Catatan Kenangan Beny Uleander

Archive for Desember 6th, 2007

Hasrat tak bertepi menggugah nurani kesadaran Soe Hok Gie. Kerapkali dalam kesendirian dibalut keheningan daerah pegunungan, pemuda kelahiran 17 Desember 1942 ini bertanya dalam diam. “Apa itu sebuah cita-cita penuh gelora muda?” Kegundahan pemuda Gie bermuara pada gaya hidup generasi muda pada zamannya. Semangat mereka berapi-api membicarakan kecurangan penguasa, tapi miskin aksi. Visinya mengkilat di langit idealisme, tapi kelimpungan menerapkan misi. Mimik pidato mereka amat meyakinkan, setelah turun mimbar mereka cengar-cengir mabuk, dugem, bolos kuliah dengan alasan bahwa seorang aktivis berada di luar kampus.
Kaum muda memang berjiwa progresif namun hanya segelintir orang yang memiliki inovasi nilai. Itulah sebabnya, Hok Gie rajin memprodusir teropong kesadaran konseptual soal peran dinamis dan potensial kaum muda di ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerak dinamis pemuda bukan gerakan sloganistis dengan pakem-pakem hiperbola. Saat ini kita membutuhkan kiprah kaum muda yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Itulah guratan inovasi nilai yang membuka ruang kesadaran gerak kaum muda Indonesia bukan saja pada zaman Gie, tetapi juga saat ini. Dan, Gie telah lantang mengumandangkannya dalam barisan tulisannya.
Padanan konseptual pemuda dan patriotisme memang harus terus ditafsirkan secara baru di setiap jaman. Hanya esensi patriotisme tidaklah berubah, tetap satu dan sama, yaitu keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Karena itu, paradigma kaderisasi kepemimpinan nasional harus dikawal dalam sebuah “rel ideologi”. Sebab karakter bangsa ini amat mudah melupakan sejarah masa lalu, termasuk sejarah keluarga dan diri sendiri. Akibatnya bisa kita rasakan saat ini. Kaderisasi pemuda dipatok sebatas regenerasi jabatan politis di tingkat partai dan ormas. Selanjutnya, pewaris jabatan ikut serta mewarisi bakat korupsi, bermental instan, menggampangkan pekerjaan dan mencari selaksa pemasukan demi gaya hidup elitis. Itulah realitas saat ini yang pasti akan dikecam Hok Gie, kakak kandung sosiolog Arief Budiman, bila ia masih hidup.
Memasuki tahun 2008, wacana kepemimpinan nasional kembali mencuat seiring kian dekatnya suksesi kursi kepresiden. Di tengah hingar-bingar tebar pesona politisi gaek ataupun negarawan tua, ada satu ruang kesadaran yang amat kosong melompong yaitu kaderisasi pemimpin visioner. Kaderisasi pemimpin nasional ditiupkan ke tengah publik tanpa busana ideologis.
Selama ini diskusi kaderisasi dipetakan secara dangkal sebatas “kader-kader partai”. Fenomena banyaknya politisi pusat yang turun ke daerah memperebutkan kursi di kabupaten dan propinsi menjadi tanda bahwa partai gagal atau tidak punya konsep melahirkan pemimpin yang berkualitas di daerah. Itu salah satu contoh bahwa kini partai politik yang ada tidak memiliki visi yang matang soal kaderisasi pemimpin visioner. Memang di alam demokrasi, kita tidak bisa menampik peran partai sebagai esensi kedaulatan rakyat dan yang melahirkan pemimpin.
Pemimpin visioner adalah pemimpin, entah tua atau muda, yang menjadikan penderitaan rakyat sebagai kepedihan jiwa, aset-aset bangsa sebagai warisan pusaka di jari manisnya dan tegas menolak ekspansi kapitalis yang kerap menghancurkan kedaulatan negara.
Bagaimanakah mencetak pemimpin visioner yang militan? Inilah panggilan bagi kaum muda saat ini untuk berbenah diri baik dalam konsep, ruang gerak, cita-cita dan ambisi politik, tentunya. Negeri ini mendambakan kaum muda yang berpolitik dengan konsep matang mewujudkan Indonesia yang mandiri di bidang budaya (kepribadian), sumber daya alam (ekonomi) dan kemerdekaan hak asasi (tumpas pemiskinan hak-hak rakyat kecil).
Pemimpin visioner adalah pemimpin revolusioner yang mengagungkan kekuatan rakyat di pedesaan, menebar konsep membangun desa membangun bangsa. Inilah saatnya media massa sebagai pilar keempat demokrasi meretas kesadaran publik bahwa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan visioner.
Pemimpin visioner adalah cara baru kepemimpinan yang berpikir ke depan sekaligus merintis pola-pola dasar kemanusiaan. Artinya, rakyat tidak diasingkan dari hasil-hasil pembangunan, buruh tidak dialienasikan dari produk yang dihasilkan (anti kejahatan kapitalis) dan itu berarti pemimpin yang mampu mendorong rakyat di setiap daerah agar menghasilkan produk sendiri yang khas dan unggul.
Selama ini di tingkat partai politik bergulir kaderisasi koruptor, penjilat, penjahat berdasi, penindas rakyat, anti kemandirian, menyandarkan diri pada tipu muslihat kapitalis barat, dsb.
Segala ideologi yang menyengsarakan rakyat (manusia) harus dilawan. Pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat pun harus dihentikan dan dikoreksi. Saatnya kita menimba spirit dari puisi agung karya Soe Hok Gie dipublikasikan harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973:

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan

Selalu dalam hidup ini?

(Beny Uleander/KPO EDISI 141)

One district one commodity. Slogan mantan PM Thailand Thaksin Shinawatra menjadi inspirasi aktual mengedepankan idealisme agribisnis kerakyatan di Indonesia. Sebab birahi kapitalisme telah menggagahi kekayaan bumi dan alam Indonesia.
Pemerintah pun terlena oleh rangsangan devisa maha besar. Bahkan di era Soeharto, perusahaan-perusahaan manufaktur besar diberi suntikan modal gede dari pinjaman utang luar negeri. Asumsi pemerintah saat itu bahwa perusahaan besar bisa menjadi dewa penyelamat perekonomian nasional. Mereka mampu membuka lapangan pekerjaan dan menyerap angkatan kerja dalam jumlah besar.
Bangunan pola pikir tersebut hancur berantakan disapu “tsunami krisis moneter” yang menerpa Asia tengah dan tenggara. Perusahaan-perusahaan raksasa kelimpungan, banyak yang bangkrut dan akhirnya pilih tutup. Beban utang mereka dijadwal ulang dan lucunya kembali menjadi beban pemerintah. Itulah salah satu kesalahan mendesain struktur pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Lantas rezim penguasa dari era Habibie hingga pemerintahan SBY berputar haluan dengan mengembangkan dan mendukung usaha di sektor agribisnis (pertanian, perkebunan, tambak, peternakan, kehutanan, kelautan). Namun lagi-lagi kembali terjadi kepincangan struktural. Virus-virus warisan Orba belum punah total bahkan berevolusi dan beradaptasi secara serba baru. Pemerintah masih terbuai dengan kehadiran investor bermodal besar. Cengkraman jaringan usaha perusahaan raksasa bertebaran di pelosok Indonesia yang menggarap berbagai sektor agribisnis. Meski usaha mereka menukik langsung pada pemberdayaan potensi alam sebuah daerah, namun sekali lagi kita bertanya, sudahkah rakyat Indonesia merasa diberdayakan secara ekonomi?
Perusahaan besar dalam aktivitas ekspansi usaha tetap mengusung bendera profit-oriented. Karena itu mereka hanya merespon usaha di tempat yang strategis dan tentunya dilengkapi fasilitas infrastruktur yang memadai dari pemerintah. Terbentang kegelisahan bernada minor. Kenapa pertumbuhan ekonomi sangat lambat di daerah luar Jawa terutama Indonesia timur? Padahal setiap daerah memiliki keunggulan sumber daya alam tertentu. Mengapa belum digarap optimal? Tapi lagi-lagi oleh siapa; pemerintah atau investor? Lahir pula kekecewaan kenapa geliat sektor swasta sangat Jakarta-sentris, Jawa-sentris? Buktinya, pabrik-pabrik besar terpusat di daerah Jawa. Wajar bila terjadi migrasi penduduk besar-besaran ke kota besar terutama Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan dan Denpasar. Sudahkah sektor agribisnis dikembalikan ke panggung kerakyatan?
Era abad 21 atau secara lokal di era reformasi ini, kreatifitas dan inovasi anak-anak muda bangsa ini patut diacungi jempol. Meski jumlah mereka sedikit, tapi karya-karya mereka mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Memang masih skala mini di ranah usaha mikro, kecil dan menengah. Mereka merintis usaha dengan modal dengkul, tentu tanpa pinjaman lunak dari perbankan. Apa yang dapat kita petik dari kesuksesan mereka?
Pertama, mereka mengusung sebuah idealisme yang rasional dan membumi: bisa mandiri dan membantu sesama. Kedua, mereka menentukan bidang usaha yang akan digarap dengan mengandalkan atau mengolah bahan baku yang tersedia di daerah. Ketiga, mereka fokus menggarap pasar lokal, memasarkan dari rumah ke rumah lalu membuka stan dan outlet. Tak lama kemudian usaha mereka merambah luar negeri. Keempat, mereka terus belajar berinovasi tiada henti dalam soal produksi, packing, motif dan membaca selera pasar. Itulah jurus-jurus sukses kaum muda yang terjun di bidang agribisnis dan agroindustri. Mereka berada di daerah-daerah dan jauh dari perhatian pemerintah.
Dari kiprah perjuangan mereka kita dapat belajar bahwa pola-pola pembangunan mercusuar di negeri harus dikoreksi kembali. Seindah apapun upaya pemerintah tetaplah bahwa roda pertumbuhan ekonomi ada di tangan sektor swasta, yakni kumpulan rakyat yang memiliki jiwa wirausaha. Hal terpenting yang mendesak untuk menata agribisnis kerakyatan adalah perbaikan paradigma: membangun desa, membangun bangsa.
Bagaimana caranya? Ya, saatnya anak-anak muda di negeri ini dicegah keluar desa, diberi pendidikan (muatan lokal sekolah) dengan fokus menguasai komoditi andalan yang ada di daerah. Pabrik dibangun di desa dan industri eksis di desa. Bukan pabrik masuk desa yang cuma menebalkan kantong investor. Sementara penduduk desa menjadi buruh dengan upah minimum. Desa jadi ladang produksi, tapi penduduknya merasa terasing dengan produk yang dihasilkan. Inilah proses alienasi ekonomi yang meninabobokan intelektualitas dan kecerdasan finansial penduduk kecil; kaum buruh; kelas pekerja. Kemandirian ekonomi hanya dicapai dengan kebebasan berusaha memanfaatkan potensi alam dan segala usaha warisan leluhur yang bernilai ekonomis. Tugas pemerintah tinggal menjadi pelayan administrasi publik yang baik dan bebas pungli. Kenapa Cina sukses? Kenapa Jepang sukses? Karena pemerintah benar-benar mendukung usaha rakyatnya. Tapi di Indonesia ada kesan pemerintah sebatas jadi debt collector yang hanya menagih pajak, iuran dan berbagai beban tagihan tanpa mau peduli usaha tersebut berkembang atau tidak. (Beny Uleander/KPO EDISI 140)
Sumber dari segala sumber kehancuran bangsa Indonesia saat ini adalah penyakit korupsi yang akut dari aparat birokrat sampai ke tubuh institusi negara dan swasta. Kenapa korupsi begitu marak di negeri yang penduduknya beragama ini? Ada yang mencoba menjawab dengan jurus klise. Yakni faktor kemiskinan yang memicu orang korupsi. Lalu kenapa kemiskinan menimpa lebih dari setengah penduduk negeri ini? Jawabannya pun lugas. Ya, karena korupsi.
Menyimak premis dan konklusi paradoksal itu, kita sebenarnya disajikan sebuah ilusi alias kebohongan. Memang benar gara-gara korupsi, rakyat bisa jadi miskin. Dana pembangunan untuk kesejahteraan rakyat disunat sana-sini sehingga tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Juga tepat bahwa perilaku korupsi didorong oleh situasi kemiskinan. Namun, kemiskinan tidak bisa lagi dituding karena birokrat, profesional atau aparat yang korup. Akar-akar penyebab kemiskinan di negeri ini tidak bisa dan tidak pantas disebut sebatas akibat korupsi.
Kemiskinan adalah luka peradaban negeri ini. Pergumulan menghapus kemiskinan di negeri ini harus dimulai dengan paradigma baru. Yaitu kemiskinan adalah wajah lain dari kebodohan. Negeri ini kaya dengan para penghibur lewat berbagai audisi atau kontes nyanyi dan lawak. Tetapi negeri ini kekurangan anak muda yang memiliki ilmu untuk berinovasi di bidang tertentu. Wajar bila negeri kita kaya artis, tapi miskin seniman.
Di tikungan kesadaran ini, kita bisa menerima kemiskinan sebagai akibat implementasi politik material yang kental sejak Orde Baru hingga kini. Betapa tidak. Pendidikan masih dilihat sebagai anak tiri. Alokasi anggaran ideal 20% untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan SDM baru sampai 2-5% dari APBN. Sangat kecil dan menyakitkan bagi kaum humanis yang mendewakan pendidikan sebagai energi pencerahan, dewa matahari di negeri kegelapan ini. Hanya dengan modal ilmu pengetahuan, anak-anak bangsa ini dapat mengoptimalkan sumber daya alam yang ada di desa, kampung, hutan, gunung, laut, sungai, gua, terowongan, perut bumi dan udara.
Sebaliknya negeri tetangga seperti Malaysia, Vietnam, India dan apalagi Cina dan Jepang sudah lama mengalokasikan dana pendidikan yang sangat besar di bidang pendidikan. Mahatir Mohamad saat menjadi perdana menteri Malaysia langsung mencanangkan gerakan penghapusan buta huruf di negeri jiran tersebut. Pendidikan dilihat sebagai anak kandung yang perlu disusui (dibiayai negara). Buktinya, perekonomian Malayasia melejit jauh meninggalkan Indonesia. Padahal dahulu, tenaga guru dan pendidik berasal dari Indonesia.
Sedangkan kita yang mengabaikan pendidikan kini menjadi kuli perkebunan dan babu di apartemen. Dan, orang yang bodoh memang tidak layak dihormati. Itulah prilaku Malaysia yang selalu merendahkan harkat dan martabat bangsa ini. Kita sebagai bangsa boleh tersinggung, marah atau anti Malaysia. Tetapi sudahkah kita mengintrospeksi diri bahwa di balik semuanya ini adalah ketertinggalan kita di bidang pendidikan.
Ditambah lagi kini, biaya sekolah dan kuliah sudah semakin mahal. Sekolah menjadi milik anak-anak orang mampu. Banyak anak orang miskin yang banting stir mencari pekerjaan atau ikut kursus tertentu. Ada yang terpaksa merantau ke kota tanpa keahlian, lalu menggelandang, menjadi pelacur jalanan, atau bertindak kriminal dari kelas teri lalu menjadi kelas kakap. Lengkap sudah parade kimiskinan akibat kurang pendidikan. Jangan heran bila pengangguran terus bertambah tiap tahun. Penyakit sosial kian meresahkan. Dan, peredaran narkoba kian ganas karena pengedarnya adalah orang-orang miskin yang diperalat. Mereka sudah lama hidup menderita, lalu tergiur dengan keuntungan besar tanpa tahu akibat dari kolaborasi mereka dengan mafia narkoba.
Sementara pemerintah dan segala komponennya tidak lain dari lingkaran rezim demi rezim yang gagal mengorbitkan manajemen pelayanan publik yang bersih dan bebas virus ‘jam karet’ alias tidak disiplin. Rezim yang berkuasa terjebak dalam fundamentalisme modal. Uang adalah kekuasaan dan kekuasaan adalah uang. Idealnya pemerintah menjadi pelayan administrasi publik yang baik. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pemerintah seakan dilihat sebagai roda kemajuan bangsa. Sehingga lulusan perguruan tinggi beramai-ramai mengikuti tes CPNS dari propinsi sampai kota/kabupaten. Padahal kemajuan sebuah negara ada di tangan sektor swasta.
Pertanyaannya, mengapa para sarjana enggan terjun di sektor swasta atau setidaknya memiliki cita-cita menjadi entrepreneur dan seniman sejati. Jawabnya sederhana, pendidikan kita tidak mencerahkan alias penanaman doktrin kurikulum dengan metode menghafal sebanyak mungkin teori tanpa praktek dan aplikasi. Kembali menjadi keprihatinan kita bahwa pendidikan di negeri ini sungguh remuk redam. Partai mana yang peduli, komponen agama mana yang resah??? (Beny Uleander/KPO EDISI 139)
Apa pintu pembaharuan sebuah negara? Ujung bedil atau sebait puisi! Pilihlah salah satu di antaranya. Tapi mana yang lebih efektif? Kekuasaan memang seharusnya lahir dari laras senapan, itulah doktrin Mao Tse Tung. Lantas jadi landasan ide Dipa Nusantara Aidit, pimpinan PKI, agar dibentuk angkatan kelima. Buruh dan petani dipersenjatai. Kaum marxis ingin mencetak masyarakat sosial tanpa kelas. Tapi mereka tak punya kekuasaan untuk bertindak. Alat mereka adalah senjata sebagai pembuka gerbang masyarakat proletariat.
Setali tiga uang dengan kaum republikan. Monarki harus ditumbangkan dengan revolusi. Dan, revolusi selalu meminta korban anak kandungnya sendiri. Kekuatan senjata senantiasa diyakini sebagai baja sejarah yang terbukti tangguh untuk menegakkan menara kekuasaan. Pamor senjata inilah yang dipamerkan junta militer di Myanmar. Aksi demonstrasi biksu dan masyarakat sipil diredam dengan dar dor pelor.
Berdirinya Republik ini ternyata tidak lepas dari andil tentara rakyat yang bersenjatakan bambu runcing dan lembing. Setelah duel yang sengit, Belanda pun angkat kaki dari bumi Indonesia. Di atas serpihan fakta sejarah ini, masyarakat modern masih melihat senjata sebagai alat untuk pembaharuan sebuah negara. Perlu diingat serdadu Belanda dengan senjata modern! Sedangkan alat perang para pejuang kemerdekaan hanyalah senjata tradisional. Tidak seimbang, memang. Tapi mengapa para pejuang bisa mengalahkan penjajah yang punya mesiu dan mortir? Aspek inilah yang kerap dilupakan penulis sejarah termasuk kaum muda.
Harga diri sebagai sebuah bangsa! Itulah pemantik gairah founding fathers untuk berjuang hingga titik darah terakhir. Patah tumbuh hilang berganti, memang menjadi jargon yang digunakan di kemudian hari untuk melukiskan spirit (élan vital) para pejuang kala itu. Memang banyak rakyat yang mati di medan tempur. Tapi darah mereka justru menyuburkan bara nasionalisme yang bersemayam hangat di dada anak-anak bangsa.
Ternyata jauh sebelum Bandung Lautan Api dan moment historis 10 November di Surabaya, cikal bakal negeri ini lahir dari puisi. Ya kekuatan kata-kata awalnya. Dan, itu terjadi pada 28 Oktober 1928. Sutan Syahrir bersama kaum muda lintas suku, agama dan etnik mendengungkan puisi agung: satu tanah air, satu bahasa dan satu bangsa. Ikrar inilah yang lalu dikenang sebagai bukti otentik jiwa pluralis kaum muda saat itu. Tak heran bila Sumpah Pemuda dipancang sebagai validitas “Bhineka Tunggal Ika”.
Sangat menggetarkan jiwa saat kita menyadari adanya serat-serat puisi yang membangkitkan rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa. Seorang Soekarno pun menjalin simpul-simpul puitif itu dengan sihir agitasi maha dasyhat. Serta merta api nasionalisme itu membakar perbedaan agama, menghanguskan rasa primordial dan melumat kebanggaan etnik. Semuanya lebur dalam jati diri baru: Indonesia. Sebuah kisah peradaban baru yang luar biasa hadir di sebuah kawasan Asia tenggara.
Kini, Indonesia menjadi negara yang luar biasa tercecer di berbagai bidang pembangunan. Jawabannya satu: generasi muda mengabaikan kekuatan puisi. Ya, dunia sastra yang terbengkelai. “Sastra adalah pintu budaya pembaharuan yang sangat bertanggung jawab kepada kemanusiaan dan nasib bangsa,” tegas Isbaedy Setiawan dalam Seminar Sastra Internasional Relevansi Karya Sastra Dalam Kehidupan di Aula Balai Bahasa Denpasar, Jl Trengguli I/20 Denpasar, Kamis (27/9).
Pesan terdalam yang mungkin ringkas diungkap adalah rendahnya minat baca di kalangan kaum muda. Apalagi arus konsumtif menyedot hasrat penduduk negeri ini untuk berlomba mengoleksi materi dan memanjakan selera lidah. Perut diisi tapi sayang otak di kepala tidak diisi dengan bacaan-bacaan bermutu. Akibatnya, negeri ini dengan mudah ditindas serbuan peradaban Barat yang selalu merasa superior.
Bayangkan saja, biaya untuk membeli rokok dalam setahun mencapai 47 triliun, namun biaya untuk membeli buku dalam setahun cuma 1 triliun. Penerimaan cukai dalam tiga tahun terakhir rata-rata naik 14,9 persen per tahun, yaitu Rp 29,2 triliun atau 1,3 persen terhadap PDB tahun 2004 menjadi Rp 33,3 triliun atau 1,2 persen dari PDB tahun 2005, dan Rp 38,5 triliun atau 1,2 persen terhadap PDB. Tahun ini, penerimaan cukai rokok dipatok Rp 42,03 triliun. Jumlah ini meningkat Rp 3,53 triliun dibanding target penerimaan APBN 2006 sebesar Rp 38,52 triliun. Sebuah angka yang pincang untuk sebuah negara berkembang. Bisa disebut sebagai cacat mental. Kapan kita bisa bersaing dengan negara-negara lain di medan global?
Sejarah bukan terminal kenangan. Sejarah adalah kekuatan dan kompas masa depan. Pemikir budaya dan para bapak bangsa adalah penggila sastra seperti tokoh proklamator Bung Karno dan Bung Hatta, Muh. Yamin serta tokoh-tokoh lainnya. Kita juga mengenang intelektual besar Soedjatmoko, yang pada Agustus 1985, terpilih kembali sebagai Rektor Universitas PBB. Di masa mudanya, kakak Prof Miriam Budiarjo ini mengasingkan diri ke Solo. Ia tenggelam dalam keasyikan membaca buku-buku loakan dari Pasar Klewer, Solo. Di masa pengucilan itu Soedjatmoko menekuni buku-buku karya Bergson, Max Scheler, Karl Jasper, dan Martin Heideger, juga mempelajari mistik Islam, Katolik, India, dan alam kebatinan Jawa.
Kita agaknya cemas dengan sepak terjang berbagai organisasi masyarakat di era eforia ini. Ada yang dalam aksinya menciderai ikrar puisi agung warisan generasi 1928. Apakah ini tanda bahwa kita miskin tokoh-tokoh budaya di kalangan generasi muda. Sehingga banyak kaum muda yang tidak tercerahkan, berpikir sempit, primordial dan sektarian! Jangan-jangan kita terpuruk lagi pada asumsi bedil sebagai penegak Republik ini. Mungkin ini tumbal dari buta tulinya pemerintah yang menjadikan sektor pendidikan sebagai anak tiri dari dulu hingga kini??? (Beny Uleander/KPO EDISI 138)
Sekeping mimpi tentang negeri impian menaungi George Washington menyatukan Amerika Utara dan Selatan untuk hidup rukun berdampingan. Visi tentang modal sosial sebagai sumber kecerdasan menata organisasi kenegaraan dan kebangsaan menggelitik naluri renung Soekarno merajut falsafah bangsa ini: Pancasila. Kesadaran bahwa perut rakyat yang lapar tidak bisa menapak tangga-tangga gereja memicu Hugo Chavez Presiden Venezuela itu menganak-emaskan pendidikan. Kemandirian di bidang ekonomi tercapai bila rakyat cerdas. Bagaikan matahari yang terbit di ufuk timur, itulah simbol harapan setiap penghuni bumi bahwa kehidupan adalah rahmat. Tanah dan kekayaan alam adalah karunia kehidupan. Tinggal bagaimana manusia (pemerintah) dan negara (organisasi) mengolah dan mengoptimalkan potensi negerinya demi kesejahteraan hidup warganya.
Jejak cerita abad 14-18 adalah koleksi kisah penemuan demi penemuan pusat-pusat peradaban di berbagai belahan dunia. Manusia Eropa saat itu adalah manusia yang memandang kekayaan alam sebagai pilar-pilar pembangunan tata masyarakat Mesir, Babilonia, Mesopotamia, Inca, Astek, Yunani, Romawi-Bizantium-Konstantinopel hingga Shindu di Asia Tengah. Karena itu sejarah penemuan “dunia baru” sekaligus menjadi mosaik tragedi perampokan dan penjarahan harta karun. Hasrat untuk menguasai dan menjajah tidak lain adalah ekspresi kemiskinan negeri Barat. Kerajaan Spanyol dan Portugis berkompetisi mengisi lumbung-lumbung istana dengan emas dan rempah-rempah terbaik dari Asia. Belanda surplus gulden usai memanen program tanam paksa yang menyebabkan warga pribumi Hindia Belanda (Indonesia) dilanda kelaparan hebat. Itulah sepenggal contoh dan kajian kiblat historis bahwa sumber daya alam saat itu masih dilihat sebagai sumber keunggulan sebuah negara.
Lalu di awal abad 19, perlahan-lahan lahir sebuah kesadaran bahwa hidup bisa dipermudah dengan teknologi. Lantas akselerasi ilmu pengetahuan melahirkan masyarakat industri, lalu menurunkan masyarakat informasi dan kini hadir “cucu sosial” masyarakat digital. Dalam hal ini kita harus acung jempol sekali lagi buat bangsa Barat. Setelah puas menikmati kekayaan negeri jajahan, mereka terpental oleh gerakan kemerdekaan dan separatis atas dasar nasionalisme. Apa upaya mereka? Mereka kembali ke negerinya yang minim sumber daya alam, tapi mulai mengembangkan dengan tekun sumber daya manusia. Luar biasa. Penemuan demi penemuan meramaikan jagat teknologi. Jerman, misalnya, tidak memiliki laut tapi menjadi pengekspor ikan terbesar di dunia. Kakek buyut Oliver Kahn bukan pelaut, namun kapal laut buatan mereka disebut terbaik di dunia.
Kilasan fakta di atas menjadi kerangka validitas di abad 21. Buktinya, orang terkaya di dunia versi Forbes 2007 adalah pendiri Microsoft Corp Bill Gates –dengan harta sekitar 59 miliar dollar AS (sekitar 560 triliun). Lalu di urutan 4 ada Larry Ellison, perintis dan CEO Oracle dengan kekayaan 26 miliar dollar AS. Sergey Brin dan Larry Page, dua pendiri perusahaan Google Inc berada di urutan 5. Kekayaan mereka sejak tahun 2004 mencapai 18,5 miliar dollar AS. Nilai kekayaan mereka jauh melampaui kekayaan sumber daya alam negara-negara dunia ketiga. Kajian ini mempertegas paradigma baru bahwa penguasaan ilmu pengetahuan adalah sumber utama kelangsungan hidup sebuah negara. Percuma suatu bangsa seperti Indonesia yang kaya sumber daya alam tapi warganya miskin. Karena penduduknya tidak kompetitif mengembangkan keahlian untuk mengelola potensi alam negerinya. Ditambah lagi kenyataan pahit bahwa pendidikan masih menjadi anak tiri di Bumi Pertiwi. Kita ibarat induk ayam yang mati kelaparan di atas tumpukan jerami.
Bercermin pada situasi sosial di atas, kita hendaknya progresif memproklamirkan Indonesia sebagai negeri impian. Sebuah negeri yang menjanjikan kenyamanan hidup, kesejahteraan sosial dan perlindungan negara terhadap hak-hak dasar manusia. Optimisme baru ini bisa tumbuh bila orang Indonesia mulai berpikir. Bisakah orang Indonesia berpikir? Ini adalah sebuah pertanyaan yang menohok harga diri dan mengejek kualitas intelektual manusia Indonesia. Sebab, sebagai bangsa kita memiliki identitas diri atau jati diri dan ideologi atau falsafah hidup.
Menurut Kishore Mahbubani (2005), bangsa-bangsa yang menyadari kelemahannya, bisa jadi justru bisa bangkit dan mencapai derajat kesuksesan seperti bangsa Barat. Jepang, Cina dan India adalah negara yang sudah mengadopsi “pola pikir” negara maju bahwa penguasaan teknologi adalah hal mutlak dalam kompetisi global. Menurut dugaan sejumlah ahli, pada tahun 2020 Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Saat ini saja tingkat pertumbuhan per kapitanya sudah sangat tinggi, mencapai rata-rata 5,5% per tahun dibandingkan pencapaian negara-negara OECD yang hanya 2,5%. Terlebih lagi Cina mampu mencapai tahap berkembang hanya dalam tempo 10 tahun, dibandingkan dengan bangsa Inggris, 58 tahun, AS 47 tahun, dan 33 tahun bagi Jepang. Sungguh sebuah keajaiban.
Beberapa dekade lalu, Indonesia tampil sebagai macan Asia Tenggara yang diperhitungkan dunia internasional. Tapi sekarang tingkat pertumbuhan ekonomi kita kalah jauh dan beda tingkat dengan Malaysia, negara pulau kecil Singapura –seperti Pulau Flores-NTT, bahkan pertumbuhan ekonomi Vietnam mulai meninggalkan Indonesia. Padahal kita punya kekayaan dan cadangan sumber daya alam yang melimpah.
Karena itu, masyarakat dan pers harus terus ‘menekan’ pemerintah agar sungguh-sungguh memperhatikan subsidi sektor pendidikan yang amburadul. Biaya sekolah amat mahal dan jadi milik anak orang mampu. (Beny Uleander/KPO EDISI 137)
Kegusaran ilmiah melanda Stephen Hawking selama 30 tahun. Pada tahun 1976, ia memproklamirkan adanya bintang raksasa dengan gravitasi yang sangat besar membentuk lubang hitam yang menghisap semua materi dan energi di dekatnya. Ia terus memikirkan teori black hole yang menobatkan dirinya sebagai pewaris Newton dan Einstein di jagat fisika. Pasalnya, teori tersebut bertentangan dengan teori fisika kuantum bahwa energi dan materi tidak dapat dimusnahkan, tetapi hanya berganti wujud.
Pada Konferensi Internasional Gravitasi & Relativitas ke-17 di Dublin Irlandia, Rabu (12 Juni 2006), yang dihadiri 800 fisikawan dari 50 negara, Hawking yang telah dimakan usia itu, meralat teorinya. Ia mengatakan bahwa materi dan energi tidak dimusnahkan tetapi “dimuntahkan” kembali dalam keadaan tercerai berai. Tentu saja pembatalan teori ini mengecewakan para pecinta fiksi ilmiah yang terobsesi bahwa lubang hitam adalah jalan menuju kehidupan jagat raya yang baru. Tapi itulah kerendahan hati ilmu pengetahuan yang siap terus-menerus dikoreksi agar mencapai kebenaran sejati.
Saat ini, bertebaran film, cinema dan animasi yang mencoba mengeksplorasi kehidupan baru di luar bumi. Ada juga yang coba mendeskripsikan ciri fisik alien sebagai makhluk tanpa rasa, empati, cinta dan tepo seliro. Memang menarik untuk mengikuti gelora imajinasi di alam khayal. Bebas, liar dan tak terkendali. Namun, dalam kisi-kisi refleksi, kebebasan berpikir adalah sebuah matra, sedangkan substansi pemikiran adalah kristalisasi kegelisahan manusia mencari jawaban tuntas atas kiprahnya di pentas kehidupan. Sosok alien yang kerap dilukiskan bergerak mekanis, kaku dan dingin tanpa rasa, sebenarnya tidak lain adalah “pemindahan” figur semata.
Di pentas realitas, manusia sejak jaman Plato diyakini dibentuk dari jiwa dan badan. Meski saat itu badan dilihat sebagai penjara jiwa, namun setidaknya manusia tempo klasik mengamini bahwa di dalam tubuh yang rapuh ada hasrat cinta yang abadi. Manusia pun dalam peta teologis agama ditugaskan sebagai duta yang menebarkan senyum ilahi, menjadi perpanjangan tangan Allah bagi sesama yang menderita dan hatinya adalah surga mini Sang Khalik.
Deretan kekejam dan pembantaian yang dipertontonkan angkatan bersenjata maupun gerilyawan di sebuah masa dan tempat, menegaskan bahwa manusia tidak sepenuhnya ditakdirkan berjalan dalam kedamaian. Bahkan kemerdekaan dirancang bangun dengan pertumbuhan darah. Kedamaian dipertahankan dengan proyek nuklir dan pembaharuan peralatan persenjataan tempur. Itulah wajah dan rona kehidupan manusia di planet bumi dari zaman monarki hingga republik demokratis.
Kehancuran dan aksi bumi hangus maupun pembantaian massal menunjukkan bahwa inti kemanusiaan kita amat dekat akrab dengan sebuah “lubang hitam” yang bertipe menghisap dan memusnahkan. Tragisnya, kita sebagai pelaku sejarah belum bisa membahas tuntas soal “lubang hitam” yang selalu membayangi kehidupan kita. Kadang kita hidup rukun, kadang kita ditarik oleh gravitasi kekuasaan, nafsu dan ego untuk menghancurkan segala yang menghalangi pencapaian hasrat binal tersebut.
Benarkah nafsu adalah lubang hitam yang sangat primitif terus bercokol lengket dalam sanubari manusia? Kini kita melihat daya isap “lubang hitam” bukan saja menelan habis manusia dengan sebaris atribut citra diri. “Lubang hitam” itu juga mulai menelan rakus kekayaan alam. Kepala gunung ditebas buldozer, hutan sebagai busana bumi ditelanjangi dan perut bumi disodok-sodok pipa penghisap minyak dan gas. Iklim global terus berubah. Musim hujan menjadi musim panas, musim semi berganti musim salju.
Benarkah manusia zaman ini menurut Sokrates menjadi manusia yang menjalani hidup tanpa kekuatan refleksi? Negeri dan ruang privat kita, misalnya, mulai dirayapi proyek-proyek mercusuar yang lahir dari ekspansi gairah kapitalistik. Materi adalah segalanya. Akibatnya, kepekaan sosial yang menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang punya hati dan rasa cinta mulai pudar. Kemiskinan sosial dan struktural adalah buktinya. Jutaan penduduk miskin terus bertambah tiap hari. Balita kurang gizi meningkat tajam setiap menit. Dan, setiap detik, dunia ini ditinggal pergi oleh mereka yang mati dalam kemiskinan mengharukan dan mengenaskan.
Sementara masyarakat bumi yang terkotak dalam berbagai agama dan aliran tidak mampu membangun dialog otentik akan panggilan kemanusiaan. Bahkan, di beberapa negara kita masih menyaksikan para pemuka agama dan pembela agama bertualangan di rimba orthodoxi. Padahal awal kehadiran sebuah agama adalah spirit perdamaian, kasih, dan selaksa sentuhan kemanusiaan. Sayang sungguh sayang, manusia dalam kekerdilan pikiran kerap menganggap dirinya harus mempertahankan kesucian Allah di dunia. Sejatinya kekudusan dan kesucian Allah bukan terbentuk berkat bantuan manusia.
Stephen Hawking adalah contoh manusia intelektual yang selalu gelisah dan terus merefleksikan pemikirannya. Zaman ini, kita dipanggil untuk merumuskan kembali warta agama yang berwajah kemanusiaan, demokrasi yang humanitarian dan kekuasaan yang melayani rakyat. Jika kita gagal merumuskan panggilan hidup yang baru, jangan-jangan kita adalah transformasi makhluk alien yang masuk ke bumi ini. Tanpa cinta, hambar hati, miskin empati dan hampa rasa sayang. Kehidupan yang tidak direfleksikan tidak patut dijalani, sergah Sokrates. Bulan suci Ramadhan menjadi momen strategis meretas jati diri dan fitrah manusia di tengah dunia. Selamat menuaikan Ibadah Puasa! (Beny Uleander/KPO EDISI 136)
Tabrakan ide dan konsep di setiap jengkal kepentingan sesaat adalah latar kelam proses pembangunan di negeri ini. Filosofi tujuan pembangunan sejatinya untuk “menggampangkan” hidup tahap demi tahap. Seperti kayu api diganti kompor minyak tanah. Lalu meningkat, ibu-ibu rumah tangga mulai memakai kompor gas elpiji. Perjalanan dengan kereta kuda diganti dengan pesawat Garuda. Lebih cepat, efektif dan efisien dalam waktu dan biaya.
Sayang seribu sayang, arah dan rel pembangunan kita kerap terjebak dalam arus dehumanisasi. Manusia pun dikorbankan demi pembangunan. Lalu secara amat biasa kita mengabaikan jerit tangis penduduk miskin dari Sabang sampai Merauke. Kita merasa pantas kaum pengemis dan gelandang digiring Satpol PP untuk ‘dibina’ di aula dinas sosial. Sehari kemudian, mereka kembali menggantungkan hidup berdasarkan belaskasihan orang lain. Memangkah nasib mereka lagi tidak beruntung? Bahkan kadang dianggap sebagai takdir terberi!?
Kasus lumpur Lapindo seharusnya menjadi momen strategis merumuskan aplikasi riil prinsip corporate social responsibility (CSR) perusahaan. Apa yang terjadi? Warga korban lumpur Lapindo seperti digiring menuju barak-barak frustrasi. Mereka dibiarkan menikmati marah dan kesal. Lalu depresi adalah hasil akhir yang akut, bila ketahanan psikis lemah lunglai. Pada akhirnya, mereka menjadi korban yang apatis dan menerima tragedi sebagai garis nasib. Roda jaman menggilas hidup mereka. Tak ada yang menolong selain Dia di sana. Dialah Tuhan. Itu jawaban getir dalam larik lagu Ebiet G Ade.
Siapa yang peduli? Bencana lumpur menjadi komoditas politik. Wakil rakyat atau lebih tepat bangsawan politik justru berlomba-lomba menunjukan peduli. Ingin pamer bahwa merekalah sesungguhnya wakil yang paling peka dengan duka derita rakyat. Tapi, tidak ada tindakan strategis dan preventif apalagi langkah cepat mengatasi permasalahan yang ada. Nasib korban lumpur Lapindo kian tak jelas.
Kita menjadi bangsa yang gamang di tengah kemajuan jaman. Memang kita tidak bisa berlari sembunyi dari sergapan globalisasi. Sendi-sendi tua feodalisme sukses terkikis diganti dengan gempuran kompetisi penuh gairah di segala bidang kehidupan. Persaingan menjadi roh terdepan dan berbalut nafsu mengumpulkan materi sebagai puncak keberhasilan. Siapa yang tekun penuh percaya diri merajut mimpi dalam bidang apa saja, dia akan mencicipi hasil di alam nyata.
Itulah gaya hidup kapitalis dan konsumtif. Wajar bila penduduk negara-negara maju mengisi waktu luang menikmati teater modern. Atau menghamburkan uang untuk mengoleksi barang-barang elektronik-digital. Sebab mereka telah melalui sebuah proses panjang dari negara berkembang menjadi negara maju. Mereka sudah lama menginvestasikan kerja keras mereka. Tak ada salahnya seseorang menikmati hasil jerih payah setelah memeras keringat dan membanting tulang siang dan malam. Benarkah pendapat di atas?
Tidaklah sepenuhnya tepat. Sebab gaya hidup global penuh kontradiksi dan paradoks. Kita yang hidup di negara berkembang dapat pula menikmati versi baru “gaya hidup kapitalis dan konsumtif”. Dan, rona kemiskinan sebenarnya bisa didepak perlahan-lahan dari peradaban negeri ini. Asalkan, kita bisa memadamkan konsep-konsep keliru yang tertanam sistematis akibat gaya hidup warna-warni yang menyesatkan.
Pertama, ukuran keberhasilan seseorang adalah sejauh mana dia dapat hidup mandiri dengan tingkat penghasilannya. Penjaga toko dengan upah Rp 400 ribu, tapi bisa mandiri, terkategori orang sukses. Hanya beda skala pendapatan. Kalau sudah mulai boros, ngutang dan mencuri bukan ciri-ciri keberhasilan.
Kedua, ukuran kesuksesan seseorang bila ia mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Pedagang nasi goreng di emperan toko yang punya seorang karyawan, maka dia termasuk orang sukses. Sekali lagi, hanya beda jumlah karyawan. Sering banyak perusahaan besar dengan karyawan besar tapi menunggak pembayaran gaji karyawan dengan seribu satu alasan. Ketiga, orang bahagia adalah orang yang hidup sehat jiwa dan raganya. Orang sakit tentu tidak bahagia dan tidak bisa bekerja mewujudkan impiannya. Sebuah cara pandang hidup yang amat sederhana.
Itulah paradigma baru dalam mengisi pembangunan. Kerja keras dengan menggunakan seoptimal mungkin otot dan otak adalah spirit membangun bangsa ini. Untuk mendapatkan uang, kita tidak tergoda menempuh jalan pintas dengan menculik anak orang kaya. Hidup mandiri sesuai penghasilan membuat kita tidak mudah terbujuk gaya hidup konsumtif. Orang akan tegas menolak pendapatan haram. Akhirnya, nafsu korupsi yang menggurita penyebab kebangkrutan Republik ini bisa dikikis.
Dan, ketekunan dalam kerja akan membuka pintu-pintu keberhasilan sekaligus menjadi magnet yang menarik orang-orang lain ikut membantu dengan tulus. Orang kaya adalah orang yang bekerja dengan tangan orang lain. Artinya, kemajuan di sektor swasta adalah tolok ukur kemajuan negara. Generasi muda akhirnya terpacu mengembangkan usaha di berbagai bidang. Lapangan kerja terbuka. Pembenahan manajerial akan terus terjadi tahap demi tahap. Itulah visi baru merayakan kehidupan yang terberi di alam kemerdekaan.
Pemerintah pun menjadi pelayan birokrasi yang efektif dan efisien. Sayangnya kita tersesat dalam konsep-konsep pembangunan yang keliru dan kerdil. Pilihan menjadi PNS dianggap sebagai kunci sukses. Akibatnya, kita menjadi bangsa cengeng dan konsumen setia produk-produk luar negeri. Lebih parah lagi, karyawan-karyawan swasta di perusahaan asing didikte menjadi robot-robot hidup tanpa konsep. Jika kita sebagai bangsa yang terus dinaungi mental “inlander” (rendah diri) di percaturan global, sampai kapan kita bisa membawa negeri ini maju? Biarlah waktu menggilas wajah kelam dan legam masa lalu kita sebagai bangsa terjajah!!! (Beny Uleander/KPO EDISI 135)
Negeri ini banjir darah, Tuan! Pertaruhan nyawa menjadi ajang kebanggaan yang sangat ekspresif, komunal sekaligus individual di jaman revolusi kemerdekaan. Ketakutan lenyap, sikap kecut sirna, jiwa pengecut menguap dan batin gemetar haru di hadapan kematian. Gemercik darah untuk bumi pertiwi seakan setua padang gurun dan semuda embun bagi. Darah yang tercecer menjadi sumber inspirasi dan itikad kuat menata identitas baru di sebuah planet bumi dan peta dunia. Sungguh heroik bila mengenang dalam-dalam pertaruhan nyawa putera/i bangsa ini demi sebuah hasrat untuk bebas mandiri di kampung halaman; tanah kelahiran.
Negeri ini bau anyir darah, Bang! Berlusin-lusin anak bangsa ‘dipaksa’ naik kereta kematian karena perbedaan ideologi, di periode ‘pengganyangan PKI’. Tanah dari Sabang sampai Merauke menjadi ladang pembantaian. Di atas lumuran darah, Rezim Orde Baru menegakkan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa. Bahasa Indonesia yang kaya pemaknaan akan realitas dibuat versi baru: Ejaan Yang Disempurna. Rezim Orba memang sukses menyempurnakan semua sistem ketatanegaraan, ekonomi, dan sosial budaya. Semua serba baru di atas banjir darah.
Negeri ini banjir darah, Pak! Anak-anak muda dengan jaket ‘kampus-idealisme’ mati berserak dirobek timah panas. Kaum muda militan yang gemar berorasi di ranah aktivis tiba-tiba hilang ditelan bumi hingga kini. Darah mereka sudah tertumpah atau tidak, kita tidak tahu. Mungkinkah suatu saat Wiji Thukul akan kembali membaca sajak-sajaknya dengan satu kata: LAWAN!!!
Negeri ini banjir darah, Bu! Perang dan amuk massal mewarnai kematian sia-sia penghuni Nusantara karena terlahir berbeda dalam etnis, agama dan golongan. Orang Maluku yang selalu tampil elegan dalam khasanah musikal mendendangkan lagu-lagu pembantaian. Syukur, semuanya tinggal kenangan pahit. Dayak dan Madura berseteru penuh dendam. Mudah-mudahan kisah traumatis tersebut tidak terulang lagi. Memang masih banyak menyebut ‘litani’ konflik demi konflik yang tak berujung di negeri ini.
Negeri ini banjir darah, Sobat! Bali menangis duka. Tidak ada aksi bunuh-membunuh, tapi ada parade pembantaian dan teror yang amat menakutkan. Cukup sudah darah-darah tak berdosa menggenangi Pulau Dewata –tempat sisa-sisa peradaban Sindhu; koleksi identitas masa lalu kita yang masih terpelihara apik.
Negeri ini banjir darah, Kang! Kembali ribuan jiwa direnggut oleh alam yang ‘mendadak’ tidak ramah terhadap penduduk negeri ini. Pantai ‘telanjang’ tanpa hutan bakau diterjang tsunami. Rumah-rumah yang dibangun dengan investasi keringat runtuh berantakan digoncang gempa. Kampung-kampung di lereng bukit digilas tanah longsor dan banjir. Alam yang tidak bersahabat ataukah kita yang telah melukai alam? Atau cara alam menegur kita dengan lembut?
Negeri ini banjir darah, Dinda! Disertai air mata duka. Di layar televisi yang ‘ngotot’, kita melihat evakuasi jasad suami, isteri, anak, paman, ayah dan kakek kita yang tenggelam di laut lepas, mati tertindis gerbong kereta api dan hangus terpanggang di kabin pesawat.
Apakah darah-darah yang mengalir dari jasad-jasad anak-anak bangsa serta merta menyuburkan bumi pertiwi? Kepada siapa kita akan mendapat jawaban pasti akan kegelisahan yang merayap di kalbu kita. Sungguh kehidupan yang penuh haru biru di Republik ini. Kemerdekaan dimulai dengan tetesan darah dan negeri yang merdeka ini menandai babak-babak pembangunan dengan genangan darah putra/i-nya di mana-mana. Lantas kita pun tergoda untuk bertanya dengan rasa hati remuk redam, masih berharga nyawa manusia di negeri ini? Kalau manusia berkorban nyawa untuk kejayaan negerinya adalah kisah ksatria yang ditulis dengan tinta emas. Namun, nyawa-nyawa yang digadaikan untuk kejayaan pembangunan dan perjalanan negeri ini menjadi tanda (alarm merah) negeri ini sepenuhnya belum merdeka di usia ke-62 tahun.
Pembangunan adalah sebuah proses yang panjang. Demikian pula menjadi sebuah bangsa bukanlah sebuah kata akhir. Di peta dunia setiap tahun dan dasawarsa selalu tersedia ruang untuk mencatat kelahiran negara baru dan akhir suatu negara. Karena itulah, kebangsaan adalah sebuah dinamika peradaban dan proyek bersama sepanjang rakyat dan pemerintah satu kata, satu hati dan satu visi. Tatkala kita melihat mutu pendidikan nasional yang amburadul, pengangguran yang kian getir dan kemiskinan yang mencemaskan di panggung negeri ini, masih beranikah kita berucap lantang: rakyat dan pemerintah satu hati? Yang terjadi, pundi-pundi penguasa dan elit (bangsawan politik) tambah tebal. Di gubuk-gubuk reyot, periuk nasi penuh ‘air tajen’. Negeri ini belum merdeka. Kita dijajah oleh “Belanda-Kapitalis dan Jepang-Hedonis”. Itulah penjajah baru kita. Siapakah yang masih sudi mengalirkan darahnya untuk sebuah kemerdekaan mental dan budaya??? Pahlawan baru itu adalah ANDA! Selamat berjuang! MERDEKA! (Beny Uleander/KPO EDISI 134)
Usia 62 tahun perjalanan negeri ini dalam perspektif peradaban bangsa modern masih tergolong bangsa yang muda belia. Belum matang ikhwal berdemokrasi dan masih hijau dalam meretas evolusi mental menjadi anak bangsa yang tangguh dan berprestasi. Seperti halnya awal reformasi yang membawa eforia, demikian pula kemerdekaan seolah menjadikan kita serba baru dalam penampilan di bidang pemerintahan, sistem pendidikan, hukum dan praktik ekonomi.
Padahal di tengah ‘kebaruan’ itu terselip aroma ‘make-up’ di segala bidang kehidupan. Romantisme perjuangan Generasi 45 pun menyelip indah dalam kurikulum pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi. Betapa keroposnya generasi muda memahami semangat nasionalisme dari kegiatan baris-berbaris. Di era Orde Baru, begitu lugunya penduduk Jakarta sampai pelosok desa mewaspadai PKI dan antek-anteknya. Sementara mereka diperintah oleh rezim yang mempraktikkan secara nyata aksi-aksi yang lebih biadab dari kaum komunis. Dan, di zaman Reformasi ini, kita menelan secara mentah-mentah gaya hidup kapitalis-konsumtif dengan mengeksploitasi alam habis-habisan.
Kini negeri ini mulai panen bencana demi bencana karena birokrat yang bermental korup. Semua pelanggaran dibiarkan asalkan menguntungkan kantong mereka saat ini. Yang penting bisa bangun rumah gaya Spanyol, naik Mercy, parkir Harley-Davidson di garasi rumah, dan plesir dengan uang Negara ke Singapura. Itulah sejarah kita yang bangga dengan make-up pembangunan sehingga sampai detik ini, pemerintah (Negara) gagal menjamin hak-hak dasar warganya seperti: pendidikan yang murah, pelayanan kesehatan murah, lapangan pekerjaan, dan berbagai layanan sosial lainnya.
Kegagalan ini karena negara tidak memiliki konsep akan identitas dirinya yang panjang jauh sebelum kemerdekaan, kita mengubur dalam-dalam kejayaan ‘peradaban Sindhu’ yang melahirkan Indonesia. Kita lupa bahwa nenek-moyang kita hidup dalam satu peradaban. Agama dan identitas sosial kita jadikan sebagai pilar-pilar untuk pembangunan bangsa ini. Akibatnya, penduduk negeri ini terus bergumul-bertengkar-berkelahi bodoh dalam dikotomi mayoritas-minoritas, kota-desa, Jawa-non Jawa, pribumi-non pribumi, modern-primitif, dan selaksa dikotomi yang membuat kerdil identitas ‘peradaban Sindhu’. Keindonesiaan pun kian kabur.
Bangsa ini sebenarnya mempunyai sejarah cemerlang yang amat panjang dan membanggakan. Hanya selama ini, penguasa lintas rezim sukses mendoktrin ‘rasa kebangsaan’ yang dimulai dari fase pergerakan kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Kemerdekaan dijadikan garis start untuk merajut keindonesiaan. Kita (penguasa lintas rezim) lupa bahwa keindonesiaan bukanlah sebuah akhir tetapi sebuah proses. Tentunya keindonesiaan adalah proses historis yang dibangun di atas pilar-pilar ragam kerajaan, suku, dan adat-istiadat di Persada Nusantara.
Amatlah naïf bila generasi mudah terus didikte untuk melihat keindonesiaan yang dimulai dengan nama besar Pangeran Diponegoro sampai Soekarno. Jauh sebelumnya, di tengah rumpun Melayu, berdiri kerajaan-kerajaan besar di bagian timur dan barat Indonesia. Kerajaan Melayu Jambi, Tulang Bawang, Srivijaya, Keritang di Sumatera. Ada kerajaan Salakanagara, Tarumanagara, Sunda Galuh, Kalingga, Mataram Kuno (Hindu), Medang, Kahuripan, Kediri, Kanjuruhan, Janggala, Majapahit, Pajajaran, Blambangan, Sailendra, Sanjaya di Jawa. Di Borneo (Kalimantan) ada kerajaan Kutai, Po Ni, Banjar, Negara Daha, Negara Dipa, Tanjung Puri, Nan Sarunai dan kerajaan Kuripan. Belum terhitung kerajaan-kerajaan kecil di Bali, Sulawesi, Papua, Ternate, Tidore, Bima, Flores, dan Timor Barat.
Mereka memiliki tata kenegaraan sederhana dengan seorang pemimpin (raja kecil), struktur masyarakat, tradisi, simbol-simbol sosial, aturan-aturan normatif dan nilai-nilai budaya serta paradigma berpikir soal identitas diri di tengah keragaman. Mereka paham akan cara bertani yang lebih baik, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah saling membangun interaksi, perdagangan dan hubungan diplomatik serta kerja sama di bidang tertentu. Bercermin dari kekayaan masa lalu, kita seharusnya sadar bahwa keindonesiaan adalah sebuah identitas historis. Kita berasal dari satu sumber peradaban, satu leluhur. Namun mengapa kini hanya karena agama dan perbedaan status ekonomi dan politik, kita saling memfitnah, menindas dan menjajah? Untuk apa kita menjadi negera merdeka tetapi miskin identitas diri?
Pertanyaan di atas adalah desakan kegelisahan melihat konsep-konsep pembangunan yang keliru dan naïf. Anak-anak bangsa mengukur keberhasilan dari sejumlah harta yang dapat dikoleksi. Kesuksesan ditimbang dari jabatan dan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif yang dimiliki. Padahal sejatinya, keberhasilan adalah sejauh mana minat anak-anak bangsa untuk terus belajar mengembangkan diri dan keahlian di bidang tertentu. Sedangkan tolok-ukur kesuksesan bukanlah jabatan tetapi produk yang bisa diciptakan, meski sederhana tapi bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Paradigma inilah yang hilang dari khasanah pemikiran anak bangsa yang terjerumus dalam mental instan.
Kita mewarisi sebuah ‘masa lampau tradisi’ yang cemerlang dan penuh kebanggaan. Tinggal sekarang, kita belajar membangun sebuah negara bangsa dengan mengutamakan karya (produk barang dan jasa) bukan dengan mengedepankan perbedaan agama, suku dan budaya. Semoga. (Beny Uleander/KPO EDISI 133)
Hari itu, Selasa sore (10/7) 2007, sebuah kebanggaan yang sudah lama pudar kembali bercahaya di langit-langit Kota Jakarta. Gairah nasionalisme tumpah ruah dari Stadion Gelora Bung Karno mengalir sampai pelosok-pelosok desa. Pekik gempita 70.000 suporter membahana pada menit 64 saat Bambang Pamungkas menjadi pahlawan penentu kemenangan tim Merah Putih atas Bahrain. Kemenangan 2-1 memang fantastis dan istimewa. Semua orang mafhum, kualitas sepak bola tanah air kita masih di bawah standar dan miskin pengalaman internasional.
Sukses memetik 3 poin, menyalakan optimisme yang sudah lama padam. Ternyata kita dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Selama ini, mental sebagian besar anak bangsa terjebak dalam rasa minder akut. Tenaga kita adalah mesin-mesin manual di perkebunan-perkebunan kelapa sawit Malaysia. Ibu-ibu kita adalah jongos-jongos lugu di Jazirah Arab.
Budayawan YB Mangunwijaya rajin memprodusir makna kebangkitan generasi baru. Ia tidak mau masuk dalam kerangkeng pesimistik bahwa bahwa orang Indonesia ditakdirkan menjadi manusia kelas dua dalam persaingan global. Mangunwijya berupaya menatap jauh akar-akar jiwa minder yang tersemai di rahim putra-putri Pertiwi. Ia melihat kultur penjajahan Belanda yang feodalistik dan monopolistik telah menjadi roh gerak pertumbuhan bangsa ini. Meski penjajahan telah berakhir secara fisik, namun insting dan nafsu menaklukkan plus birahi eksploitasi masih bersemayam subur di hati anak-anak inlander. Apa jadinya? Rakyat miskin papa kembali menjadi tungganan elite borjuis modern. Pelayanan birokrasi menjadi sistem yang menindas kreatifitas dan inisiatif masyarakat dalam menapak hidup mandiri. Wajar bila aturan biroktratis banyak yang tidak bermuara pada pemberdayaan masyarakat, apalagi menjurus ke terminal kesejahteraan rakyat (bonum commune).
Jurnalis Mochtar Lubis pernah dilanda suatu kerinduan mahadahsyat untuk melihat wajah anak Nusantara era Majapahit dan Sriwijaya yang telah lenyap dalam arus peradaban. “Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapakah itu orang atau manusia Indonesia? Apa dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?” Itulah pelbagai pertanyaan-pembuka yang dilontarkan oleh budayawan-wartawan senior Mochtar Lubis dalam ceramah yang sempat menimbulkan kontroversi seru di kalangan masyarakat kita. Beberapa nama menanggapi ceramahnya tersebut, seperti almarhum Margono Djojohadikusumo –ayah almarhum begawan ekonomi Indonesia Sumitro Djojohadikusumo, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, Wildan Yatim, dan Dr. Abu Hanifah.
Dalam refleksi panjang ihwal manusia Indonesia, Mochtar Lubis menyampaikan secara terbuka, terus terang, dan tanpa tedeng aling-aling meski menyulut bara kontroversi.
Menurut Mochtar, ada enam ciri negatif manusia Indonesia. Pertama, munafik –berpura-pura, lain di mulut lain di hati. Ciri ini merupakan ciri utama manusia Indonesia yang telah ada sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. Menurut Mochtar, sifat munafik ini bersumber dari sistem feodal kita di masa lampau, yang menekan dan menindas segala inisiatif rakyat.
Ciri kedua, manusia Indonesia enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya. “Bukan saya” adalah jawaban untuk mengelak dari tanggung jawab itu dan kerap dilontarkan oleh pejabat dan masyarakat kita. Sangat sedikit pemimpin kita yang tulus-ikhlas menyatakan bertanggung jawab atas segala tindakan, pernyataan, dan kebijakannya. Belakangan, ada jurus baru untuk mengelak dari tanggung jawab, yaitu menyalahkan pers sebagai “salah kutip” atau “tukang pelintir”.
Ciri ketiga, manusia Indonesia memiliki jiwa feodal. Mochtar mencatat, kendati tujuan proklamasi kemerdekaan adalah untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru kian berkembang dalam diri masyarakat Indonesia. Sikap-sikap ini, menurut Mochtar, dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan-hubungan organisasi kepegawaian. Dalam hubungan yang timpang ini sikap asal bapak senang (ABS) tumbuh subur. Akibatnya tak ada dialektika dan pikiran baru yang berkembang. Hubungan (komunikasi) antara penguasa dengan rakyat berjalan satu arah.
Ciri keempat, manusia Indonesia suka dengan hal-hal yang berbau takhayul, klenik, dan mistik (aliran kebatinan). Manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, patung, keris, kuburan, memiliki kekuatan ghaib, keramat dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan semua itu. Untuk menyenangkan dan tak membuat mereka murka, maka kita harus memberi sesajen, meruwat, kuburan disiram kembang, dan meminta berkah kepada mereka. Selain itu, manusia Indonesia juga percaya dengan hari atau bulan baik atau sial.
Ciri kelima manusia Indonesia adalah artistik. Manusia Indonesia lebih banyak hidup dengan mengandalkan naluri (insting), perasaan, atau perasaan sensualnya. Dari sini lahirlah berbagai kerajinan tangan seperti tenun, batik, patung, ukiran kayu, dan semacamnya. Selain itu, lahirlah musik, seni tari, folklore, yang semua itu, menurut Mochtar, merupakan koleksi yang dibanggakan dan digemari. Bagi Mochtar, inilah sisi positif yang paling menarik dan mempesonakan yang bisa menjadi sumber dan tumpuan harapan bagi masa depan manusia Indonesia.
Ciri keenam, manusia Indonesia berwatak lemah, dan kurang kuat memegang atau memperjuangkan keyakinannya. Bahkan demi untuk survive, seseorang rela mengorbankan idealisme atau kredibilitas intelektualnya. Munculnya istilah “pelacuran” intelektual di kalangan masyarakat akademis menunjukkan sisi gelap watak manusia Indonesia tersebut.
Pesona steoretip yang ditebar Mochtar Lubis menempatkan dirinya sebagai Cassandra modern. Dalam mitologi Yunani kuno, Cassandra adalah putri raja Priam dan Hecuba dari Kerajaan Troya. Cassandra dianugerahi keistimewaan oleh Dewa Appolo sekaligus kutuk. Ia bisa meramal kejadian di masa depan dan melihat peristiwa di masa lalu. Tapi, kutukkannya yaitu tidak ada seorangpun yang percaya pada apa yang dikatakan Cassandra.
Lalu, bagaimana kita sebagai manusia Indonesia, mencermati berbagai ciri buruk di atas? Saatnya kita menjejak dialog otentik ala Martin Buber (1878-165) dalam bingkai i-thou (subyek-subyek). Manusia Indonesia adalah subyek bukan obyek. Sementereng apapun pembangunan harus berbaju orientasi pemanusiaan (human being). Ataukah, benar pula prediksi Eric Fromm bahwa ciri relasi manusia post-modern i-it, yaitu mengeksploitasi ide, ketulusan,pengorbanan untuk meretas pembangunan prestise-being. Semoga kita “bebas dari kutukan” Appolo; menjadi orang yang percaya bahwa begitulah isi jiwa manusia Indonesia yang harus diubah. (Beny Uleander/KPO EDISI 132)

Desember 2007
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Tulisan Teratas

Blog Stats

  • 90.557 hits

WITA

obj=new Object;obj.clockfile="8009-red.swf";obj.TimeZone="Indonesia_Denpasar";obj.width=150;obj.height=150;obj.wmode="transparent";showClock(obj);