Catatan Kenangan Beny Uleander

Archive for the ‘Pendidikan’ Category

Hari itu, Selasa sore (10/7) 2007, sebuah kebanggaan yang sudah lama pudar kembali bercahaya di langit-langit Kota Jakarta. Gairah nasionalisme tumpah ruah dari Stadion Gelora Bung Karno mengalir sampai pelosok-pelosok desa. Pekik gempita 70.000 suporter membahana pada menit 64 saat Bambang Pamungkas menjadi pahlawan penentu kemenangan tim Merah Putih atas Bahrain. Kemenangan 2-1 memang fantastis dan istimewa. Semua orang mafhum, kualitas sepak bola tanah air kita masih di bawah standar dan miskin pengalaman internasional.
Sukses memetik 3 poin, menyalakan optimisme yang sudah lama padam. Ternyata kita dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Selama ini, mental sebagian besar anak bangsa terjebak dalam rasa minder akut. Tenaga kita adalah mesin-mesin manual di perkebunan-perkebunan kelapa sawit Malaysia. Ibu-ibu kita adalah jongos-jongos lugu di Jazirah Arab.
Budayawan YB Mangunwijaya rajin memprodusir makna kebangkitan generasi baru. Ia tidak mau masuk dalam kerangkeng pesimistik bahwa bahwa orang Indonesia ditakdirkan menjadi manusia kelas dua dalam persaingan global. Mangunwijya berupaya menatap jauh akar-akar jiwa minder yang tersemai di rahim putra-putri Pertiwi. Ia melihat kultur penjajahan Belanda yang feodalistik dan monopolistik telah menjadi roh gerak pertumbuhan bangsa ini. Meski penjajahan telah berakhir secara fisik, namun insting dan nafsu menaklukkan plus birahi eksploitasi masih bersemayam subur di hati anak-anak inlander. Apa jadinya? Rakyat miskin papa kembali menjadi tungganan elite borjuis modern. Pelayanan birokrasi menjadi sistem yang menindas kreatifitas dan inisiatif masyarakat dalam menapak hidup mandiri. Wajar bila aturan biroktratis banyak yang tidak bermuara pada pemberdayaan masyarakat, apalagi menjurus ke terminal kesejahteraan rakyat (bonum commune).
Jurnalis Mochtar Lubis pernah dilanda suatu kerinduan mahadahsyat untuk melihat wajah anak Nusantara era Majapahit dan Sriwijaya yang telah lenyap dalam arus peradaban. “Wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas. Siapakah itu orang atau manusia Indonesia? Apa dia memang ada? Di mana dia? Seperti apa gerangan tampangnya?” Itulah pelbagai pertanyaan-pembuka yang dilontarkan oleh budayawan-wartawan senior Mochtar Lubis dalam ceramah yang sempat menimbulkan kontroversi seru di kalangan masyarakat kita. Beberapa nama menanggapi ceramahnya tersebut, seperti almarhum Margono Djojohadikusumo –ayah almarhum begawan ekonomi Indonesia Sumitro Djojohadikusumo, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, Wildan Yatim, dan Dr. Abu Hanifah.
Dalam refleksi panjang ihwal manusia Indonesia, Mochtar Lubis menyampaikan secara terbuka, terus terang, dan tanpa tedeng aling-aling meski menyulut bara kontroversi.
Menurut Mochtar, ada enam ciri negatif manusia Indonesia. Pertama, munafik –berpura-pura, lain di mulut lain di hati. Ciri ini merupakan ciri utama manusia Indonesia yang telah ada sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya. Menurut Mochtar, sifat munafik ini bersumber dari sistem feodal kita di masa lampau, yang menekan dan menindas segala inisiatif rakyat.
Ciri kedua, manusia Indonesia enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya. “Bukan saya” adalah jawaban untuk mengelak dari tanggung jawab itu dan kerap dilontarkan oleh pejabat dan masyarakat kita. Sangat sedikit pemimpin kita yang tulus-ikhlas menyatakan bertanggung jawab atas segala tindakan, pernyataan, dan kebijakannya. Belakangan, ada jurus baru untuk mengelak dari tanggung jawab, yaitu menyalahkan pers sebagai “salah kutip” atau “tukang pelintir”.
Ciri ketiga, manusia Indonesia memiliki jiwa feodal. Mochtar mencatat, kendati tujuan proklamasi kemerdekaan adalah untuk membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru kian berkembang dalam diri masyarakat Indonesia. Sikap-sikap ini, menurut Mochtar, dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam hubungan-hubungan organisasi kepegawaian. Dalam hubungan yang timpang ini sikap asal bapak senang (ABS) tumbuh subur. Akibatnya tak ada dialektika dan pikiran baru yang berkembang. Hubungan (komunikasi) antara penguasa dengan rakyat berjalan satu arah.
Ciri keempat, manusia Indonesia suka dengan hal-hal yang berbau takhayul, klenik, dan mistik (aliran kebatinan). Manusia Indonesia percaya bahwa batu, gunung, patung, keris, kuburan, memiliki kekuatan ghaib, keramat dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan semua itu. Untuk menyenangkan dan tak membuat mereka murka, maka kita harus memberi sesajen, meruwat, kuburan disiram kembang, dan meminta berkah kepada mereka. Selain itu, manusia Indonesia juga percaya dengan hari atau bulan baik atau sial.
Ciri kelima manusia Indonesia adalah artistik. Manusia Indonesia lebih banyak hidup dengan mengandalkan naluri (insting), perasaan, atau perasaan sensualnya. Dari sini lahirlah berbagai kerajinan tangan seperti tenun, batik, patung, ukiran kayu, dan semacamnya. Selain itu, lahirlah musik, seni tari, folklore, yang semua itu, menurut Mochtar, merupakan koleksi yang dibanggakan dan digemari. Bagi Mochtar, inilah sisi positif yang paling menarik dan mempesonakan yang bisa menjadi sumber dan tumpuan harapan bagi masa depan manusia Indonesia.
Ciri keenam, manusia Indonesia berwatak lemah, dan kurang kuat memegang atau memperjuangkan keyakinannya. Bahkan demi untuk survive, seseorang rela mengorbankan idealisme atau kredibilitas intelektualnya. Munculnya istilah “pelacuran” intelektual di kalangan masyarakat akademis menunjukkan sisi gelap watak manusia Indonesia tersebut.
Pesona steoretip yang ditebar Mochtar Lubis menempatkan dirinya sebagai Cassandra modern. Dalam mitologi Yunani kuno, Cassandra adalah putri raja Priam dan Hecuba dari Kerajaan Troya. Cassandra dianugerahi keistimewaan oleh Dewa Appolo sekaligus kutuk. Ia bisa meramal kejadian di masa depan dan melihat peristiwa di masa lalu. Tapi, kutukkannya yaitu tidak ada seorangpun yang percaya pada apa yang dikatakan Cassandra.
Lalu, bagaimana kita sebagai manusia Indonesia, mencermati berbagai ciri buruk di atas? Saatnya kita menjejak dialog otentik ala Martin Buber (1878-165) dalam bingkai i-thou (subyek-subyek). Manusia Indonesia adalah subyek bukan obyek. Sementereng apapun pembangunan harus berbaju orientasi pemanusiaan (human being). Ataukah, benar pula prediksi Eric Fromm bahwa ciri relasi manusia post-modern i-it, yaitu mengeksploitasi ide, ketulusan,pengorbanan untuk meretas pembangunan prestise-being. Semoga kita “bebas dari kutukan” Appolo; menjadi orang yang percaya bahwa begitulah isi jiwa manusia Indonesia yang harus diubah. (Beny Uleander/KPO EDISI 132)
Dunia pendidikan Indonesia diselimuti mendung duka. Satu lagi nyawa anak negeri ini terenggut sia-sia di sebuah ladang pembantaian bernama mentereng Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Jawa Barat. Selasa 3 April 2007, ia terkapar tanpa melawan aksi brutal seniornya. Sungguh sebuah peristiwa tragis yang amat menyesakkan dada.
Rakyat Indonesia pun disajikan horor menakutkan di kampus milik Departemen Dalam Negeri yang super mewah itu. Media massa terutama televisi ‘ngotot’ menayangkan video aksi-aksi brutal dan sadis mirip kamp konsentrasi di jaman Nazi-Hitler. Mata praja yunior ditutup dengan sapu tangan, lalu para senior mulai memamerkan naluri primitif mereka. Para yunior dipukul, ditendang dan ditinju sepuasnya atas nama penegakan disiplin. Aksi biadab itu tidak saja diperagakan di dalam ruangan, tetapi juga dipertontonkan dengan bangga di lapangan terbuka.
Rasa duka keluarga korban kembali tercabik-cabik oleh sikap rektorat IPDN yang berupaya rapi menyembunyikan penyebab kematian Cliff Muntu. Untung di dalam lembaga pendidikan yang bobrok itu masih ada seorang dosen berhati bening,jujur dan berani membongkar aib yang selama ini disimpan rapi dalam kemegahan gedung dan fasilitas sekolah gratis tersebut. Ya, Inu Kencana Syafiie, dosen yang sederhana, penulis beberapa buku dan kandidat doktor Universitas Padjajaran itu berbicara kencang kepada pers tentang kekerasan, aksi tutup mulut rektorat, kasus-kasus kematian misterius yang menimpa 35 praja, kasus narkoba dan aksi free sex di dalam institut itu.
Rakyat negeri ini mengikuti dengan cermat berita-berita bagaimana bobroknya manajemen sekolah pamong praja yang dulu bernama APDN dan STPDN itu. Rakyat juga melihat bagaimana pernyataan dan orasi Rektor IPDN kala itu I Nyoman Sumaryadi yang fasih membuat kebohongan publik. Seorang profesor yang berilmu tapi tidak memiliki jiwa pemimpin alias pengecut dan pembohong tulen. Nyoman Sumaryadi dengan gagah mengatakan kepada publik bahwa praja Cliff Muntu meninggal karena sakit lever yang dideritanya. Lebih jauh lagi, Sumaryadi kepada Detik.com mengatakan Cliff saat memasuki tingkat II sering berobat lever ke dokter. Ia juga mengaku bahwa aksi kekerasan itu dilakukan secara diam-diam oleh kalangan praja senior. Tetapi saat berdialog dengan Wapres Jusuf Kalla, Sumaryadi dengan fasih berceritera rinci dan mendetail detik-detik penyiksaan yang merenggut nyawa Cliff Muntu.
Sumaryadi juga sempat menonaktifkan dosen Inu Kencana yang membuka borok-borok di lembaga yang dipimpinnya. Lebih aneh lagi, Sumaryadi yang kini sudah non aktif itu tidak diperiksa intensif polisi terkait kebohongan publik yang dibuatnya. Ada kesan Sumaryadi ‘diamankan’ alias dibebastugaskan dari tanggung-jawab atas berbagai peristiwa yang pernah terjadi di kampus tersebut. Ini bisa menjadi sebuah gambaran bahwa Departemen Dalam Negeri tidak becus dan serius membenahi sekolah dinasnya tersebut. Publik pun mulai muak dan marah. Pantas saja bila tuntutan agar IPDN dibubarkan kini meluas di tengah masyarakat.
Publik dibuat shock dengan data-data kekerasan yang disampaikan Inu Kencana. Menurut Inu, sejak 1990-an terjadi kematian sekitar 35 praja. Namun yang terungkap hanya 10 kasus. Tahun 1994, Madya Praja Gatot dari Kontingen Jatim meninggal ketika menjalani latihan dasar militer dan dadanya retak. Tahun 1995, Alvian dari Lampung dan Fahrudin dari Jateng (tahun 1997), meninggal di barak tanpa sebab. Tahun 1999, Edi meninggal dengan dalih sedang belajar sepeda motor di lingkungan kampus. Tahun 2000, Purwanto meninggal dengan dada retak. Tahun 2000, Obed dari Irian Jaya, meninggal dengan dada retak. Tahun 2000, Heru Rahman dari Jawa Barat yang meninggal akibat tindak kekerasan. Kasusnya sempat menjadi bahan berita dan dilimpahkan di pengdilan. Tahun 2000, Utari meninggal karena aborsi dan mayatnya ditemukan di Cimahi. Tahun 2003, Wahyu Hidayat yang juga ramai diberitakan meninggal karena tindak kekerasan. Saat itu, Inu Kencana juga berbica blak-blakan sehingga ia sempat menerima teror akan dibunuh. Lalu tahun 2005, Irsan Ibo meninggal karena dugaan narkoba. Anehnya lagi, para tersangka yang pelaku penganiayaan Hidayat yang sudah divonis penjara ternyata menjadi PNS yang tersebar di lingkungan Pemda Jawa Barat. Setelah diberitakan pers, barulah Kejaksaan pura-pura bertindak menangkap mereka. Ada apa dengan IPDN yang menelan dana negara 130 milyar per tahun itu?
Menilik pola pendidikan dan pengasuhan di sekolah dinas tersebut yang kebablasan ala militer itu, saatnya pemerintah membubarkan IPDN. Bagaimana nasib para praja yang masih bersekolah? Pembekuan penerimaan siswa sebaiknya dijadikan 3 tahun sampai semua praja ‘lama’ lulus. Kalau cuma setahun, praja baru masih bertemu dengan senior mereka. Dan bukan tidak mungkin rantai kekerasan kembali terjadi. Para praja yang tersisa sekarang diarahkan pada perbaikan pemaknaan disiplin, paradigma dan suasana asrama mahasiswa. Tentunya dalam kontrol yang ketat semua aktivitas mereka.
Nah, selama periode 3 tahun itu, pemerintah memiliki waktu panjang untuk meletakan dasar sistem pendidikan yang kuat dan SDM yang tepat di lingkungan IPDN baru. Selain mata rantai kekerasan terputus, orang-orang lama di lingkup IPDN dipindahkan dan diganti orang baru. Sebab, negeri ini dengan 34 propinsi masih membutuhkan calon-calon birokrat yang handal dan bermartabat. Di samping itu, citra IPDN sebagai institut jagal dan preman ini bisa dipulihkan kembali.
Dalam IPDN baru, pemerintah perlu memastikan pendidikan kedinasan tidak bertabrakan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, yang menyebut pendidikan kedinasan hanya boleh dibuka untuk memberikan pelatihan tambahan bukan menyelenggarakan pendidikan yang setara dengan jenjang strata 1 ataupun diploma. Artinya IPDN baru ditempatkan dalam pengawasan Departemen Pendidikan Nasional. Dan, kurikulum pendidikan pun bisa dibuat sesuai dengan tuntutan sistem pemerintahan modern. Sehingga IPDN baru mencetak pamong praja yang genius dalam memecahkan berbagai masalah sosial kemasyarakatan. (Beny Uleander/KPO EDISI 126)
Konferensi Kolombo Plan di Yogyakarta tahun 1953 masih menyimpan mutiara spirit menumbuh-kembangkan revolusi mental di jantung kesadaran warga bangsa sebagai entitas internasional yang mandiri, potensial dan energik. Adalah lontaran pidato bertuah Ir Soekarno. “Rakyat padang pasir bisa hidup. Masa, kita tidak bisa hidup! Rakyat Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup. Masa, kita tidak bisa membangun satu masyarakat adil-makmur gemah ripah loh jinawi, tata tentram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan. Si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa menyelenggarakan sandang-pangan di tanah air kita yang kaya ini, maka sebenarnya kita sendiri yang tolol, kita sendiri yang maha tolol.”
Itulah pekik gugahan kesadaran diri yang coba ditiupkan Soekarno ke dalam mental dan jiwa warga bangsanya. Inilah secuil visi seorang Bapak Bangsa yang melihat Indonesia memiliki kemampuan dasar untuk bisa bersaing dengan bangsa lain di segala bidang. Namun, Soekarno tetaplah seorang manusia yang hidup dalam sebuah kurun waktu tertentu. Masa Soekarno adalah periode di mana gegap gempita pembangunan dikerucutkan pada kemandirian di bidang sandang, pangan dan papan. Pasca kemerdekaan, rakyat miskin di pedesaan mulai berbenah diri. Mereka mengolah lahan kebun, sawah dan ladang dengan tanaman produktif. Bila perut kenyang, maka rakyat pun akan mulai berpikir soal pengembangan bidang-bidang lain. Anak-anak mulai disekolahkan dengan ungkapan kata mengagumkan: menimba ilmu untuk masa depan.
Hidup terus bergulir. Perjalanan pembangunan bangsa Indonesia mencatat tinta emas kesuksesan. Indonesia mengalami surplus pangan. Lahan-lahan tidur yang luas di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mulai dikelola dengan kebijakan program transmigrasi. Pelayanan kesehatan masuk desa secara merata. Pabrik-pabrik berskala nasional dan internasional berdiri di berbagai daerah. Kota-kota metropolis berkecambah sebagai pusat administrasi, perdagangan dan pasar potensial produk barang dan jasa. Itulah sekilas kemajuan fisik yang telah ditorehkan bangsa ini.
Memasuki abad 21, UNDP mencatat Indonesia sebagai negara dengan tingkat pendapatan perkapita yang rendah, menjadi kampium di bidang korupsi dan amat memiluhkan adalah tingkat pendidikan warganya yang minim. Ada apa dengan bangsa yang besar ini? Rakyat miskin, gembel dan melarat menjadi etalase peradaban kota-kota besar Indonesia. Aksi kejahatan, pelacuran, anarkis dan bentrok sosial menjadi luka-luka sosial yang terus bernanah, kadang kambuh dan ujung-ujungnya pertumpahan darah. Tanah Bumi Pertiwi terus dibasahi darah putra dan putrinya. Kemerosotan pembangunan bangsa ini tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan menjadi dosa-dosa rezim penguasa. Toh, kehidupan politik memiliki dinamika tersendiri di negara kepulauan dan multikultur ini.
Mampukah Indonesia bangkit? Revolusi mental!!! Itulah spirit yang perlu diusung semua komponen bangsa. Selama ini, sepak terjang kemewahan pembangunan lebih karena pertumbuhan yang melompat. Sentra-sentra ekonomi (swasta maupun negeri) berjalan berkat dukungan fasilitas dan koneksi. Pertumbuhan ekonomi tidaklah diikuti dengan kultur industri yang bersendi kreativitas, inovasi dan kompetisi yang menjadi syarat pertumbuhan bangsa.
Rakyat jelata miskin melarat sudah ‘kenyang-puas’ dengan propaganda akbar soal kesejahteraan atau janji perbaikan taraf hidup. Perubahan dan revolusi pembangunan tidak ada di meja kebijakan strategis partai politik. Di meja parpol tersaji hidangan kursi, jabatan dan fasilitas mewah. Juga paradigma revolusi pembangunan tidak ditemukan di diari kepala desa, bupati, gubernur atau presiden. Di diari penguasa-birokrat adalah catatan tunjangan jabatan, jaminan asuransi, daftar mobil dinas yang siap diputihkan dan daftar personil ABS (Asal Bapak Senang) dan rombongan pengusaha yang siap memberikan biaya akomodasi dalam rangkaian kunjungan ke daerah pelosok.
Revolusi mental hanya didapat lewat pendidikan. Jiwa anak bangsa yang kreatif, inovatif dan kompetitif hanya diasah menjadi tajam, kritis dan ulet lewat jalur pendidikan formal maupun non formal. UUD 45 sudah memperingatkan bahwa pendidikan adalah upaya pencerdasan bangsa. Lihatlah, Israel, bangsa yang kecil namun tingkat pendidikan terendah warganya rata-rata adalah S2. Orang-orang Yahudi ini memegang berbagai pos-pos penting di berbagai negara di mana mereka menjadi warga negaranya. Tengoklah sistem pendidikan ala Jepang yang disiplin dan berorientasi mencetak SDM yang mampu berkompetisi dengan warga negara maju. Lantas negeri matahari terbit ini menjadi produsen mobil dunia seperti Honda, Mazda, Subaru, Toyota, Mitsubishi dan Daihatsu.
Lebih dekat, pandanglah biaya pendidikan di Malaysia dan Singapura yang bisa dijangkau semua lapisan warganya. Beda dengan Indonesia. Pendidikan sudah menjadi barang mewah. Biaya sekolah melambung tinggi dan sejumlah sekolah masih membebani orang tua murid dengan iuran-iuran dalam jumlah besar. Sepertinya, kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal di Indonesia disajikan untuk anak-anak kaum berduit. Pedih, pahit dan menyakitkan menyaksikan fakta pendidikan di Indonesia. Kapan anak-anak bangsa menjadi mandiri, cerdas dan inovatif bila tidak memiliki ketrampilan dan bekal ilmu? Berbagai sekolah singkat yang kian menjamur dengan biaya murah tidak serta merta menjadi pelipur lara bagi anak-anak dari keluarga miskin. Toh, ada yang bercita-cita jadi dokter hewan, peneliti, jurnalis atau pakar politik yang mau tidak mau harus masuk perguruan tinggi. Acungan jempol buat Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar yang memberikan program kuliah gratis kepada mahasiswa kurang mampu asal terus berprestasi. Ini sebuah pilar-pilar revolusi mental. Kapan PTN dan PTS lain mengikutinya?
Haruskah kita terus menjadi bangsa yang pragmatis? Kenapa Dinas Pendidikan Nasional terkesan tutup mata dengan penetapan biaya sekolah yang amat tinggi. Apakah cuma anak-anak orang kaya yang memperoleh privelese istimewa? Sementara, pelajar muda yang miskin harus putus sekolah. Akhirnya mereka menambah daftar panjang antrian kaum gembel di sudut-sudut kota. Lihatlah, berbagai aksi kejahatan umumnya dilakoni anak-anak yang kurang pendidikan. Mereka mudah diprovokasi untuk berbagai kepentingan elit penguasa. Juga mereka terus disuguhi janji-janji kesejahteraan di langit-langit kehampaan. Biaya pendidikan terus mahal, maka akan semakin panjang lorong keterpurukan yang harus dilalui negeri yang kaya raya tetapi penduduknya bodoh. (Beny Uleander/KPO EDISI 110/1-15 AGUSTUS 2006)
Pendidikan yang dibangun, entah formal, informal atau non formal hendaknya memiliki dasar yang kokoh dan kuat. Praktek pendidikan yang hanya mementingkan ilmu pengetahuan yang dimasukan dalam otak peserta didik lewat kegiatan Belajar Mengajar (KBM) tidaklah cukup untuk membentuk pribadi peserta didik yang utuh menyeluruh. Peserta didik harus dibantu untuk belajar hidup secara lebih manusiawi dalam masyarakat, sebagai manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang seimbang baik jasmani maupun rohani. Hal ini berarti pendidikan yang dibangun, harus senantiasa berpusat dan bersumber pada pribadi manusia dalam arti orientasi dasar dari pendidikan tersebut adalah pembentukan pribadi-pribadi manusia, memberikan ruang gerak bagi kreasi pengembangan kepribadian manusia, mampu menghantar subyek atau peserta didik untuk memahami dirinya, dunianya dan sesamanya. Peserta didik adalah subyek dan pelaku utama pertama dari pendidikan itu sendiri.
Bila kehidupan masa depan peserta didik menuntut kemampuan memecahkan masalah baru secara inovatif, maka apa yang diajarkan kepada peserta didik mesti menuntut kemampuan untuk memecahkan masalah baru secara lebih baik. Kenyataan yang dialami selama ini adalah proses pendidikan didominasi oleh penyampaian informasi berupa KBM yang tertuang dalam kurikulum. Padahal idealnya peserta didik diajarkan tentang pengolahan informasi, interpretasi dan pemberian makna terhadap apa yang dipelajari. Bukan kegiatan mendengar dan menghafal. Pengolahan informasi, interpretasi dan pemberian makna terhadap KBM adalah media dan sarana membangun ilmu pengetahuan yang akan mengarah pada kualitas individu.
Kenyataan psikologis yang lain menunjukkan bahwa proses pendidikan masih didominasi oleh pendidikan yang bersifat otoriter, represif dalam arti peserta didik selalu ditempatkan dalam posisi yang lemah bila berhadapan dengan para pendidik, lembaga atau institusi. Seharusnya pendidikan memberikan suasana yang menyenangkan, yang memberikan kesempatan dan peluang bagi peserta didik untuk berkreasi, mengembangkan dan menunjukkan kemampuannya yang beraneka ragam sehingga tercipta suasana belajar yang demokratis.
Kepribadian peserta didik menuntut pola perilaku yang unik dan divergen. Sebaliknya apa yang diajarkan kepada peserta didik adalah pola perilaku yang konformitas dan serba seragam. Pola pikir yang sentralistis, monolitik, uniformistik sangat kental terasa dan mewarnai pengemasan berbagai bidang kehidupan. Pendidikan yang sungguh menganggungkan pembentukan perilaku keseragaman dengan harapan akan menghasilkan keteraturan, ketertiban, ketaatan dan kepastian. Padahal hasilnya peserta didik sangat sulit untuk menghargai perbedaan. Bahkan perilaku perbedaan dilihat sebagai suatu kesalahan yang harus dihukum. Akibatnya nilai kerja sama dan semangat persaudaraan menjadi kabur karena peserta didik diajar untuk berkompetisi dan bersaing.
Kenyataan-kenyataan seperti ini menyebabkan sekolah bukanlah tempat yang menyenangkan bagi peserta didik untuk belajar melainkan sekolah sebagai tempat yang tidak menyenangkan karena mereka harus bersaing satu sama kain. Hal ini tidak selaras dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar dan hakekat orang yang mengajar. Dunia pendidikan didekati dengan paradigma yang tidak mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran yang komprehensif. Praktek pendidikan sangat diwarnai oleh landasan terotis dan konseptual yang tidak akurat dan tidak menjawabi persoalan hidup peserta didik yang sedang dialami dan dijalaninya.
Berikut langkah taktis mencapai konsep pendidikan yang berorientasi pada pribadi manusia sebagai subyek. Pertama, teacher – pupil planning yaitu kegiatan atau strategi belajar dan pembelajaran direncanakan dan dipilih bersama antara pendidik dan peserta didik, bukannya direncanakan oleh pihak ketiga yaitu pihak penyelenggara pendidikan. Kedua, cooperative learning yaitu belajar bersama, saling memberi dan menerima namun dengan tujuan masing-masing perserta didik akan saling mengoreksi pemahaman mereka terhadap suatu pengetahuan serta berusaha saling melengkapi dan menghargai satu sama lain. Ketiga, individual learning and independent learning, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengaktualkan dirinya dengan memilih metode dan isi yang dibutuhkan. Alasan utama dari model ini karena belajar adalah kegiatan individu dan sangat independen. Setiap pribadi tahu betul tentang dirinya sendiri, apa yang menjadi kelemahan dan kelebihannya. Keempat, group discussion, yaitu memecahkan masalah bersama dalam kelompok, saling mendengarkan pemikiran-pemikiran setiap anggota kelompok, saling menghargai perbedaan pendapat, kerja sama dalam menggali ilmu pemgetahuan, berani mengemukakan pendapat dan mengoreksi pendapatnya sendiri. Kelima, guru atau pendidik harus tampil sebagai nara sumber, fasilitator, kawan belajar serta pembimbing dalam proses pembelajaran. Pendidik tidak mesti selalu menggurui, menguasai peserta didik. Dengan demikian kelas bukanlah merupakan pusat kegiatan pendidikan (not the center of the class). Guru atau pendidik bukanlah penentu segala kebijakan dan strategi belajar. Keenam, sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan untuk belajar dan mengembangkan seluruh kemampuan peserta didik, termasuk kemampuan untuk mengekspresikan dan mengaktualkan dirinya. Dengan demikian pendidikan yang benar adalah pendidikan yang bersumber dan berpusat pada pribadi manusia, menjadikan manusia sebagai subyek pendidikan, bukanlah obyek pendidikan itu sendiri. KPO/EDISI 80
Ujian akhir nasional (UAN) telah usai. Hasilnya cukup mengejutkan para murid, orang tua, para guru, praktisi pendidikan, pemerintah dan berbagai pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan. Betapa tidak. Standar minimal kelulusan 4,26 rasanya sangat sulit dicapai peserta didik. Peserta didik yang memperoleh nilai di bawah standar minimal dinyatakan tidak lulus. Walaupun semua mata pelajaran memperoleh nilai 9, tetapi bila ada satu mata pelajaran yang tidak memenuhi standar minimal 4,26 maka peserta didik tersebut akan dinyatakan tidak lulus. Tidak heran jika banyak siswa yang berprestasi ternyata tidak lulus.
Dengan alasan ingin meningkat mutu pendidikan Indonesia, maka sistem yang diterapkan ini tidak dapat diganggu gugat. Bila menoleh ke belakang, kita akan mengetahui bahwa sistem yang ada pernah diterapkan di Indonesia, mulai tahun 1945 dan telah membuahkan hasil pada era 60-an sampai 70-an. Tidak heran jika pada waktu itu hanya sedikit orang yang bisa melanjutkan pendidikannya sampai ke Perguruan Tinggi, karena seleksi yang sangat ketat. Walau demikian hasilnya sungguh luar biasa, karena banyak orang Indonesia yang menjadi guru di luar negeri alias diimport oleh berbagai negara tetangga Indonesia terutama Malaysia.
Pertanyaan muncul ketika ada orang yang berprestasi ternyata tidak lulus. Salah satu jawaban yang hampir pasti benar adalah bahwa sistem yang diterapkan perlu menyesuaikan diri dengan konteks sosial yang ada. Teks (sistem) perlu disesuaikan dengan konteks. Pada zaman 45 sampai generasi tahun 70, penekanan utama lebih pada keunggulan atau kecerdasan intelektual. Keberhasilan seseorang hanya dilihat dari kemampuan yang ada di atas kertas. Kepincangan akan terjadi bahwa tidak semua soal yang keluar pada saat ujian adalah apa yang didapatkan dari keseluruhan proses pendidikan yang ada. Pada hal hasil akhir dari pendidikan yang diharapkan adalah pembentukan pribadi yang utuh dan integral dari peserta didik itu sendiri.
Idealnya, dalam proses pendidikan, para peserta didik perlu diberikan suatu gambaran kehidupan yang multi dimensi, yang disusun dalam suatu kurikulum yang menjawab semua bakat dan kemampuan yang ada pada peserta didik. Dalam sistem pemerintahan yang sarat dengan berbagai peraturan dan birokrasinya, kurikulum yang bisa menjawabi semua bakat dan kemampuan peserta didik menjadi hal yang utopis. Namun sebenarnya, hal ini bisa dijalankan dengan sederhana, karena kemampuan seorang siswa tidak ditentukan oleh apa yang diraih di atas kertas saat ujian akhir berlangsung.
Kurikulum yang menjawabi semua bakat dan kemampuan yang ada pada peserta didik akan berkisar pada pembentukan kepribadian yang multiple intelligence atau inteligensi ganda. Teori ini dikemukakan oleh Howard Gardner, dalam bukunya yang berjudul “Frames of Mind” (1983). Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk alam dalam suatu seting atau kelompok tertentu yang bermacam-macam dalam situasi yang nyata.
Dalam pengertian ini, inteligensi bukan hanya kemampuan seseorang untuk menjawab suatu test tertulis dalam kamar tertutup atau dalam ruang kelas yang terlepas dari lingkungan sekitarnya. Inteligensi seseorang tampak dalam kemampuan untuk memecahkan persoalan yang nyata dalam situasi yang beragam, bukan kemampuan di atas kertas, walaupun kemampuan ini juga sangat penting.
Untuk itu, Gardner memberi klasifikasi inteligensi yang ada dalam diri manusia, yang terdiri dari 9 macam inteligensi yaitu, inteligensi linguistik, inteligensi matematis-logis, inteligensi ruang visual, inteligensi kinestik badani, inteligensi musikal, inteligensi interpersonal, inteligensi intrapersonal, inteligensi lingkungan, inteligensi eksistensial. Inteligensi linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan dan mengolah kata secara efektif baik secara oral maupun tertulis. Kemampuan ini berkaitan dengan penggunaan dan pengembangan bahasa. Kelompok ini akan berbicara dengan bahasa yang lancar, jelas, lengkap, mudah mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, mudah belajar beberapa bahasa, mudah mengerti urutan kata, arti kalimat, mampu menceriterakan dan menjelaskan pemikirannya kepada orang lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah penyair, orator, sastrawan, jurnalis, editor, aktor, dan dramawan.
Inteligensi matematis logis berkaitan dengan kemampuan dalam mengunakan bilangan dan logika. Mereka dapat memikirkan sistem-sistem yang abstrak seperti matematika dan filsafat. Pikirannya sangat rasional, mampu berpikir induktif, merangkumnya dalam suatu kesimpulan ilmiah, menjelaskan kenyataan fisis yang terjadi dengan sains. Inteligensi ruang visual, adalah kemampuan untuk menangkap ruang visual secara tepat, seperti para pemburu, navigator, arsitek, dekorator. Mereka mudah membayangkan benda dalam ruang berdimensi tiga, mengenal relasi benda-benda dalam ruang secara tepat, mampu melihat, memperkirakan, memandang dari segala sudut.
Inteligensi kinestik-badani adalah kemampuan untuk mengunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan gagasan atau pikiran, perasaan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para penari, pemahat, atlet, aktor, ahli bedah. Mereka dengan mudah mengungkapkan diri dalam gerak tubuh. Inteligensi musikal adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Ada kepekaan yang tinggi terhadap ritme, melodi, intonasi, kemampuan memainkan alat musik, menyanyi, menciptakan lagu atau syair. Mereka mudah belajar dan memainkan musik secara baik.
Inteligensi interpersonal yaitu kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain, mampu menjalin relasi dan komunikasi dengan orang lain, mudah bekerja sama dengan orang lain, pandai bergaul, dan bisa akrab dengan siapa saja tanpa perlu banyak persoalan. Termasuk dalam kelompok ini adalah para fasilitator, komunikator, penggerak massa. Inteligensi intrapersonal adalah kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan akan diri sendiri, bertindak secara adaptif berdasarkan pada pengenalan diri, serta mampu berrefleksi dalam keseimbangan. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi akan segala gagasannya, mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan pribadi, sadar akan tujuan hidupnya, pandai mengatur perasaan dan emosinya, sehinga kelihatan tetap tenang walau didera berbagai persoalan. Cirinya, tenang, kalem, suka menyepi, mampu bekerja sendiri,
Inteligensi lingkungan yaitu kemampuan akan pemahaman flora dan fauna, mampu membuat distinksi konsekuensi lain dalam alam natural, mampu memahami dan menikmati keindahan alam, mengembangkan pengetahuan akan alam, melestarikan alam, merawatnya dengan kesadaran yang tinggi. Cirinya, bisa hidup di luar rumah, di alam terbuka, bisa cepat akrab dengan situasi dan kondisi alam setempat. Inteligensi eksistensial yaitu kemampuan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam tentang keberadaan hidup, dunia, dan Tuhan. Ia suka mencari jawaban terdalam atas berbagai persoalan hidup secara eksistensial; mengapa aku ada, mengapa aku hidup, dari mana aku datang, dan kemana aku pergi. Untuk mengetahui inteligensi mana yang terdapat dalam diri peserta didik sangatlah sulit.
Dengan mengetahui inteligensi yang dimiliki oleh seorang anak, maka para guru dapat mengarahkan dan mendampingi para murid sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada dalam diri peserta didik. Inilah tugas lembaga pendidikan dan semua orang yang mengabdi dalam dunia pendidikan. Pendidikan tidak identik dengan format baku, yang bisa mencetak manusia sesuai dengan format tersebut. Bila sistem pendidikan yang ada mampu mengakomodir bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik, maka keberhasilan seorang peserta didik bukan terletak pada pencapaian standar minimal yang ditetapkan dalam lembaran ujian melainkan kemampuan seorang manusia dalam menyelesaikan persoalan yang ada, termasuk persoalan ujian akhir nasional.
KPO/EDISI 109 JUNI 2006
Pendidikan itu mahal. Menjadi orang pintar pun butuh proses. Belajar lihat, bertanya, membaca dan mendengar adalah simpul pembelajaran yang efektif sekaligus penuh mobilitas otodidak. Karena itu, orang bijak senantiasa menampilkan profil diri dalam kualitas gelas kosong. Bukan gelas yang penuh terisi air. Logika filsafat gelas kosong amat sederhana. Untuk menjadi pandai, terlatih dan bersikap profesional seseorang harus menempatkan diri sebagai individu yang selalu dilanda sebuah gelombang kegelisahan eksistensial dan intelektual. Dengan kedua belah mata pisau bedah ini, seorang individu terpacu menggugat realitas, mempertanyakan seluk-beluk sebuah profesi dan lebih dari itu selalu merasa kurang dan kosong. Ia siapkan dirinya diisi penuh dengan tuangan ilmu kehidupan. 
Demikian pula, sumber daya manusia yang berkualitas dalam sebuah perusahaan ditumbuhkembangkan melalui sebuah proses belajar dan pelatihan yang berjalan kontinyu, sistematis, terprogram dan mengangkat tema-tema lapangan yang akurat, penuh pergulatan masalah orthodoksi dan pergumulan praksis. 
Keengganan untuk belajar bisa terlihat dari hasil karya, daya cipta dan kualitas kerja yang keropos, mudah luntur dan tidak berbobot. Dalam analisis manajemen pemasaran, sebuah produk barang dan jasa diakui dan diterima pasar karena berkualitas. Jadi kualitas bukan hasil pengakuan diri sendiri tetapi lahir dari pengakuan publik. Di sinilah tersembunyi pundi-pundi kebijaksanaan dan kebersahajaan hidup. 
Mengakui kelebihan orang lain sebagai sebuah prestasi ketimbang merasa diri hebat tetapi produk yang ditelurkan tidak matang. Karena itu, jangan dulu merasa hebat Bung. Di atas langit masih ada langit. Memang susah mengajak orang untuk rendah hati belajar dari senioritas, pengalaman terberi, buku dan data riwayat masa silam. 
PT Karya Pak Oles Tokcer gencar menggelar pemantapan karyawan, serangkaian workshop dan kunjungan lapangan demi memotivasi karyawan untuk belajar hingga akhir hayat. Mari belajar bersama sebelum mati tiarap di jurang kebodohan yang diciptakan sendiri. (Beny Uleander/KPO EDISI 99 FEBRUARI 2006)

Mengais Rejeki Di Bulan Ramadhan

“Obat…obat…obat…Ini dia obat pengusir lapar dan haus. Terjamin dan sudah rerdaftar di Departemen Kesehatan,” teriak seorang penjaja makanan pembuka puasa sambil mengulurkan dagangannya ke arah mobil yang bersileweran depan kampus Universitas Udayana, Jl PB Sudirman, Denpasar. Nada promotif ini mengundang tawa para penjaja lain di sekitarnya, pria dan wanita muda bertampang intelek. Ternyata mereka adalah mahasiswa Unud yang kreatif mengais rejeki di bulan suci Ramadhan.

Menurut pengakuan Dewa Komang Piter Udayana (20), mahasiswa FH Unud semester 3, dia bersama rekan-rekannya sudah biasa berjualan kolak di depan kampus mulai pukul 17.00 – 19.00 Wita. Areal Jl Sudirman menjadi pilihan karena ramai dan terletak di jalur warga kota pulang kerja. Kolak, bubur kacang hijau, jus buah (cocktail), kolang-kaling atau es dawet dijual seribu rupiah per bungkus.

Lanjut Piter, aktivitas ini dilakukan bersama untuk mengumpulkan uang bagi organisasi mereka Perkumpulan Mahasiswa Kristen FH Unud. “Kami berjualan kolak dan jus buah untuk mencari dana biaya pesta Natalan seperti sewa gedung dan peralatan,” buka pemuda kelahiran Singaraja, 22 Februari 1985.

Uniknya lagi, usaha mereka dibantu orangtua Joice Lorosa, salah seorang rekan mereka, yang tinggal di Tukad Banyusari, Panjer.

“Setiap pagi, saya berbelanja di Pasar Badung. Saya dibantu ibu yang langsung mengupas ubi, pisang dan memasaknya. Siang pulang kuliah, teman-teman yang bantu bungkus. Sehari bisa laku Rp 100 ribu. Padahal modal awalnya hanya Rp 15.000,” beber Joice kelahiran Jember 3 Juni 1985.

Soal keuntungan rata-rata, Piter yang sudah didaulat sebagai koordinator lapangan (korlap) mengaku pernah mencapai penjualan tertinggi Rp 1 juta setahun lalu. “Tapi uang itu sekitar Rp 9 ratus ribu dipakai untuk sewa gedung merayakan Natal,” ujarnya.

Rupanya berkah Ramadhan ini juga dirasakan oleh Sriati (31), ibu dua putera asal Banyuwangi. Warga perumnas Monang-Maning, Denpasar ini berjualan di depan kampus Unud selama bulan puasa. “Kalo hari biasa saya berjualan kosmetik di Ubud. Bulan puasa ini lebih gampang nyari uang berjualan begini. Kalo laris sehari bisa dapat Rp 150 ribu. Ya lumayanlah untuk ongkos mudik,” bukanya.

Jualannya beragam seperti kolak, jus buah, es dawet dan kolang-kaling. Bahan baku terdiri dari pisang kapok, kelapa, kolang-kaling, ubi kayu dan aneka buah-buahan. “Semuanya kami beli di Pasar Badung. Kalo tidak laku dagangan dibagikan sebagai amal,” akunya. (Beny Uleander/KPO EDISI 91/Oktober 2005)

Filsuf dan rohaniwan, Mudji Sutrisno, SJ melihat moment revolusi sosial politik tahun 1998 yang disponsori mahasiswa merupakan suatu ruang historis menyemaikan tekad menggapai kebebasan dilandasi jiwa dan pengalaman ‘kemudaan’. Insting kemudaan menjadi tolok ukur kualitatif nilai-nilai kebaruan. Sayangnya, begitu rezim Orba tumbang, benih kebebasan politik yang ditabur generasi muda dipersempit kembali pertumbuhannya oleh sepak terjang kaum tua. Cita-cita kebebasan dalam membangun Indonesia baru mati muda diterpa pengkhianatan kaum tua yang sok reformis. Itulah kelemahan fundamental ketika reformasi berbuntut ‘repot-masih’ hingga kini.

Kelemahan inilah yang barangkali tak mau diulangi 12 mahasiswa Seni Rupa ISI Denpasar, yang tergabung dalam Komunitas Sandal Jepit. Hanya keledai yang jatuh dalam lubang yang sama. Kebebasan ada pada jiwa yang sederhana. “Kami melihat hanya para pejabat yang selalu bersepatu ke kantor. Sedangkan orang kecil ke mana saja pasti bangga memakai sandal jepit. Kami menilai sandal jepit identik dengan orang kecil yang berjiwa sederhana,” ungkap I Made Mahardika, personil Komunitas Sandal Jepit.

Pelopor Komunitas Sandal Jepit, I Putu Edy Asmara Putra bergulat dengan pertanyaan revolusioner, “Mengapa kaum muda selalu menjadi pelopor perubahan tetapi tak bisa mengarahkan dan mengisi perubahan itu dengan nilai-nilai ‘kemudaan’? Jawabannya singkat. Kaum muda tak mampu menakar kekuatan diri, mudah bangga disemat atribut pahlawan dan tak lihai meramu ideologi perjuangannya. Itulah sebabnya, kaum muda mudah diperalat kaum tua. “Kami sebagai rakyat seperti sandal jepit yang selalu dimanfaatkan mereka para elite politik dalam perjalanan untuk mencapai suatu kedudukan (baca: kekuasaan). Kami hanya dijadikan alas kaki bagi mereka untuk melindungi kakinya dalam perjalanan mereka,” komentar Putu Edy dalam liris Akhir Sebuah Perjalanan.

Menarik, Putu Edy merangkum situasi carut-marut negeri ini dalam suatu seni instalasi. Penikmat seni bisa saja menabur sikap anggap remeh kala melihat berbagai karya seni Komunitas Sandal Jepit. Pasalnya, berbagai karya yang dipajang terkesan biasa-biasa saja. Spiritualitas sandal jepit tidak terletak pada kuantitas ornamen maupun kualitas aksesoris. Sebaliknya, sandal jepit identik dengan kaum terpinggirkan yang mudah diinjak-injak haknya oleh masyarakat kelas atas. Namun kaum sandal jepit selalu menjadi ‘prajurit pagar betis’ di medan laga revolusi sosial budaya dan sosial politik. Bahkan, penggerak utama bangkitnya roda-roda humanitarian di perhelatan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi.

Sejauh mana keunggulan spiritualitas sandal jepit ada pada karya instalasi Putu Edy. Ada dunia ideal ‘gaya Plato’ yang mau dicapai lewat pendakian tangga simbol proses perjuangan dan kematangan. Tangga awal ada sandal jepit, tangga tengah ada sandal jepit, di puncak pun ada sandal jepit dan di jurang kematian (keranjang kardus) ada sandal jepit. Ini artinya, jiwa revolusioner merupakan gerak daya cipta, karsa dan kreasi yang tak ternoda dengan nafsu kekayaan dan kekuasaan.

Lihat, tak ada sandal kulit apalagi sepatu kulit di puncak perjuangan. Kelemahan mendasar kaum muda dalam setiap perjuangan revolusioner adalah selalu cepat tergoda dengan tawaran kekuasaan dan bisa menjual cita-cita dengan tawaran rupiah atau dollar. Kebebasan hanya dicapai dengan memupuk dan mempertahankan jiwa kesederhanaan sampai ajal menjemput. Selamat berkarya buat I Putu Edy, I Wayan Darmawan, Miranti Kusuma Putri dkk! (Beny Uleander/KPO EDISI 85/JULI 2005)


April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Klik tertinggi

  • Tidak ada

Tulisan Teratas

Blog Stats

  • 90.557 hits

WITA

obj=new Object;obj.clockfile="8009-red.swf";obj.TimeZone="Indonesia_Denpasar";obj.width=150;obj.height=150;obj.wmode="transparent";showClock(obj);