Catatan Kenangan Beny Uleander

Archive for the ‘Sosialita’ Category

Kejenuhan menyambangi hari-hariku. Tak ada rasa stres. Tiada keinginan mengubur agenda kerja. Tubuh latahku hanya ingin diam terpekur di sini. Menatap parade raga manusia di Pulau Dewata. Ada pentas keindahan, tergambar derap adu nyali, dan di Pantai Kuta, kita melihat dunia yang lain. Ya …sekelompok manusia yang memanjakan raga mereka.
Sedangkan di pojok kota, nasib tak beruntung melilit pak tua. Hidup dari belaskasihan warga kota. Tangannya terbuka menengadah dengan sejumput doa memohon rejeki. Entah bagaimana ia memandang hidupnya, saya tidak tahu. Yang pasti…jantungnya terus berdetak merasakan denyut nurani yang tak pernah mati dilindas roda jaman.
Saya hanya ingin menatap raga manusia dalam keindahan dan kerapuhannya. Semuanya kutemui di sela-sela liputan jurnalistik. Untuk sesaat kuingin menyajikan di blog ini. Cuma ingin menatap parade akrobatik tubuh manusia dengan gegap gempita aktivitas.
Aku bukan mengusir kejenuhan di sini…Apalagi ingin menertawakan keretakan hidup yang terkapling dalam keindahan atau eksploitasi, kekayaan atau kemalangan….
Tapi aku ingin mengatakan….Tuhan kehidupan itu indah dan tragis….

Indah…..karena kehadiranmu mengindahkan waktuku

Tragis ….karena pesona kecantikan tak bisa mengusir kejenuhan.

Hanya dentang kesepian ditingkahi hasrat syukur yang mendorong setiap insan untuk terus berbagi kebahagiaan.
Sementara luka dan duka tak bisa dijadi kado bagi sesama, kecuali menjadi arsip yang tersamai rapi di pahatan jiwa yang tabah.

Kita terus menatap matahari bukan melihat terang kehidupan.
Kita memandang rembulan bukan untuk menumbuhkan sayap agar kita terbang menggapai angkasa.

Ada keajaiban yang diwartakan dari bola mata….
Pernahkah kita melihat buluh mata….????
Ya Dia Yang Agung begitu dekat dengan kita melebihi buluh mata kita. DIA memeluk hangat dan memangku kita dalam bara kerinduan ilahi yang tak pernah terbalaskan oleh laku tapa dan jasa amal.

Semua karya hanyalah guratan tangan di pasir pantai
Akan sirna ditelan waktu…yang tertinggal hanyalah pesan keabadian.
Manusia akan terus tersesat saat raga dilepaspisahkan dari jiwa….

Entah sampai kapan…. raga kita kembali memeluk jiwa yang nelangsa…

Kesejahteraan tidak selalu dipungut dari perut bumi. Kesejahteraan juga bukan hujan yang meluncur turun dari langit. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan berkelana ke setiap jengkal benua baru. Segala hasil alam yang ada di perut bumi dilihat sebagai sumber-sumber kesejahteraan baru.
Namun catatan sejarah membagi pengalaman berharga. Bukan perkara gampang memungut bulir-bulir kesejahteraan. Perebutan kekayaan alam antar bangsa melahirkan penjajahan dan perang. Itulah awal kesadaran setiap komunitas membangun pertahanan diri. Sebuah visi baru bahwa kehidupan adalah hak setiap manusia. Demikian pula kekayaan alam adalah anugerah bukan kutukan. Dalam perspektif yang lugas, pengkhiatan terhadap ruang-ruang kehidupan dan kemanusiaan adalah awal kemiskinan.
Gairah mengumpulkan hasil-hasil alam akan berbeda di tangan kapitalis maupun humanis. Penyembah kapitalis terpesona penuh takjub melihat sumber-sumber kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Di mata batin kaum humanis, alam dan segala isinya adalah anugerah kehidupan. Alam adalah bentangan ladang kesejahteraan.
Mosaik kemiskinan, kemelaratan dan keterbelakangan sudah bergulir sejak era kekaisaran klasik hingga kepresidenan konstitusional modern. Siapakah yang menyalakan lentera kemiskinan di muka bumi ini? Mengapa kemiskinan yang diperangi setiap zaman selalu tampil lagi dengan potret yang lebih memilukan hati? Kemiskinan selalu terlahir di tengah komunitas yang sebagian warganya melihat kekayaan alam sebagai harta karun tak bertuan. Rona kemelaratan adalah buah sejati dari upaya sistematis dan strategis mengusir yang kecil tak berdaya menikmati kekayaan alam.
Di medan perang, prajurit-prajurit kapitalis adalah serdadu barbar yang menyebar virus-virus kematian. Mereka menertawakan Republik Ide yang dibangun Plato sebagai khayalan akan hadirnya surga dunia. Bagi mereka, De Civitate Dei yang dirindukan filsuf Agustinus pada abad ke-5 adalah tiran baru anti kedai anggur dan rumah bordir. Itu berarti, tak ada kesempatan buat merayu, tak ada tempat pertemuan rahasia yang selama ini dinikmati penyembah kapitalis.
Mereka juga mengejek kisah perjalanan Raphael Hythlodaeus, satu dari 24 orang yang dibawa sang penjelajah termashur, Amerigo Verpucci, dalam perjalanan dan ditinggal di Cabo Frio, Brazil. Bagi dedengkot kapitalis, penemuan pulau utopia oleh Raphael Hythlodaeus -tokoh rekaan- Sir Thomas More pada tahun 1515 itu tak lebih dari ungkapan frustrasi “orang-orang saleh”.
Kehidupan adalah sebuah petualangan sekaligus pertarungan. Memang benar adanya. Petualangan untuk mencari dan mengusahakan merekahnya keadilan, kebaikan dan keluhuran dari rahim bumi. Bukanlah hal yang mustahil untuk terwujud selama kita percaya pada pengembangan dan penemuan terdalam kemanusiaan itu sendiri. Hanya pribadi-pribadi yang sudah mencapai “pencerahan humanis” yang berani tampil sebagai pemimpin yang menghancurkan benteng-benteng kapitalis. Hak-hak rakyat harus dilindungi di tengah pasar bebas yang sangat menguntungkan para tengkulak. Negara dan pemerintah belum berani melakukan intervensi terbatas kebijakan harga sembako dan produk pertanian yang selama ini tidak bersahabat dengan rakyat kebanyakan. Tapi apa yang mau dikata, negeri ini masih dipadati pemimpin-pemimpin karbitan yang dibesarkan kampanye media massa dan iklan.
Bisakah kesejahteraan bersemi di negeri kita? Bila ditanya dari mana datangnya kesejahteraan, maka jawaban historis amat panjang mengurai debat ideologi. Setiap ideologi pembangunan berlomba-lomba menawarkan kesejahteraan kepada para penganutnya. Yang pasti, jalan menuju kesejahteraan akan dipandu oleh pemimpin yang melihat kekayaan alam sebagai rahmat bukan kutukan. Hatinya sakit dan menderita melihat rakyat agraris hidup miskin di tanah pertanian.
Tak ada salahnya di tengah pertarungan iklan calon pemimpin bangsa jelang pilpres 2009, kita terus berdoa lahir tokoh pemimpin yang mendesain sketsa besar tapi membumi bagaimana dengan cara-cara singkat membuat rakyat di pedesaan sejahtera.
Karena itu, seorang pemimpin sejati adalah pribadi yang terus-menerus menerapkan ideologi kesejahteraan yang diyakini membawa kemaslahatan bagi bangsa.
Ideologi bukan sekedar kumpulan ide atau gagasan yang dipahami Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 sebagai “sains tentang ide”. Ideologi adalah perbuatan yang membangkitkan rasa percaya rakyat. Sehingga rakyat pun terdorong untuk bekerja lebih keras. Karena rakyat tahu buah hasil kerja keras mereka akan mendatangkan peningkatan pendapatan.
Saat ini, rakyat terus diteror dengan kanaikan-kenaikan harga. Pelaku pasar bebas dengan santai berujar pada akhirnya rakyat akan menyesuaikan daya belinya. Wahhh…kasihan, rakyat miskin-papa-hina-dina-lemah- dibantai serdadu-serdadu kapitalis yang berpikir Jakarta adalah Indonesia. Mereka tak peduli menajamkan ideologi dan visi bagaimana 70 persen uang yang beredar di ibukota negara itu terdistribusi juga ke daerah-daerah. Bangsa kaya raya, tapi pemimpinnya idiot ataukah bandit-bandit kapitalis baru? Sejarah yang akan bercerita lagi kepada anak cucu kita, siapa itu pemimpin sejati di negeri ini. (KPO EDISI 155)

Raut wajah adalah ruang ekspresi getaran dan gejolak terdalam jiwa manusia. Wajah pucat menandakan jiwa yang sedang tergoncang. Wajah ketakutan mencuat saat keselamatan diri terancam. Suasana hati yang riang terpatri menjadi wajah berselimut kegembiraan. Lalu wajah-wajah kusut masai dijumpai pada individu yang frustrasi. Ibarat cermin, ketulusan jiwa terpancar pada wajah yang bersahaja. Ketegaran dan pahit getir kehidupan yang dijalani seseorang terpahat di wajahnya. Dalam refleksi kolosalnya, Charles Kingsley menyebut kecantikan wajah adalah tulisan tangan Tuhan. Terimalah itu di setiap wajah yang cantik, di setiap hari yang indah, di setiap bunga yang indah. Ada pertanda apa saat kita menyaksikan wajah-wajah gelisah dan pasrah rakyat di negeri ini pada babak awal tahun 2008 ini?
Kerumitan ekonomi global membuat pemerintah bingung. Harga minyak mentah dunia meningkat tajam melampaui prediksi pemerintah. Imbasnya, RAPBN 2008 yang rampung akhir September 2007 langsung kedaluarsa. Demikian pula harga komoditas dan pangan melonjak naik. Pelaku usaha ketar-ketir memikirkan kelanjutan investasi mereka. Pada saat yang sama, mulai mencuat berita anak-anak menderita busung lapar. Maklum, daya beli masyarakat terkapar di tangga-tangga kenaikan harga sembako. Kepasrahan di tengah kemiskinan menjadi mosaik kepedihan.
Di saat bangsa kita tengah terjerat gejala “resesi global”, terbit mentari optimisme bahwa kita akan dan harus menjadi bangsa yang memiliki harga diri dan kemandirian di bidang ekonomi. Tentu saja lantunan litani harapan ini bukan impian kosong atau khayal semu. Tanda-tanda kebangkitan Indonesia baru sudah mulai terlihat pada barisan pengusaha dan kalangan swasta yang tak mau pasrah pada situasi kelam Indonesia saat ini. Ya, kita kagum pada prestasi para chief executive officer atau CEO Indonesia. Dalam usia muda, 28-40 tahun, mereka fokus merintis karir maupun bisnis dari nol dan akhirnya mencetak prestasi gemilang di bidang usahanya.
Dalam bilik-bilik nuraninya, mereka menanam benih visioner bahwa kehidupan adalah rajutan investasi manajemen diri dan ekonomi. Dengan sikap ambisi yang positif, mereka pertama kali mendisiplin dirinya. Ini sebuah perkara tidak mudah. Sebab manusia dalam segala kerapuhannya berjuang memilah mana cita-cita dan mana keinginan. Disiplin kerja hanya tercapai bila setiap individu mulai menata kehidupan pribadi dan merumuskan cita-cita yang ingin ditorehkan dalam kehidupan yang cuma sekali ini. Dan disiplin diri adalah gerak sadar menata hasrat-hasrat liar yang kerap menghambat pertumbuhan diri. Seperti rasa malas, pasrah pada nasib, menyombongkan kepintaran “yang seujung kuku” dan sikap mental menggampangkan pekerjaan.
Kita bisa bertanya dari mana mereka menimba sumber inspirasi yang menggerakkan mereka untuk selalu menghargai waktu, bekerja keras penuh dedikasi dan tak jenuh mendorong sesamanya untuk maju. Dalam kajian pakar manajemen usaha Rhenald Kasali, perjalanan untuk menemukan jati diri dan mengeksplorasi potensi diri yang dahsyat tidak lain adalah gerak perubahan; recode DNA. Daya positif yang membangkitkan hasrat untuk maju, dalam teropong Kasali, bermuara pada kesadaran bahwa setiap manusia tercipta untuk sukses. Sayang potensi diri dengan segala keunggulan dan keunikannya sering terkubur karena lingkungan pergaulan yang salah, cara pandang yang sempit dan masih berkutat dengan pikiran-pikiran negatif bahwa hanya orang kaya saja yang akan terus sukses.
Lalu di mana titik picu yang menyebabkan terbangunnya kesadaran intelektual dan kepekaan bisnis tersebut? Kembali lagi pada mutiara kehidupan bahwa hanya orang yang rajin membacalah yang bisa menjadi pemimpin. Artinya gairah belajar tiada henti dari pengalaman, studi kepustakaan dan bercermin dari pergulatan hidup sesama mencari makna terdalam kehidupan adalah sumber inspirasi kehidupan yang tak pernah kering.
Dari secuil kisah kaum muda yang merengkuh sukses, kita memetik keyakinan mental bahwa Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara berkembang maupun maju sekalipun. Lalu dari mana kita bisa mulai memacu atau menabur benih-benih keyakinan itu? Di bangku sekolah? Ah, jarang cepat sukses karena tidak banyak guru yang sanggup membangkitkan potensi diri anak didik. Banyak guru yang lihai membangkitkan memori ingatan alias kemampuan menghafal teori demi kelulusan ujian. Lalu di keluarga? Memang keluarga adalah sel komunitas terkecil. Banyak generasi muda yang cerdas, berakhlak mulia dan sopan budi pekertinya, tapi menjadi pengangguran?
Belajar pada pengalaman terberi, manusia adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan. Dalam alur ungkap sederhana, kesuksesan adalah proses individual dalam memotivasi dirinya sendiri. Melihat kegagalan sebagai bagian integral kemajuan diri dan usaha. Jatuh bangun dalam berusaha dirasakan sebagai kenikmatan tiada tara. Pengalaman gagal adalah garam yang membuat kehidupan tidak tawar. Dengan kekuatan pikiran positif mereka berucap bahwa kesuksesan adalah milik setiap manusia yang harus dicari, diperjuangkan dan dipelihara terus menerus.
Rumus kemandirian bangsa bisa kita gapai bersama dengan (1) bergerak dari wajah konsumen menuju wajah produsen. (2) Bergerak dari wajah “tuan tanah” yang malas menuju wajah “penggarap tanah” yang saling percaya. (3) Bergerak dari wajah mayoritas rakyat yang membisu menuju wajah minoritas yang berpikir kritis-konstruktif. (4) Bergerak dari wajah calon penguasa menuju wajah calon manajemen. (5) Bergerak dari wajah penonton di pinggiran sejarah menuju pendobrak pada tapal batas. (6) Bergerak dari penerima dan pelaksana menuju pencipta, penyebar dan pelaku. (7) Bergerak dari pola cendekiawan pembela rumusan baku kepada cendekiawan penggali kebenaran. (Beny Uleander/KPO EDISI 148/MARET 2008)
Kompas Gramedia Fair Bali 2007
Salah satu indikasi kemajuan sebuah bangsa adalah tingginya minat baca warganya. Karena itu, eksistensi buku dalam pergulatan peradaban amat menentukan kualitas generasi sebuah bangsa. Pesan ini diwartakan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun dalam pembukaan Kompas Gramedia Fair 2007 di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Bali, Rabu (5/12). Pameran buku Kelompok Kompas Gramedia (KKG) ini pertama kali di Bali yang dibuka Asisten I Setda Propinsi Bali I Gede Wardana.
Menurut Rikard Bagun, saat ini bangsa Indonesia mengalami kemunduran di berbagai bidang kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah lunturnya minat baca yang digusur budaya menonton. Ajang Kompas Gramedia Fair adalah bagian dari idealisme Kompas membangun kesadaran minat baca, menumbuhkan budaya baca sekaligus mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dicontohkan Rikard, kemajuan Vietnam saat ini melejit meninggalkan Indonesia. Padahal Vietnam baru keluar dari perang saudara. Ketertinggalan Indonesia dari negara tetangga karena budaya baca yang amat rendah. Apalagi perhatian pemerintah terhadap dunia buku dan budaya membaca sangat lemah yang dapat dilihat dengan tingginya pajak kertas, harga tinta dan sebagainya. Karena itu, kegiatan pameran buku adalah bagian dari perjuangan KKG mencerdaskan bangsa. Buku adalah jendela dunia dan wajah peradaban.
Saat memberikan pelatihan jurnalistik kepada para pelajar, Rikard Bagun membeberkan rendahnya minat baca di kalangan generasi muda karena budaya konsumtif yang melanda negeri ini. Dulu kita berada di zaman berpikir yang melahirkan filsuf-filsuf besar. Lalu kita memasuki zaman produksi yang dimulai dengan revolusi industri di Inggris. Saat ini, remaja kita hidup dalam budaya konsumsi. Nilai seseorang berdasarkan barang apa yang dipakai. Namun, Rikard memotivasi kaum remaja untuk tidak takut menulis. “Sebenarnya menulis itu gampang. Menurut MA Brouwer, menulis hanya sulit di kata awal,” ujarnya.
Menurut Kepala Biro Kompas Denpasar Frans Sarong, latihan menulis sangat penting dalam upaya menyampaikan dan merumuskan pendapat pribadi. “Menulis sebenarnya latihan sederhana menuangkan sesuatu hal. Motivasi dasar dalam menulis adalah diri sendiri. Dan kepiawaian menulis bisa diasah dengan keseringan membaca buku,” paparnya.
Dari even bertemakan “Save the World, Stop Global Warming” yang berlangsung selama 5 hari, (5-9/12), tercermin komitmen KKG untuk menumbuhkan budaya baca, membenihkan nilai-nilai etika, estetika dan humaniora. Dalam acara ini diselenggarakan pameran buku dan foto, obral buku murah, berbagai acara seminar motivasi dan bisnis, temu penulis novel “teenlit” alias “teen literature”, talkshow kesehatan, workshop dan aneka lomba yang diselenggarakan setiap hari. (Beny Uleander/KPO EDISI 142/DESEMBER 2007)
Kegusaran ilmiah melanda Stephen Hawking selama 30 tahun. Pada tahun 1976, ia memproklamirkan adanya bintang raksasa dengan gravitasi yang sangat besar membentuk lubang hitam yang menghisap semua materi dan energi di dekatnya. Ia terus memikirkan teori black hole yang menobatkan dirinya sebagai pewaris Newton dan Einstein di jagat fisika. Pasalnya, teori tersebut bertentangan dengan teori fisika kuantum bahwa energi dan materi tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya berganti wujud.
Pada Konferensi Internasional Gravitasi & Relativitas ke-17 di Dublin Irlandia, Rabu (12 Juni 2006), yang dihadiri 800 fisikawan dari 50 negara, Hawking yang telah dimakan usia itu, meralat teorinya. Ia mengatakan bahwa materi dan energi tidak dimusnahkan tetapi “dimuntahkan” kembali dalam keadaan tercerai berai. Tentu saja pembatalan teori ini mengecewakan para pecinta fiksi ilmiah yang terobsesi bahwa lubang hitam adalah jalan menuju kehidupan jagat raya yang baru. Tapi itulah kerendahan hati ilmu pengetahuan yang siap terus-menerus dikoreksi agar mencapai kebenaran sejati.
Saat ini, bertebaran film, cinema dan animasi yang mencoba mengeksplorasi kehidupan baru di luar bumi. Ada juga yang coba mendeskripsikan ciri fisik alien sebagai makhluk tanpa rasa, empati, cinta dan tepo seliro. Memang menarik untuk mengikuti gelora imajinasi di alam khayal. Bebas, liar dan tak terkendali. Namun, dalam kisi-kisi refleksi, kebebasan berpikir adalah sebuah matra, sedangkan substansi pemikiran adalah kristalisasi kegelisahan manusia mencari jawaban tuntas atas kiprahnya di pentas kehidupan. Sosok alien yang kerap dilukiskan bergerak mekanis, kaku dan dingin tanpa rasa, sebenarnya tidak lain adalah “pemindahan” figur semata.
Di pentas realitas, manusia sejak jaman Plato diyakini dibentuk dari jiwa dan badan. Meski saat itu badan dilihat sebagai penjara jiwa, namun setidaknya manusia tempo klasik mengamini bahwa di dalam tubuh yang rapuh ada hasrat cinta yang abadi. Manusia pun dalam peta teologis agama ditugaskan sebagai duta yang menebarkan senyum ilahi, menjadi perpanjangan tangan Allah bagi sesama yang menderita dan hatinya adalah surga mini Sang Khalik.
Deretan kekejam dan pembantaian yang dipertontonkan angkatan bersenjata maupun gerilyawan di sebuah masa dan tempat, menegaskan bahwa manusia tidak sepenuhnya ditakdirkan berjalan dalam kedamaian. Bahkan kemerdekaan dirancang bangun dengan pertumbuhan darah. Kedamaian dipertahankan dengan proyek nuklir dan pembaharuan peralatan persenjataan tempur. Itulah wajah dan rona kehidupan manusia di planet bumi dari zaman monarki hingga republik demokratis.
Kehancuran dan aksi bumi hangus maupun pembantaian massal menunjukkan bahwa inti kemanusiaan kita amat dekat akrab dengan sebuah “lubang hitam” yang bertipe menghisap dan memusnahkan. Tragisnya, kita sebagai pelaku sejarah belum bisa membahas tuntas soal “lubang hitam” yang selalu membayangi kehidupan kita. Kadang kita hidup rukun, kadang kita ditarik oleh gravitasi kekuasaan, nafsu dan ego untuk menghancurkan segala yang menghalangi pencapaian hasrat binal tersebut.
Benarkah nafsu adalah lubang hitam yang sangat primitif terus bercokol lengket dalam sanubari manusia? Kini kita melihat daya isap “lubang hitam” bukan saja menelan habis manusia dengan sebaris atribut citra diri. “Lubang hitam” itu juga mulai menelan rakus kekayaan alam. Kepala gunung ditebas buldozer, hutan sebagai busana bumi ditelanjangi dan perut bumi disodok-sodok pipa penghisap minyak dan gas. Iklim global terus berubah. Musim hujan menjadi musim panas, musim semi berganti musim salju.
Benarkah manusia zaman ini menurut Sokrates menjadi manusia yang menjalani hidup tanpa kekuatan refleksi? Negeri dan ruang privat kita, misalnya, mulai dirayapi proyek-proyek mercusuar yang lahir dari ekspansi gairah kapitalistik. Materi adalah segalanya. Akibatnya, kepekaan sosial yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang punya hati dan rasa cinta mulai pudar. Kemiskinan sosial dan struktural adalah buktinya. Jutaan penduduk miskin terus bertambah tiap hari. Balita kurang gizi meningkat tajam setiap menit. Dan, setiap detik, dunia ini ditinggal pergi oleh mereka yang mati dalam kemiskinan mengharukan dan mengenaskan.
Sementara masyarakat bumi yang terkotak dalam berbagai agama dan aliran tidak mampu membangun dialog otentik akan panggilan kemanusiaan. Bahkan, di beberapa negara kita masih menyaksikan para pemuka agama dan pembela agama bertualangan di rimba orthodoxi. Padahal awal kehadiran sebuah agama adalah spirit perdamaian, kasih, dan selaksa sentuhan kemanusiaan. Sayang sungguh sayang, manusia dalam kekerdilan pikiran kerap menganggap dirinya harus mempertahankan kesucian Allah di dunia. Sejatinya kekudusan dan kesucian Allah bukan terbentuk berkat bantuan manusia.
Stephen Hawking adalah contoh manusia intelektual yang selalu gelisah dan terus merefleksikan pemikirannya. Zaman ini, kita dipanggil untuk merumuskan kembali warta agama yang berwajah kemanusiaan, demokrasi yang humanitarian dan kekuasaan yang melayani rakyat. Jika kita gagal merumuskan panggilan hidup yang baru, jangan-jangan kita adalah transformasi makhluk alien yang masuk ke bumi ini. Tanpa cinta, hambar hati, miskin empati dan hampa rasa sayang. Kehidupan yang tidak direfleksikan tidak patut dijalani, sergah Sokrates. Bulan suci Ramadhan menjadi momen strategis meretas jati diri dan fitrah manusia di tengah dunia. Selamat menuaikan Ibadah Puasa! (Beny Uleander/KPO EDISI 136)
Tabrakan ide dan konsep di setiap jengkal kepentingan sesaat adalah latar kelam proses pembangunan di negeri ini. Filosofi tujuan pembangunan sejatinya untuk “menggampangkan” hidup tahap demi tahap. Seperti kayu api diganti kompor minyak tanah. Lalu meningkat, ibu-ibu rumah tangga mulai memakai kompor gas elpiji. Perjalanan dengan kereta kuda diganti dengan pesawat Garuda. Lebih cepat, efektif dan efisien dalam waktu dan biaya.
Sayang seribu sayang, arah dan rel pembangunan kita kerap terjebak dalam arus dehumanisasi. Manusia pun dikorbankan demi pembangunan. Lalu secara amat biasa kita mengabaikan jerit tangis penduduk miskin dari Sabang sampai Merauke. Kita merasa pantas kaum pengemis dan gelandang digiring Satpol PP untuk ‘dibina’ di aula dinas sosial. Sehari kemudian, mereka kembali menggantungkan hidup berdasarkan belaskasihan orang lain. Memangkah nasib mereka lagi tidak beruntung? Bahkan kadang dianggap sebagai takdir terberi!?
Kasus lumpur Lapindo seharusnya menjadi momen strategis merumuskan aplikasi riil prinsip corporate social responsibility (CSR) perusahaan. Apa yang terjadi? Warga korban lumpur Lapindo seperti digiring menuju barak-barak frustrasi. Mereka dibiarkan menikmati marah dan kesal. Lalu depresi adalah hasil akhir yang akut, bila ketahanan psikis lemah lunglai. Pada akhirnya, mereka menjadi korban yang apatis dan menerima tragedi sebagai garis nasib. Roda jaman menggilas hidup mereka. Tak ada yang menolong selain Dia di sana. Dialah Tuhan. Itu jawaban getir dalam larik lagu Ebiet G Ade.
Siapa yang peduli? Bencana lumpur menjadi komoditas politik. Wakil rakyat atau lebih tepat bangsawan politik justru berlomba-lomba menunjukan peduli. Ingin pamer bahwa merekalah sesungguhnya wakil yang paling peka dengan duka derita rakyat. Tapi, tidak ada tindakan strategis dan preventif apalagi langkah cepat mengatasi permasalahan yang ada. Nasib korban lumpur Lapindo kian tak jelas.
Kita menjadi bangsa yang gamang di tengah kemajuan jaman. Memang kita tidak bisa berlari sembunyi dari sergapan globalisasi. Sendi-sendi tua feodalisme sukses terkikis diganti dengan gempuran kompetisi penuh gairah di segala bidang kehidupan. Persaingan menjadi roh terdepan dan berbalut nafsu mengumpulkan materi sebagai puncak keberhasilan. Siapa yang tekun penuh percaya diri merajut mimpi dalam bidang apa saja, dia akan mencicipi hasil di alam nyata.
Itulah gaya hidup kapitalis dan konsumtif. Wajar bila penduduk negara-negara maju mengisi waktu luang menikmati teater modern. Atau menghamburkan uang untuk mengoleksi barang-barang elektronik-digital. Sebab mereka telah melalui sebuah proses panjang dari negara berkembang menjadi negara maju. Mereka sudah lama menginvestasikan kerja keras mereka. Tak ada salahnya seseorang menikmati hasil jerih payah setelah memeras keringat dan membanting tulang siang dan malam. Benarkah pendapat di atas?
Tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab gaya hidup global penuh kontradiksi dan paradoks. Kita yang hidup di negara berkembang dapat pula menikmati versi baru “gaya hidup kapitalis dan konsumtif”. Dan, rona kemiskinan sebenarnya bisa didepak perlahan-lahan dari peradaban negeri ini. Asalkan, kita bisa memadamkan konsep-konsep keliru yang tertanam sistematis akibat gaya hidup warna-warni yang menyesatkan.
Pertama, ukuran keberhasilan seseorang adalah sejauh mana dia dapat hidup mandiri dengan tingkat penghasilannya. Penjaga toko dengan upah Rp 400 ribu, tapi bisa mandiri, terkategori orang sukses. Hanya beda skala pendapatan. Kalau sudah mulai boros, ngutang dan mencuri bukan ciri-ciri keberhasilan.
Kedua, ukuran kesuksesan seseorang bila ia mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Pedagang nasi goreng di emperan toko yang punya seorang karyawan, maka dia termasuk orang sukses. Sekali lagi, hanya beda jumlah karyawan. Sering banyak perusahaan besar dengan karyawan besar tapi menunggak pembayaran gaji karyawan dengan seribu satu alasan. Ketiga, orang bahagia adalah orang yang hidup sehat jiwa dan raganya. Orang sakit tentu tidak bahagia dan tidak bisa bekerja mewujudkan impiannya. Sebuah cara pandang hidup yang amat sederhana.
Itulah paradigma baru dalam mengisi pembangunan. Kerja keras dengan menggunakan seoptimal mungkin otot dan otak adalah spirit membangun bangsa ini. Untuk mendapatkan uang, kita tidak tergoda menempuh jalan pintas dengan menculik anak orang kaya. Hidup mandiri sesuai penghasilan membuat kita tidak mudah terbujuk gaya hidup konsumtif. Orang akan tegas menolak pendapatan haram. Akhirnya, nafsu korupsi yang menggurita penyebab kebangkrutan Republik ini bisa dikikis.
Dan, ketekunan dalam kerja akan membuka pintu-pintu keberhasilan sekaligus menjadi magnet yang menarik orang-orang lain ikut membantu dengan tulus. Orang kaya adalah orang yang bekerja dengan tangan orang lain. Artinya, kemajuan di sektor swasta adalah tolok ukur kemajuan negara. Generasi muda akhirnya terpacu mengembangkan usaha di berbagai bidang. Lapangan kerja terbuka. Pembenahan manajerial akan terus terjadi tahap demi tahap. Itulah visi baru merayakan kehidupan yang terberi di alam kemerdekaan.
Pemerintah pun menjadi pelayan birokrasi yang efektif dan efisien. Sayangnya kita tersesat dalam konsep-konsep pembangunan yang keliru dan kerdil. Pilihan menjadi PNS dianggap sebagai kunci sukses. Akibatnya, kita menjadi bangsa cengeng dan konsumen setia produk-produk luar negeri. Lebih parah lagi, karyawan-karyawan swasta di perusahaan asing didikte menjadi robot-robot hidup tanpa konsep. Jika kita sebagai bangsa yang terus dinaungi mental “inlander” (rendah diri) di percaturan global, sampai kapan kita bisa membawa negeri ini maju? Biarlah waktu menggilas wajah kelam dan legam masa lalu kita sebagai bangsa terjajah!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 135)
Hidup tanpa suara, mungkinkah? Manusia hidup tanpa kuping alias budek bin tuli masih mungkin. Namun hidup tanpa suara adalah sebuah kematian identitas, keruntuhan komunitas, kehancuran bangsa dan kemunduruan peradaban. Suara bukan sebatas bunyi, denting nada musik, lengkingan tangis bayi, desing bising raungan mesin Harley Davidson, ataupun lolongan panjang anjing hutan di tengah malam sepi. Manusia yang tuli tetap akan mendengar ‘bisikan suara’ yang menggema lembut di telinga batinnya. Itulah suara kehidupan.
Suara kehidupan adalah daya pertumbuhan yang menyertai jejak hidup manusia. Suara ini adalah serangkum kesadaran untuk menjalani semusim kehidupan. Tanpa suara kehidupan, manusia kehilangan arah hidup. Mereka yang bunuh diri karena terbelit kegelisahan dan kecemasan adalah mereka yang tidak lagi mendengar suara kehidupan berdentang di telinga batinnya. Memang suara kehidupan adalah milik manusia, sebuah anugerah dan harta karun kehidupan yang sering dilupakan dan terkubur sepi dalam tidur dogmatis.
Suara kehidupan adalah sebuah gerak pertumbuhan kejiwaan yang kadang bersifat menyapa, menghibur, menguatkan, menyadarkan dan bisa juga membawa manusia pada sebuah ruang keheningan untuk diam, tafakur dan siap mendengar Sabda Alam. Manusia prasejarah, klasik, modern, post modern, global atau hiperglobal tak pernah bisa lepas dari suara kehidupan. Itulah sebabnya, mengapa demi mendengarkan suara kehidupan dalam jejaring sosial, lahir para nabi, guru, rohaniwan/wati untuk menyebut kaum spiritualis, rahib dan pertapa. Suara kehidupan itu begitu agung, suci, mulia dan memiliki daya hidup. Kita pun sudah terbiasa atau pun pernah sekurang-kurangnya merasa disapa oleh suara hening alam, sapaan memanggil dari naas kitab-kitab suci, tergerak oleh tulisan-tulisan sastra di papirus atau lontar, terinspirasi oleh selarik pantun dan puisi yang indah menakjubkan.
Dari mana asal suara kehidupan itu? Suara kehidupan bisa datang dari langit dan bisa pula tumbuh mekar dari rahim bumi. Suara langit adalah suara transenden yang ‘dianugerahkan’ kepada seorang atau sekelompok nabi dalam sebuah komunitas, lalu disebarkan kepada komunitas masyarakat lainnya sebagai sebuah ajaran, sebuah agama, sebuah keyakinan transendental.
Suara kehidupan yang berasal dari bawah; bumi adalah hasil pergumulan batin manusia sepanjang sejarah peradaban dalam mencari yang baik, benar dan indah. Itulah kesadaran imanensi yang tidak bertentangan dengan suara dari langit. Keduanya saling melengkapi. Itulah sebabnya, kaum spiritualis berani mengatakan bahwa kebenaran ada dalam lubuk hati yang jernih ikhlas dan polos bening. Jauh lebih berani lagi, para rahib dan pecinta keheningan berujar bahwa Tuhan bisa ditemukan dalam lubuk hati sebagai guru, ayah-ibu ataupun sahabat yang mencintai kita. Ah, memang terasa indah akhir dari mencari suara kehidupan.
Bangsa Indonesia saat ini amat membutuhkan ‘nabi-nabi baru’; guru-guru bangsa baru yang membawa suara pencerahan tentang kesalahan mengurus bangsa saat ini. Kita membutuhkan suara-suara yang tidak sekedar suara formal sebagai wakil rakyat. Sebab, kini suara rakyat sudah kian kabur, abu-abu dan menjelma menjadi suara kelompok. Bangsa ini pernah dan masih memiliki putra-putra bangsa yang fasih membawa dan memperdengarkan suara kehidupan. Mereka menjadi pusat perhatian di kala revolusi menjadi barang dagangan, di saat idealisme mulai kehilangan makna dan pada waktu suara jutaan rakyat adalah komoditi.
Kenapa bangsa ini merindu suara profetis ‘nabi’ baru? Karena kaum cerdik pandai yang kita harapkan menjadi pembawa suara kehidupan ternyata hanya seorang jago membanyol. Mereka yang pintar dan terpelajar ternyata gagal menciptakan lapangan pekerjaan baru. Malahan orang pintar sering beramtem berebutan lahan usaha yang sama. Banyak orang mati kelaparan justru di samping makanan. Orang jujur hidup prihatin. Banyak orang berpangkat justru mengingkari tugas dan tanggungjawabnya. Orang lupa asal usul dan hakikat hidupnya. Itulah sebabnya kita sebagai bangsa kehausan akan suara-suara bijaksana yang mampu menyatukan negeri yang majemuk dan multikultural ini.
‘Nabi’ ataupun guru baru bukanlah manusia setengah dewa, tapi manusia yang berani untuk bertindak tegas dan berkata tidak kepada hal apa saja yang membuat harga diri bangsa merosot, rakyat menjadi menderita dalam kemiskinan dan yang membuat pengangguran kian meningkat. Rakyat yang kebingungan di tengah jalan mendamba suara-suara pencerah yang membuat kita berani bangkit menjadi bangsa yang besar. Amat menyesakkan hati, di saat yang sama ‘rakyat yang kebingungan’ adalah juga ‘rakyat yang dimanfaatkan’. Meski begitu, kita tetap terhibur bahwa kita adalah ciptaan Tuhan yang bisa mendengar suara kehidupan dari langit… (Beny Uleander/KPO EDISI 131)
Kata adalah senjata. Bagi seorang sastrawan, penulis dan jurnalis ungkapan ini sangat tepat. Kata-kata memiliki kekuatan, jiwa, roh dan daya sapa yang dahsyat terhadap pembaca dan pendengar. Bahkan kata yang dihayati penuh penjiwaan bisa membawa revolusi; perubahan; gerakan massa sekaligus membuat musuh blingsatan. Masih segar dalam ingatan kita, penyair Wiji Thukul mempopulerkan satu kata: LAWAN. Pada tahun 1995-1998, kata LAWAN yang dihidupkan Wiji Thukul menginspirasi kalangan muda untuk bersatu langkah dan tekad melawan rezim Orde Baru. Hasilnya luar biasa, Soeharto yang memiliki kekuasaan yang sangat ditakuti itu akhirnya turun tahta. Sayang beribu sayang, sang penyair Wiji Thukul bagaikan hilang ditelan bumi. Kini banyak pihak meyakini Wiji Thukul bersama kalangan aktivis yang diculik pada era reformasi itu sudah dibunuh secara diam-diam.
Kekuatan kata-kata juga mengilhami Hrant Dink (53) wartawan Turki keturunan Armenia. Berbagai tulisan dan artikelnya mengungkap pembantaian etnis Armenia oleh pemerintahan Ottoman dalam perang dunia I. Ia memperjuangkan penerimaan etnis Armenia sebagai bagian dari bangsa Turki. Berkat kegigihannya untuk membuka kesadaran bangsanya soal persamaan derajat, hak dan kedudukan sebagai warga negara, menyebabkan Hrant Dink sangat dibenci golongan nasionalis. Hari Jumat (19/1/2006), sebuah senjata menyalak dan tubuh Hrant Dink pun rebah di pintu masuk kantor redaksi mingguan Agos. Kematiannya yang tragis menggerakkan banyak kaum moderat Turki untuk melanjutkan jejak perjuangan Hrant Dink: hidup berdampingan tanpa kecurigaan, iri dan benci di antara berbagai etnis.
Wiji Thukul dan Hrant Dink telah tiada. Kita mewarisi suatu peninggalan peradaban yang abadi: kata adalah senjata. Aspek ini banyak dilupakan generasi muda saat ini yang lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton tayangan televisi (TV) daripada melumat-lumat lembaran halaman buku. Kekuatan kata-kata yang tersimpan dalam buku sebagai ilmu pengetahuan diganti dengan sihir kata-kata iklan yang membujuk, merayu dan mengeksploitasi selera konsumen.
Jauh sebelum televisi lahir, masyarakat pedesaan di berbagai daerah Indonesia hidup dalam dunia tutur. Pada malam hari bila ada acara tertentu mereka berkumpul bersama seraya mendengarkan pantun atau berbalas sajak. Mereka memiliki kehalusan budi yang tertuang dalam sajak-sajak yang dibahasakan secara halus, menyentuh dan menggugah rasa. Banyak sajak, pantun tradisional kini sudah terhapus dari memori kolektif warga desa. Memang kemajuan selalu berarti ada perubahan. Kini kita jarang mendengar lagi syair dan pantun tradisional yang indah. Bahkan dunia perpuisian pun sudah banyak ditinggalkan anak muda. Ada yang menganggap puisi adalah ungkapan jiwa yang amat sentimental, lahir dari jiwa yang berduka atau tengah dilanda kesedihan. Sutan Takdir Alisjahbana sempat mengangkat sebuah pemeo bahwa semakin dalam kesedihan seseorang akan semakin indah pula kata-kata puisinya. Sungguh sayang bila puisi tetap dianggap milik orang yang sakit jiwa.
Kata-kata yang halus, penuh rasa, dan sentuhan kemanusiaan pasti kata-kata yang lahir dari jiwa yang dewasa, agung dan tinggi budi pekertinya. Kata-kata yang halus ini dalam dunia pers tidak lain adalah pilihan dan kesadaran untuk mengembangkan paradigma jurnalisme damai. Apalagi di tengah konflik horizontal yang terus mengoyak kedamaian di negeri ini, tugas pers sebagai juru damai semakin penting.
Salah satu strategi pers untuk memberikan pemahaman yang tepat kepada masyarakat soal arti toleransi, jihad, dan persaudaraan adalah mengeksplorasi pendapat tokoh mayoritas (mainstream) yang memahami betul wujud penghayatan agama yang tepat. Sebab di Indonesia berbagai konflik sosial politik, budaya dan ekonomi selalu berakhir dengan konflik agama. Saling bunuh membunuh seakan menjadi hal yang lumrah. Perilaku ini ditayangkan rutin di televisi. Akhirnya banyak generasi muda yang melihat penyelesaian masalah ada di ujung bedil dan bayonet.
Padahal leluhur bangsa ini yang umumnya masyarakat agraris memiliki jiwa yang halus, agung dan mulia. Biar bagaimanapun, krisis dan konflik horizontal atas nama agama harus dihentikan dari bumi pertiwi. Rakyat ini sudah banyak menderita kerugian material dan immaterial. Dan, kita juga bukan berasal dari leluhur yang berbudi barbar. Tidak. Dalam hal seni budaya, kita berani bersanding dengan negeri lain. Lihat berbagai peninggalan sejarah seperti Borobudur atau kehidupan kesenian di Bali yang tidak dimiliki negara lain. Inilah kekuatan bangsa kita. Jangan lagi gara-gara penyebaran kata-kata yang menyesatkan sesama bangsa ini saling membunuh. Kedamaian datang dari Tuhan, sedangkan buah kerja setan adalah fitnah, dengki dan saling curiga.
Sekali lagi kata adalah senjata. Penyebaran kata-kata rasis dan anti golongan tertentu harus juga dilawan dengan kata-kata yang menggulirkan damai, jauh dari provokasi dan penafsiran sepihak. Tugas utama sebagai juru damai ada di pundak pers. Kata sebagai senjata memang telah menjadi falsafah yang menginspirasi banyak jurnalis untuk produktif dalam menulis dan melaporkan berbagai hal yang diamati di lapangan. Selain pers, panggilan untuk menebar damai ada di mulut para pemuka agama. Kata-kata mereka kerap menjadi inspirasi bagi umat. Apalagi ciri masyarakat kita adalah masyarakat pendengar. Juga, menjadi tugas generasi muda untuk terus menebar damai dalam pergaulan dan memegang teguh kodrat Republik ini: many colour; kaya akan suku, agama dan ras. (Beny Uleander/KPO EDISI 121)
Homo Proponit, Deus Disponit. Demikian pepatah Latin memaknai alur hidup manusia yang sudah ‘digariskan’ Sang Pencipta untuk dilalui. Manusia boleh merencanakan selusin proyek kehidupan masa depan tetapi hasil akhirnya ditentukan berdasarkan kehendak Tuhan. Inilah takdir atau suratan nasib yang tidak bisa dihindari. Benarkah demikian? Persoalan batasan takdir dalam wilayah tafsir teologis melahirkan ragam perspektif dan tercetus aneka mazhab yang mengklaim sebagai pemegang cara pandang yang tepat. Memang nilai-nilai agama selalu menjadi rujukan akhir ketika manusia menemukan titik batas kerapuhannya. Tubuh yang rentan oleh penyakit, tulang belulang yang mudah patah, fisik yang kian melemah dan tatapan mata yang memudar.
Manusia seperti bunga di padang yang bersemi di pagi hari dan layu di sore hari. Di manakah letak kekuatan manusia yang memiliki jiwa, getaran spiritual, rindu dendam, hasrat hati, cinta dan benci, empati dan antipati? Manusia sebagai individu hanyalah sebuah nama bukan sosok abadi. Gajah mati meninggalkan gading, manusia wafat mewariskan nama….Bagaimana nama itu bisa abadi dalam kenangan masa, itulah suatu seni tersendiri.
Ada manusia Mesir, manusia Romawi, manusia Babilonia, manusia Eropa, manusia Indian. Sebutan manusia berdasarkan lokasi yang merujuk pada sederetan parade peradaban dalam lembaran sejarah. Manusia adalah makhluk dinamis dengan sejuta kegelisahan eksistensial: bertanya dalam ketidaktahuan, mencari dalam rona penasaran, berziarah dalam ketidakpastian dan melangkah dalam gairah yang kadang berani; kadang berjalan surut dan seret. Ada kisah kepahlawanan, ada kenangan tentang pengorbanan tanpa pamrih, ada ceritera tentang penemuan rahasia-rahasia alam yang penuh misteri dan ada kisah tragis tentang pembantaian, pembunuhan dan hukum nyawa ganti nyawa yang bergema dalam syair-syair perang.
Waktu berlalu bersama selaksa taburan pengalaman di langit-langit kehidupan. Bumi tetap berputar pada porosnya seraya mengelilingi matahari. Masih banyak rahasia alam yang terpendam. Penemuan demi penemuan terus berjalan dalam rajutan interaksi kreativitas, inisiatif dan keberanian berpetualangan menggapai pengalaman baru. Manusia datang dan pergi. Patah tumbuh hilang berganti. Inilah yang menjadi titik persoalan antara kualitas regenerasi atau ingenerasi.
Regenerasi dimaknai sebagai ruang tumbuh manusia dalam sebuah sistem dan tatanan nilai yang sudah terbangun. Daya cipta dan karsa dikerucutkan menjadi kesediaan mempertahankan jejaring nilai yang telah berdiri. Desain kreativitas adalah serangkum energi reformasi, yaitu kembali kepada tatanan awal, mempertahankan tradisi dan menumbuhkembangkannya kembali. Itulah ruang regenerasi. Lahirlah stigma manusia Mesir, Romawi, Eropa atau Indian dengan tipikal yang khas membentuk stereotip sosial.
Kecenderungan sekelompok manusia yang mempertahankan identitas diri bisakah dilihat sebagai suratan takdir? Sudah begitukah nasib tanah suci Palestina yang direbutkan Israel dan Palestina. Bangsa pilihan Allah –Yehuda-Israel Kuno mewariskan sebuah garis permakluman yang disucikan soal sebuah tanah terjanji dengan Yerusalem menjadi pusat tanda lahariah. Nabi Musa hanya melihat pemandangan tanah suci dari puncak Gunung
Sinai. Anak cucunya menyirami tanah itu dengan air darah. Itulah barangkali ungkapan sejati tanah tumpah darahku. Ini sekedar contoh ‘menggugat’ regenerasi sosial.
Bagaimanakah dengan konsep ingenerasi? Dalam paradigma ‘bhinneka tunggal ika’, perspektif ingenerasi mudah dijelaskan secara gamblang tanpa meminjam istilah ‘plularisme’ yang kini sudah mulai ‘babak belur’ disekat oleh ikatan mazhab-mazhab yang penuh saling curiga. Juga peminjaman istilah ‘leluhur’ ini bukan langkah inkosistensi dalam menggurat jati diri paradigma ingenerasi. Isi ingenerasi adalah pertumbuhan atau kelahiran seorang individu sebagai pribadi yang bebas sekaligus menjadi berkat bagi masyarakat manusia. Manusia tercipta berbeda satu dengan yang lain bukan untuk membangun persaingan sehabis-habisnya. Sebaliknya, manusia adalah makhluk rapuh yang memerlukan uluran tangan untuk mewujudkan jati dirinya. Aku sebagai subyek menjadi berarti karena keberadaan Anda. Aku menyatakan diri karena Anda ada. Aku sebagai subyek pun akan bertumbuh sama seperti Anda yang mengandung daya pertumbuhan. Inilah relasi eksistensial Aku dan Anda sebagai subyek yang bukan lahir dari rahim batu tetapi dari hasrat cinta dan nafsu.
Ingenerasi adalah kemandirian subyek memanfaatkan potensi diri secara bertanggung-jawab. Ketika Anda bertindak bebas tetapi melukai pertumbuhan Aku, maka Anda tidak bertindak dalam kebebasan yang bertanggung-jawab. Ingenerasi adalah gairah pertumbuhan batin dan jasmani secara serentak dan sinergis.
Manusia Indonesia sudah lama berkubang dalam ranah regenerasi. Dalam perspektif sosial telah terbukti bahwa berbagai aliran, mazhab maupun ideologi berguguran dalam ziarah peradaban umat manusia. Pada era pencerahan, di abad pertengahan, para filsuf dengan tunggangan kuda rasional berkelana di bentara wacana sambil mengejek segenap mitologi Yunani sebagai sekeranjang sampah ketidakmampun manusia membedah realitas hidupnya. Hidup dan peradaban dibangun dengan pilar-pilar sains dan teknologi sebagai anak kandung rasionalitas. Benarkah manusia di bawah kolong langit ini sejahtera lahir batin dengan rasionalitas yang mentereng?
Kini, remaja Harry Potter tertawa renyah melihat komunisme, sosialisme, nasionalisme dan kapitalisme sebagai dongeng alias mitologi modern. Saatnya pula remaja Indonesia bertumbuh dalam ranah ingenerasi. Tumbuh menjadi generasi yang mempertanyakan dan menggugat program demi program pembangunan semesteran, tahunan dan periodik yang berulang tanpa berujung pada kesejahteraan. Bencana datang jadi proyek. Penyakit yang mewabah dimanfaatkan sebagai ladang proposal. Dana yang tersisa dimanfaatkan untuk plesiran atau pengadaan sarana-prasarana fiktif. Program pembangunan harus dilihat sebagai mitos agar Aku dan Anda tetap bertumbuh dalam kebebasan yang bertanggung jawab.
Anak Indonesia tidak selamanya ditakdirkan menjadi generasi plagiat dari generasi tua. Biarlah generasi tua itu hilang lenyap seperti bunga yang layu di senja hari. Jika tidak demikian maka mereka yang berpenyakitan tetapi kita yang menderita sakit. Orangtua yang ketagihan narkoba, anak yang sakaw. Raihlah paradigma ingenerasi. Bertumbuh bersama dalam pemanfaatan bakat dan potensi yang beragam. Aceh berkembang sesuai sumber daya alamnya, Papua bertumbuh menyatu dengan alamnya dan Bali diselimuti budaya dalam balutan keindahan alam. Ingat keteledoran dan kerakusan penguasa dan elite politik menyebabkan penyakit dan benca serupa –contoh demam berdarah- terus terulang setiap tahun, bahkan dengan jumlah korban yang kian menggila. Manusia ingenerasi berupaya menciptakan peluang pembangunan, terbenihnya lapangan pekerjaan dan bertumbuhnya kesejahteraan Aku dan Anda…bukan melulu perut Aku…Kita mati meninggalkan nama sebagai manusia ingeneratif. Semoga hal ini sudah ditakdirkan bagi generasi Indonesia abad 21 !!! (Beny Uleander/KPO EDISI 95)
Kalau anda cinta kedamaian di Bali & hidup di Bali…
Mohon ikut demo untuk segera eksekusi mati Amrozi dkk!!
Pemerintah tidak serius hadapi teroris,
demonstrasi besar-besaran dilaksanakan 12 Oktober, jam 4 sore, di LP
Kerobokan. Tolong sampaikan pesan ini ke 10 teman yang lain…
Mari nyatakan perang dengan teroris!!!
Acara ini akan diliput langsung oleh 5 TV Lokal Indonesia dan CNN secara Live.
Cuma dengan cara ini kita bisa membuka mata. Terima kasih.

Itulah bunyi SMS yang beredar di antara krama Bali paska pemindahan Amrozi cs, pelaku bom Bali I, ke LP Nusakambangan, Cilacap,Jateng sehari sebelum peringatan tragedi Legian 12 Oktober 2002. Menarik mengkaji fenomen magnet sms yang mampu mengumpulkan ribuan massa secara spontan di depan LP Kerobokan Kuta itu.
Ternyata, ponsel sebagai media komunikasi yang praktis juga menjadi wadah curhat sosial akan suatu luka bersama yang dialami sebuah komunitas sosial.
Meminjam kajian Thomas Hobbes tentang persamaan nasib sebagai latar belakang persatuan sosial sekumpulan manusia, kita bisa membedah tentang realitas Bali sebagai Pulau Oase di Bumi Pertiwi. Bali adalah pintu masuk wisatan mancabenua.
Otomatis, Bali menjadi barometer pertumbuhan pariwisata Indonesia. Bali adalah perkampungan internasional. Sebagai tempat pertemuan dan perbauran sosial, Bali adalah ladang eksperimen kokohnya adat istiadat dan agama di tengah percaturan budaya asing. Setidaknya, pendapat John Naissbit bahwa keunikan budaya kian kokoh di tengah kemajemukan global dengan segala instrumennya menemukan kebenaran faktual.
Keunikan Bali di ataslah yang menyebabkan pulau ini memiliki prestise tinggi baik di kancah nasional maupun di gelanggang internasional. Berbagai event nasional maupun berskala internasional kerap diselenggarakan di Bali. Ketika, Bali kembali diporak-porandakan bom, kita -setidaknya yang memiliki nurani- terhenyak dalam kegamangan tak berujung. Apa yang menjadi obyek sasaran para pelaku yang dijuluki teroris ini? Persaingan dari mata rantai bisnis? Intrik politik mengalihkan pergolakan kenaikan harga BBM yang gila-gilaan? Permainan dari negara luar yang memiliki kepentingan tertentu. Memang ada banyak ‘variabel’ yang bisa mendukung kecurigaan publik mencari otak pemboman. Tetapi untuk saat ini, tuduhan mengerucut pada sekelompok aliran agama yang radikal dan menggunakan cara-cara kekerasan sebagai jalan menuju realisasi cita-citanya.
“Tuduhan dan kecurigaan massal” yang masih diselidik kepolisian ini memang ditunjang dengan sejumlah variabel. Seperti pemboman Bali I dilakukan kelompok garis keras yang menggunakan aribut agama Islam untuk melegalkan aksi mereka. Kelompok ini menafsirkan doktrin keagamaan secara harafiah dan ‘berat sebelah’.
Semakin ‘fanatik’ seseorang semakin tinggilah derajat sosialnya dalam
kelompoknya. Kelompok ini ada di Indonesia. Pemerintahan Megawati Sukarnoputeri pun sempat dihadang ‘kerikil-kerikil kecil nan tajam ini’.
Masyarakat Bali kembali terluka ‘kaki pariwisatanya’ terantuk kerikil-kerikil tajam ini yaitu teroris. Pemandangan mayat yang bergelimpangan kembali terpampang di Pulau Dewata ini. Sementara pelakunya ikut tewas. Sungguh sebuah pengorbanan yang sulit dicerna akal sehat dan nurani yang bersih. Banggakah teroris membunuh bocah, pasangan suami isteri dan remaja yang sedang makan di pantai Jimbaran ditemani hembusan angin pantai.
Kelemahan para pelaku bom bunuh diri adalah jalan pikiran yang tidak
normal.Mereka adalah manusia gila bukan pembela kebenaran. Alasannya sederhana.
Manusia dikaruniai akal budi sebagai mutiara kehidupan. Dengan akal budinya manusia menimbang-nimbang baik dan buruk perbuatannya. Akal budi pula mendorong manusia mencari asal muasal dirinya, alam semesta dan Sang Pencipta.
Adalah Muhammad Ibn Rushd (nama Latinnya, Averroes, (1126-1198), pemikir Islam yang mempengaruhi dunia barat dengan komentar-komentarnya seputar kebenaran filsafat Aristoteles. Suatu saat, Rushd yang gemar merenung mencari jawaban demi jawaban atas realitas hidup mulai sampai pada pertanyaan tertinggi dalam ranah filosofis. Apa itu kebenaran, di mana sumbernya dan kaidah-kaidah apa yang mendukung eksistensi sebuah kebenaran. Lantas Rushd yang tak pernah puas mulai menggali ‘kebenaran ilahi’ dalam Alguran. Inilah awal bagi Rushd yang tergoda untuk mengupayakan suatu harmoni antara agama dan filsafat (akal budi).
Menurutnya, agama sejati dan akal budi tertinggi dapat didamaikan. Berkat penyelenggaraan ilahi manusia dapat mengetahui apa yang perlu diketahuinya. Filsafat adalah sahabat puteri dari agama dan saudarinya sesusu. Inilah pernyataan matang Rushd yang kemudian dikenal sebagai teologi populer dengan suatu metode tafsir. Intinya, kebenaran tdak bisa menentang kebenaran.
Allah sebagai penggerak yang tidak digerakkan. Inilah sumbangsih Rushd bagi manusia jaman ini bahwa pencarian kebenaran lewat dogma atau intisari ajaran agama tidak sampai melecehkan akal sehat. Para teroris menyodorkan suatu kebenaran ganda. Demi kebenaran intepretatif yang kedudukannya lebih tinggi dari kebenaran agama yang masih ‘abu-abu’ dan diselimuti misteri, mereka lantas mengorbankan nyawa. Kalau dalam bidang agama, layakkah demi ‘kesucian Allah’ kita membantai sesama. Apakah kekudusan Allah bertambah dengan tumbal darah manusia tak berdosa?
Barangkali, kesadaran Petrus Abelardus dalam buku Sic et Non (Ya dan Tidak), 1121, membawa pencerahan bagi generasi muda bangsa ini. “Aku mau mengumpulkan ajaran-ajaran dari para bapa Gereja yang saling bertentangan. Aku juga mau mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk merangsang kaum muda agar berusaha keras menemukan kebenaran. Lewat penyelidikanku, aku mau mempertajam pandangan mereka. Melalui keragu-raguan, kita sampai pada minat penyelidikan; dalam penyelidikan, kita memahami kebenaran, sesuai dengan pesan Sang Kebenaran itu sendiri pada kita.
Menurut Tomas Aquinas (1225-1274), iman dan akal budi tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Allah. Maka baik teologi maupun filsafat akan sampai pada suatu kebenaran hakiki. Hanya metodenya beda. Filasafat mulai dengan benda ciptaan (tentu dalam kawasan yang ilmiah) dan dari situ mencapai Allah. Sedangkan teologi sudah menerima Allah sebagai asal dan fundament kebenaran untuk penyelidikannya atas benda-benda ilmiah. Sayang, di benak para teroris rupanya tak berlaku hukum De Docta Ignorantia (Nicolaus Cusanus), 1440, ketidaktahuan yang diketahui. Semakin terpelajar seseorang, maka ia semakin mengetahui ketidaktahuannya. Dengan kesadaran inilah, Nicolaus Cusanus mau berusaha keras untuk menulis beberapa hal tentang ketidaktahuan yang diketahui itu. (Beny Uleander/KPO EDISI 91)


Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Tulisan Teratas

Blog Stats

  • 90.568 hits

WITA

obj=new Object;obj.clockfile="8009-red.swf";obj.TimeZone="Indonesia_Denpasar";obj.width=150;obj.height=150;obj.wmode="transparent";showClock(obj);