM ataui sistem pendidikan yang keliru. Yang pasti kehancuran pembangunan di Indonesia karen a negeri ini dipimpin dari satu penguasa otoriter ke penguasa yang rakus harta dan ingin melanggengkan kekuasaannya. Dengan kata lain, kegagalan membangun sendi-sendi kehidupan demokrasi sebagai penyebab tunggal kehancuran Indonesia.Kenyataan ini mendukung pernyataan Amartya kalau demokrasi terkait erat dengan kelaparan dan penderitaan lahir batin warga negara.
Demikian pula kemiskinan yang masih mellilit petani nelayan di Indonesia akibat kekuasaan otoriter. Meski ada kalangan akademisi yan gmengeluarkan berbagai jurus teori bahwa nelayan kita kurang terampil, tak memiliki manjemen pekerjaan dan sebagainya. Dalam teropong filosofis, pembangunan adalah suatu usaha untuk memperluas kebebasan individu dalam suatu negara. Kemduian kebebasan itu diwujudkan melalaui pembanguanan di segala sector.
Ada dua jenis kemerdekaan yang dipasung di Indonesia. Pertama, kebebasan substantif, artinya semuah hasil pembangunan harus memperbesar kekebasan. Kedua, kemerdekaan instrumental, yaitu sarana utama implemnetasi pembangunan adalah juga kebebsan itu sendiri.
Dalam persoalan nelayan miskin di Indonesia, mereka tidak dipandang sebagai orang yang kekurangan pendapatan, ketiadaan pangan atau tiadanya sarana penangkapan ikan. Kemiskinan dilihat sebagai akibat perampasan kebebasan dan kemerdekaan seseoran guntuk mengembangkan bakat, potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Bayangkan, rezim diktator di mana saja pasti berusaha membungkam suara-suara keadilan yang berasal dari rakyat. Bagaimana kita berteriak agar nelayan kita pandai menangkap ikan sedangkan penguasa memasung pendidikan itu. Bagaimana berharap generasi mnendatang menjadi genrasi maritim sedangkan dalam sistem pednidkan dan kehidupan sosial mereka digiring menjadi genrasi yang apatis. Akibatnya yang lahir kemudian baisanya angkatan muda yang kerdil, ngambang, cas-cis-cus banyak, isi otaknya sedikit, tahunya hanya obat-obatan terlarang, dan kreativitsnya hanya melulu di selangkangan. Generasi seperti itu yang sebetulnya yang diinginkan oleh rezim ditaktor di manapun, termasuk di Indoensia.
Potensi perikanan laut Indonesia sangat kaya dan melimpah. Saking kayanya akan ikan, memancing pun tidak perlu pakai umpan, bahkan bisa diumpamakan si nelayanlah yang dikejar-kejar ikan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa potensi yang sedemikain besarnya tidak seimbang dengan kontribusi yang diberikan terhadap perekonomian nasional.
Bambang Subako dari Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia mengatakan untuk mengembangkan perikanan Indoensia kita bisa mencontoh Inul. Ada empat konsep bisnis yang bisa dipelajari dari Inul. Satu, dia tahu apa kebutuhan konsumen. Kedua, dia bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Ketiga, dia jujur dan polos. Semakin dia jujur, maka semakin dia disenangi dan mendapat simpati dari berbagai kalangan. Dan yang terakhir adalah dia mampu memunculkan sesuatu yang baru.
Sekarang bukan saatnya lagi pemerintah mengambil langkah-langkah keamanan untuk mencegah masuknya kapal-kapal asing ilegal yang mengeruk kekayaan laut Indonesia. Mereka masuk ke Indonesia karena di sini tidak ada saingan. Jadi kita tidak bisa menyalahkan mereka. Langkah yang seharusnya diambil pemerintah baru saat ini adalah mempertahankan demokrasi agar rakyat merasa bebeas berkarya baik di arat maupun di laut. Kedua, mengundang para investor untuk memajukan sektor perikanan di Indonesia. Jadi yang paling mujarab adalah pembangunan ekonomi melalui investasi. (Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Berbicara mengenai urbanisasi, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar merupakan kecamatan terbanyak yang ‘diserbu’ kaum urban setelah Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Namun persoalan urban bagi kecamatan yang memiliki tujuh desa dan satu keluran ini bukan menjadi momok yang memberatkan. Bahkan dianggap sesuatu yang cukup positif. Bahkan, kecamatan Ubud ini menjadi pemasok PAD terbesar bagi Kabupaten Gianyar.
Tercapainya Ubud sebagai Kota Urban yang minim konflik tidak terlepas dari penanganan penataan penduduk yang baik dan terorganisir. Hal itu diakui oleh Camat Ubud, Made Budiartha. Menurut Budi, demikian ia biasa di sapa, Kecamatan Ubud yang memiliki penduduk 59581 jiwa dengan jumlah pendatang 1723 orang diakui cukup riskan terjadi konflik.
Hanya saja, semua lapisan masyarakat Ubud baik itu lembaga pemerintahan, bendesa adat, maupun masyarakat telah berkomitmen untuk bersama-sama hidup tertib administrasi. ‘’Siapapun warga atau orang asing yang datang dan berkeingian untuk tinggal baik itu dalam jangka waktu yang pandek atau lama wajib melapor kepada petugas desa. Sehingga siap-siapa saja yang datang dapat diketahui dengan jelas,’’ katanya.
Seiring pertumbuhan kaum urban yang cukup tinggi, otomatis pembangunan tempat tinggal sementara atau rumah kost tumbuh pesat di Ubud. Sementara pemilik kost diwajibkan untuk mendaftarkan atau melaporkan anak kostnya kepada petugas desa. ‘’Jujur saja, yang dikhawatirkan adalah orang yang datang tanpa identitas dan maksud yang jelas. Kalau pihak pemilik kost tidak selektif di dalam menerima yang mau menempati kamar sangat berbahaya,’’ jelasnya.
Menyangkut mekanisme pemberolehan identitas, Budi menjelaskan tidak ubahnya seperti sistem yang diterapkan oleh kabupaten lainnya. Ubudpun menerapkan sistem Kippem (kartu identitas penduduk pendatang). Kippem ini berlaku selama tiga bulan dengan biaya admistrasi sebesar Rp 50 ribu. Pendatang baru berhak mendapatkan KTP setelah dua kali perpanjangan Kippem secara berturut-turut.
Laporan kependudukan periode April 2004, Kecamatan Ubud telah mengeluarkan 1018 Kippem dan enam KTP. Sementara jika dilihat dari banyaknya penduduk pendatang, Desa Peliatan menjadi destinasi kaum urban terbanyak. Sekitar 346 orang disusul Desa Potulu 310 orang dan Kedawatah 299 orang. Sementara Desa Mas 212 orang, Ubud 181 orang, Lodtunduh 169, Sayan 116, dan Singakarta 90 pendatang. Banyaknya jumlah kaum urban inilah yang mendorong Kecamatan Ubud untuk terus melakukan perubahan dan pembenahan di bidang kependudukan.
Bos Yang Atur Kippem
Soal kepengurusan Kippem, bagi Jumanto pria asal Jember yang bekerja sebagai pengrajin kursi kayu di Kecamatan Ubud, Gianyar bukan menjadi masalah. Pasalnya, semenjak ia diterima sebagai tenaga kerja seminggu kemudian ia telah menerima Kippem dari sang bos. ‘’Semua sudah diatur dan diurus bos. Kita tinggal bekerja saja,’’ kata bapak satu orang anak ini.
Mencari sesuap nasi. Begitulah jawaban klise Jumanto ketika ditanya mengapa ia datang ke Ubud. Dua tahun lalu, berbekal keahliannya membuat kursi kayu hias, Jumanto menginjakkan kakinya ke Ubud. Ketika itu, ia sama sekali tidak mengetahui seluk beluk Ubud. Bahkan, ia dengan tegas mengatakan ia hanya bergantung kepada teman yang membawanya ke Ubud.’’Saya dibawa oleh tetangga satu kampung yang kebetulan bekerja di sini,’’ jelasnya.
Ternyata, Jumanto mengaku sedikit terkejut ketika tahu ternyata di tempat ia bekerja banyak juga penduduk pendatang yang bukan asli orang Ubud bahkan bukan orang Bali. Hampir 90 persen adalah penduduk pendatang. Hal itu membuat Jumanto sedikit lega, karana banyak dari teman-teman dari satu daerahnya. Kita di sini, lanjut Jumanto, tinggal bersama-sama dalam satu tempat tinggal. Dan soal pengurusan Kippem atau identitas lain tidak masalah, soalnya semua ditangani oleh bos.
Karyawan Kaum Urban Menguntungkan
Memiliki karyawan yang berasal dari luar Bali ternyata bukan menjadi masalah bagi para pengusaha. Meski saat hari raya keagamaan, banyak penduduk pendatang yang kembali ke kampung halamannya untuk merayakannya bersama keluarga masing-masing. Seperti, menjelang hari raya Idul Fitri, kaum urban berbondong-bondong mudik meninggalkan Bali.
Namun hal tersebut tidak membuat Herman, pengusaha toko kain penyedia bahan baku garmen di Denpasar kelimpungan mencari tenaga bantuan. Ia juga tidak merasa dirugikan oleh para karyawannya. ‘’Kejadian seperti itu sudah menjadi hal yang lumrah setiap tahun, sehingga dari jauh-jauh hari saya sudah memperhitungkan pengiriman pesanan kepada langganan saya. Kalaupun tidak bisa, mungkin akan kami kirim setelah hari raya. Lagipula garmen yang menjadi langganan saya juga menetapkan hari itu sebagai hari libur,” terangnya.
Malah ia mengaku, lebih untung memiliki tenaga kerja seorang pendatang dari pada penduduk asli. Dari pengalaman yang dimilikinya, penduduk asli Bali yang dominan beragama Hindu lebih banyak mengambil cuti mengingat banyaknya hari raya umat Hindu di Bali. ‘’Anak-anak jarang pulang, paling setahun sekali, atau kalau ada keperluan mendadak saja. Sementara karyawan asli Bali kendalanya banyak sekali, terutama terbentur dengan masalah upacara. Saya juga tidak tahu apakah ia benar-benar mengikuti upacara agama atau tidak. Kalau dari tingkat kerajinan saya rasa sama saja,” ujar pria asal Malang, yang sudah 20 tahun hidup di Bali.
Namun, untuk menghindari terjadinya cuti yang berlebihan sehingga menimbulkan kecemburuan bagi keryawan lain, Hendra menerapkan sistem bonus dalam penggajian. ‘’Besarnya penghasilan yang diperoleh tergantung dengan diri mereka sendiri. Kalau kerjanya rajin, ya bonusnya gede, sehingga mereka jadi bergantung sama dirinya sendiri, dan akhirnya mereka akan rajin masuk kerja,” ungkapnya.
Erwin Siregar, SH: Penertiban Penduduk Itu Penting
Persoalan kaum urban di Bali menjadi wacana yang tidak habis-habisnya dibahas. Sederetan awig-awig telah disepakati para pejuru adat guna meminimalisir datangnya kaum urban. Persoalan tidak berhenti di situ, timbul berbagai sikap pro dan kontra. Sementara kaum urban sendiri berupaya mempertahankan haknya sebagai warga negara Indonesia.
Pengacara Erwin Siregar, SH mengupas fenomena kaum urban ini dari segi hukum. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia berhak untuk datang dan tinggal di Bali. Bahkan ada hal mendasar yang harus diketahui bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan hukum. ‘’Harus diingat undang-undang yang berlaku tidak hanya itu. Ada undang-undang otonomi daerah yang harus juga diperhatikan,’’ ujar Erwin.
Adanya otonomi daerah inilah yang sebenarnya menjadi hal yang dilematis. Satu sisi dikatakan bahwa setiap orang Indonesia berhak datang dan tinggal di daerah tertentu, namun di sisi lain ada undang-undang otonomi daerah yang sepertinya menciptakan ajang pengkotak-kotakan. Sebenarnya, lanjut Erwin, antara kedua jenis UU ada keterkaitan yang erat. Artinya, setiap orang Indonesia berhak untuk datang dan mendiami daerah tertentu di Indonesia. Namun, harus diingat untuk tinggal setiap orang juga harus mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh daerah tersebut. Contohnya saja Bali. Guna meminimalisasi dampak negatif adanya kaum urban ini, Bali telah melakukan proteksi lewat awig-awig yang disepakati oleh elemen masyarakat baik itu para penjuru adat, pemerintah maupun masyarakat. ‘’Nah, mau tidak mau para pendatang wajib mengikuti semua aturan yang ada. Terutama soal kelengkapan admistrasi,’’jelasnya.
Menurut Erwin, kalau setiap pendatang datang ke Bali dengan tujuan yang jelas dan memiliki keahlian sangat mustahil tidak diterima di Bali. Namun memang terkadang, mekanisme aturan yang benar tentang proses penataan dan penertiban penduduk tidak diterima dengan baik oleh petugas di lapangan sehingga menimbulkan tindakan arogansi. Ini salah satu eksesnya.
Akan tetapi, jika pemerintah Bali tidak melakukan proteksi dampak negatif seperti tindakan kriminalitas akan banyak terjadi. Karenanya, peranan pemerintah sebagai leader sangat dibutuhkan. Informasi yang benar harus disampaikan kepada masyarakat agar semua dapat memahami dan menjalankan mekanisme yang ada. Demikian juga pendatang, wajib ikut aturan dan melengkapi diri dengan keahlian. (Mei Nababan, Made Sutami & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Banyaknya penduduk pendatang di Pulau Bali dinilai sangat positif mendukung perputaran roda perekonomian. ‘’Kedatangan kaum urban ke Bali, sangat menunjang perekonomian Bali terutama dalam hal penyediaan Sumber Daya Manusia (tenaga kerja), meski Bali telah memiliki banyak tenaga, namun ketersediaannya terbatas,” ungkap Drs Gede Sanica, Ak, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pendidikan Nasional Denpasar.
Kedatangan para urban juga dikatakan dapat memacu semangat masyarakat asli Bali untuk lebih meningkatkan ketrampilan, melihat banyaknya saingan yang datang dari luar untuk mencari pekerjaan. ‘’Dengan adanya orang luar yang masuk ke Bali, kita lebih berusaha meningkatkan ketrampilan. Misalnya sebuah lowongan yang membutuhkan lima orang, namun yang melamar banyak, jelas terjadi kompetisi. Dengan adanya kompetisi, kita akan termotivasi berusaha meningkatkan kemampuan. Semakin banyak saingan, kita akan semakin terpacu meningkatkan keahlian kita. Jika saingannya biasa-biasa saja kita tidak akan terpacu untuk maju,” papar pria kelahiran Singaraja, 25 Agustus 1955 ini.
Meski ada nilai tambah, kedatangan para urban juga kadang menjadi masalah bagi pemerintah terutama pemerataan jumlah penduduk dengan lahan pekerjaan. Untuk menangani hal tersebut, Sanica berharap pemerintah mampu menjaring pendatang dari luar. Artinya, orang yang tidak punya keahlian apa-apa tidak boleh diizinkan masuk ke Bali. ‘’Sebaiknya orang yang datang ke Bali tanpa tujuan atau tanpa KTP distop lalu dikembalikan ke daerah asal,” tegasnya.
Penjaringan yang dulu pernah dilakukan Pemkab Jembrana di pintu masuk Pelabuhan Gilimanuk patut didukung semua pihak, karena disinyalir, upaya tersebut kembali mengendur akibat tidak seimbangnya mobilitas penduduk dari Jawa ke Bali dengan tenaga kerja yang hanya bekerja selama 8 jam. ‘’Penjagaan di pintu masuk kini mengendur, mungkin karena pengawasnya lelah, dengan adanya mobilitas penduduk dari Jawa ke Bali sangat tinggi selama 24 jam,” paparnya. (Made Sutami & Beny Uleander/KPO EDISI 61/MINGGU I JULI 2004)
Secara harafiah, kata preman berasal dari kata Free dan Man (Free Man); yang berarti orang yang bebas atau merdeka, dan yang mempunyai hak penuh sebagai warga negara. (Kamus Bahasa Inggris terbitan Oxford University Press 1969). Paruh abad ke-16, masih ada jejak-jejak orang yang mengasingkan diri dari keramaian dunia (fuga mundi) untuk mencari makna kehidupan. Mereka tinggal di hutan, gua-gua atau di padang gurun dalam kesunyian dan doa. Masyarakat abad pertengahan menghormati mereka sebagai guru kebenaran. Sebab, mereka yang tidak mau sibuk dengan urusan duniawi itu dianggap manusia bijak yang bebas dari ambisi, aroma balas dendam dan apalagi intrik politik.
Mereka ini disebut manusia bebas (free-man). Dalam kultur feodal itu, figur manusia bebas dicari dan didambakan rakyat jelata sebagai tokoh pembebas. Karena mereka tidak tahan hidup dalam situasi tertekan dan tertindas oleh ulah kerakusan tuan-tuan tanah. Tokoh free man yang mendengarkan suara rakyat dan terlibat aktif memperjuangkan hak-hak pokok rakyat inilah yang disebut bandit, yang berani berbicara atas nama kebenaran dan terus mengutuki kelaliman penguasa. Alhasil, bandit adalah tokoh intelektual, pembebas rakyat dan musuh nomor wahid kalangan bangsawan dan penjilat raja.
Dalam perjalanan sejarah ada bandit yang tidak puas di jalan ahimsa ala Ghandi. Segelintir bandit tergoda menggunakan cara-cara kekerasan untuk membela kepentingan rakyat. Mereka menghasut rakyat untuk membakar ladang, merampas tanah kaum ningrat atau membunuhnya. Akhirnya, tokoh bandit merosot menjadi penjahat berbahaya, ditakuti rakyat dan penguasa tentunya. Di Indonesia, bandit identik dengan preman yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan suka mengganggu orang lain. Kaum preman di Indonesia berkembang pesat di era 1980-an mulai dari desa sampai kota. Sepertinya ada rasa bangga dan tidak malu menyebut dirinya sebagai seorang preman. Bentrok antara preman (gangster) sering terjadi dan menyisakan virus keresahan bagi warga sekitar. Jika belum ada terapi yang jitu, Indonesia ini bisa menjadi negara Barbar. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa.
Di sudut ini, preman sudah memasuki hampir semua lembaga institusi pemerintahan, eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka cukup lihai mencatur permainan di Indonesia termasuk suksesi kepala daerah. Mereka lantang berbicara tentang aspirasi tapi dalam aksinya sangat tidak aspiratif. Sering berbicara tentang HAM, tapi aksinya banyak yang melanggar HAM, berbicara tentang berantas korupsi tapi justru penyubur korupsi, bicara tentang membuka lapangan kerja, tetapi banyak selingkuh dengan pengusaha demi sebuah keputusan PHK sepihak, dan seterusnya.
Untuk itu, rakyat tidak boleh malu-malu berkata bahwa ada preman yang menjadi wakil rakyat. Sebelum duduk di kursi rakyat, mereka menampilkan citra diri sebagai pembebas masyarakat dari rezim otoriter dan penguasa diktator. Dalam pidato, mereka biasa menelanjangi kebobrokan pemerintah, lalu mengajak rakyat berkoalisi mendepak penguasa dan antek-anteknya untuk membangun negara dan pemerintahan baru. Rakyat jelata yang selama puluhan tahun dibekukan kesadaran politis sering terkecoh dengan ‘ketokohan’ orator tipe ini.
Ingat! Bukankah pohon yang baik dikenal dari buahnya? Berbagai kebijakan publik yang amburadul, membingungkan dan membawa perpecahan dalam masyarakat bisa menunjukkan sejauh mana kualitas para perumus dan pengambil keputusan. Misalnya, UU Penyiaran dan UU Pendidikan Nasional yang kontroversial tetap disahkan, padahal secara substansial berpotensi membawa perpecahan. Yang tak kalah seru adalah pembatalan UU Teroris oleh Mahkamah Konstitusi dengan dalih lebih mengedepan hukum formal ketimbang memperhatikan fakta riil di lapangan.
Ada yang lupa bahwa saat dua bom diledakkan di Jl Legian Kuta, Bali, ratusan nyawa melayang sia-sia, denyut nadi lokomotif industri pariwisata Bali sempat terhenti, ribuan pekerja di-PHK. Lupa, kali. Singkatnya, banyak pejabat yang tidak rela menangis dengan rakyat banyak yang sedang menangis dan tidak ingin tertawa bila rakyatnya sedang tertawa seperti kata penerima Nobel Perdamaian 1997, Mgr Carlos Ximenes Belo, SDB dalam bukunya The Voice Of Voiceless (1997).
Di Bali sendiri, belakangan ini banyak warga yang mengelus dada menyaksikan tingkah wakil rakyatnya yang lantang berjuang untuk dapat Dana Purna Bhakti atau dana pengabdian (supaya agak halus). Ketika gaung purnabhakti mendapat sorotan dan penolakan dari berbagai unsur masyarakat, mereka bukannya minta maaf malah ngotot dengan dalih pengabdian wakil rakyat harus dihargai. Ini juga dalih mereduksi pengabdian sebatas uang. Bisakah kita memilah mana yang preman dan yang benar-benar free man. Mungkin lupa bahwa mereka itu wakil rakyat, ber-Bakti dan meng-Abdi karena dan demi rakyat banyak. Jika demikian, mengapa para wakil rakyat yang terhormat dan dihormati itu menuntut untuk tetap mendapat Dana Purna Bakti.
Pribadi yang tergolong dalam tipe free-man adalah mereka yang mengabdi dan bekerja tanpa pamrih serta menunjukkan kualitas diri sebagai solving maker bukan trouble maker. Memang setiap pekerja layak menuntut upah sebab untuk hidup manusia membutuhkan biaya alias duit, tapi bukan satu-satunya, melainkan dari semua yang disabdakan Tuhan. Tetapi besarnya angka Dana Purna Bhakti menunjukkan kurangnya kepekaan wakil rakyat akan situasi kemiskinan yang membelenggu rakyat akibat terpaan krisis ekonomi.
Kriteria seorang pejabat itu preman adalah saat kepentingan rakyat banyak terang-terangan diabaikan dan dirugikan. Contoh, pencemaran teluk Buyat yang diketahui ada pejabat yang super cuek dan mengeluarkan statemen bahwa kondisi itu lumrah dalam dunia industri. Menyakitkan sekali, kala mendengar mereka berbicara tanpa beban dalam dialog interaktif di TV.
Sudah saatnya, individu dalam masyarakat harus peka nurani –berani berbicara atas nama kebenaran guna melawan para ‘preman’ yang berbicara atas nama perut. Di tikungan ini, kehadiran seorang preman jalanan jelas meresahkan masyarakat tetapi keberadaan dan keberanian preman di lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif justru akan meruntuhkan negara. KPO/EDISI 63

Juni 2004
S S R K J S M
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Blog Stats

  • 90.569 hits

WITA

obj=new Object;obj.clockfile="8009-red.swf";obj.TimeZone="Indonesia_Denpasar";obj.width=150;obj.height=150;obj.wmode="transparent";showClock(obj);